Pada mulanya, semua masih tampak biasa. Nurani dan Aji menjalani kehidupan barunya usai menikah dengan bahagia. Belum ada angin topan yang berembus menerpa perahu mereka. Belum ada badai yang mengguncang ketenangan bahtera rumah tangga mereka. Dan belum ada isu buruk tentang mereka. Semua masih biasa-biasa saja.
Meskipun sesungguhnya, para saudara Nurani menyimpan sejuta kekecewaan terhadap Aji dan kedua orang tua Aji. Diam-diam mereka menahan diri untuk mengomentari secara langsung kekecewaan mereka di hadapan Nurani dan Aji. Mereka masih menyimpan itu semua di dalam lubuk hati sendiri-sendiri. Seperti sepulang dari KUA, para saudara Nurani masih bisa melengkungkan senyum untuk menutupi rasa kecewa mereka.
Berbeda dengan Hadi Jamal. Ayah Nurani tidak bisa menahan rasa sedihnya. Sesak terasa di dadanya. Baginya, pernikahan tidak hanya sebuah ikatan resmi kedua insan yang saling mencintai. Akan tetapi, juga salah satu bentuk simbol harga diri. Betapa keluarga Aji menghargai putri bungsunya dan betapa keluarga Aji menghargai harga diri keluarga Nurani, termasuk Jamal sendiri. Keluarga Aji tidak melakukannya, keluarga Aji tidak membuktikannya sejak awal.
Mungkin, keluarga Aji pikir, Nurani sudah ikhlas dan rela menerima semua itu. Keluarga Aji tidak mengerti dan tidak memahami adat yang biasa dilakukan oleh keluarga besar Nurani. Bahwa, mahar adalah simbol penghargaan terhadap anak perempuan, sekaligus penghargaan terhadap kedua orang tua perempuan tersebut. Atau memang mereka tidak peduli hal itu.
Awal yang buruk tentu akan membuat langkah menjadi sulit. Dan itu terbukti dalam kehidupan rumah tangga Nurani dan Aji. Meski keduanya saling mencintai dan saling menerima. Namun, keluarga besar Nurani tidak bisa begitu mudah menerima.
Usai menikah, tepatnya sepulang dari KUA, Nurani tinggal di rumah mertuanya selama seminggu. Dan terpaksa harus meninggalkan ayahnya sendirian di rumah. Itu sudah aturannya, katanya. Nurani harus merasakan seperti apa tinggal di rumah sang mertua yang sangat sederhana dan jauh dari kemewahan.
Pada hari itu, hari di mana Nurani baru pulang dari rumah sang mertua. Dan di saat suami Nurani tengah pergi ke kebun. Ia menghampiri ayahnya yang tengah duduk di sofa. Nurani memperhatikan ada sesuatu yang salah pada ayahnya. Sesuatu yang berbeda. Wajah Jamal kala itu tampak sangat murung. Nurani pun duduk berseberangan dengan ayahnya.
“Nur,” panggil Jamal.
“Iya, Ayah,” jawab Nurani.
“Coba ceritakan pada ayah. Bagaimana keadaanmu dan kesan-kesan selama di rumah mertua?”
Deg. Nurani segera mengerti maksud ayahnya. Ayahnya memintanya untuk menjelaskan perasaannya berada di rumah mertuanya. “Alhamdulillah. Mereka semua baik sama Nurani. Mereka juga memperlakukan Nurani layaknya putri mereka sendiri.”
“Kau nyaman tinggal di sana?”
“Rasanya nyaman saja, Ayah. Tapi ... Nurani selalu merindukan Ayah. Itu yang membuat Nurani ingin segera pulang ke rumah ini.”
“Apa mereka tidak pernah membuatmu sedih sedikitpun?”
“Tidak, Ayah.”
“Lalu, bagaimana dengan mahar yang mereka berikan padamu? Apa kamu bahagia?”