Di tengah keheningan dini hari, ketika langkah Ijul terasa semakin berat, pikirannya pun melayang jauh. Keadaan di sekelilingnya begitu sunyi, seakan dunia terdiam, meninggalkan Ijul dengan perasaan kosong yang tak bisa diungkapkan. Pikirannya berputar, mengenang setiap momen bersama ibunya, sebelum semuanya berubah begitu cepat.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara gaduh, langkah-langkah berat yang menghentak di tanah, mengiringi teriakan dan bisik-bisik yang tak dikenalnya. Ijul berhenti sejenak, menoleh ke arah suara itu, dan hatinya tiba-tiba tercekat. Di sana, di tengah jalan yang gelap, ia melihat tubuh tergeletak tak bergerak. Ia mengenali sosok itu meskipun dalam kondisi yang tak lagi utuh.
Itu ibunya. Bu Wati.
Ditempatkan begitu saja oleh tentara Belanda, tergeletak tanpa rasa hormat, dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Tak ada lagi gerakan, tak ada lagi kehidupan di tubuh yang pernah menguatkannya selama ini. Ijul ternganga, pandangannya kabur, seakan dunia runtuh begitu saja di hadapannya.
Langkahnya terhenti. Sesaat, tak ada yang bergerak, kecuali suara detak jantungnya yang terdengar sangat keras. Ia tak bisa menggerakkan kaki untuk mendekat, tak mampu. Bahkan napasnya pun terasa terhenti. Hanya ada kepedihan yang merayap begitu dalam ke dalam hatinya.