2 November 20xx 10.00
“HAPEEE GUEEE!!!” Aku berteriak frustrasi di tengah ingar-bingar kantin yang cukup ramai. Aku tak peduli dengan puluhan pasang mata yang kini memandangiku heran. Mungkin mereka sedang mengira-ngira bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk karena teriakanku yang terlalu kencang.
“Rusak lagi?” tanya Riska sambil meminum jus jeruk di depanku, dia bertanya dengan teramat santai. Dia pikir ponselku yang terbiasa tidak waras itu kini sedang terjangkit “penyakit”. Dia belum tahu apa yang terjadi pada hari nahas yang menimpaku. Hari saat aku ingin menggenggam sekerat api di tanganku. Apakah bisa? Bisa-bisa api yang menyulutku sampai menjadi abu.
“Lo jangan kaget, ya, kalau gue cerita ...,” seruku lirih, yang disambut dengan kernyitan di dahi Riska. “Hape gue ... dirampok,” lanjutku dengan suara semakin lirih, tapi masih bisa didengar Riska. Aku menerawang jauh pada waktu ketika ponsel kuper itu dirampok dengan cara yang tidak elite sedikit pun oleh dua orang pelajar SMA. Dan, masih tersimpan jelas dalam ingatanku, ketika aku berteriak minta tolong, hanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitar tempat kejadian. Mereka pikir aku bercanda?
Mereka kira aku hanya mereka-reka suatu kondisi untuk menggemparkan suasana? Mereka pikir aku sedang mencari popularitas?
Mata Riska langsung membelalak lebar. Dia tampak tak percaya dan hampir mengeluarkan jus jeruk yang sudah ditelannya. Aku tidak tahu kenapa responsnya bisa seberlebihan ini.
“Kok bisa? Hape lo yang kuno itu?” tanyanya penuh dengan keterkejutan, tapi masih sempat menyeloroh dengan nada mencibir.
“Iya lah, Ris. Hape gue yang mana lagi, coba? Emang gue punya hape berapa, sih?” sahutku lesu bercampur kesal. Bisa-bisanya dia sempat mencibir ponselku.
“Iya, sih.” Duh! Ini anak malah cengengesan sambil pasang wajah tak berdosa. “Tapi, kok bisa hape kuno dirampok, emangnya bakal laku? Paling juga laku cepek, atau mungkin malah kurang,” lanjutnya sambil cengengesan. Sialan juga nih anak, bukannya menghibur, malah mengejekku. Sekuno-kunonya ponselku, dia tetap informan bagiku. Tapi, Riska ada benarnya. Ponsel keluaran lama itu tidak akan menembus pasar. Dan, aku tidak tahu bagaimana reaksi perampok setelah mengetahuinya.
“Jangan ngeledekin gue gitu deh, Ris. Lo, kan, tahu itu hape warisan, turun-temurun dari kakak pertama gue. Bisa habis, deh, gue kalau hape itu hilang. Lo, kan, tahu bokap-nyokap gue kayak gimana!” Sahutan Riska adalah suara gelak tawa yang semakin membuatku gelisah.
Ponsel itu memang sebuah warisan, ada sejak sepuluh tahun yang lalu, dan diberikan secara turun-temurun oleh orangtuaku. Awalnya dari kakak pertamaku, Kak Agni, kemudian Ares, kakak keduaku. Setelah itu, menurun ke aku. Selanjutnya, setelah aku lulus SMA nanti, adikku yang paling kecil, Agna, yang akan memilikinya. Begitulah ponsel itu “diwariskan”. Seolah-olah ponsel itu benda keramat. Kenapa tidak keris sekalian? umpatku dalam hati
Sampai saat ini, memang tidak ada yang menyamai ponselku karena teman-temanku sudah punya ponsel pintar. Ponselku itu klasik, vintage. Bentuknya standar, persegi panjang seperti ponsel pada umumnya. Warnanya hitam metalik. Ukuran layarnya seperti pas foto 4 x 6 cm. Ponsel itu cukup tebal dengan ukuran hampir mencapai dua sentimeter. Mungkin bisa digunakan untuk melempar anjing ganas di tepi jalan. Mereknya saja tidak terkenal. Hanya aku satu-satunya orang yang memiliki ponsel bermerek Seluler. Entah dulu kedua orangtuaku mendapat ponsel itu dari mana. Mungkin dulu belinya juga bekas. Pemikiran kedua orangtuaku memang sangat kuno. Bahkan, lebih kuno daripada ponselku yang dirampok itu.
Kata mereka, ponsel yang bagus itu hanya akan mempermudah perbuatan yang tidak baik. Yang terpenting, ponsel itu bisa digunakan untuk berkomunikasi. Fitur lainnya hanya bonus. Maka, aku dan saudara-saudaraku dibatasi oleh peraturan absurd yang tidak mengizinkan kami mendapatkan ponsel keluaran terbaru.
Kalau cuma untuk berkomunikasi, kenapa tidak sekalian pakai surat saja, yang lebih ketinggalan zaman? Aku pun ragu kalau ponsel ini masih bisa digunakan jika nanti diwariskan kepada adikku. Sudah waktunya dia pensiun. Ponsel pun juga punya batas kedaluwarsa. Aku sendiri heran, kenapa ponsel itu masih bertahan lama dan tidak rusak-rusak juga? Ini yang menjadikan kepelitan orangtuaku bertambah kadarnya.
Orangtuaku bilang, kalau ponsel itu rusak sebelum diwariskan kepada adikku, aku terpaksa dibelikan yang baru. Catat baik-baik, terpaksa! Tapi sayangnya, segigih apa pun aku merekayasa perusakan ponsel itu, ia tak kunjung rusak.
Tentu saja rusak beda dengan dirampok! Pasti mereka semakin tidak percaya kepadaku. Sudah diberi amanah dan tanggung jawab, ponsel yang jelek pun tak bisa dijaga. Bagaimana ponsel yang bagus dan canggih? Pasti peluang untuk dirampok atau dicuri lebih besar. Mereka pasti memiliki alasan yang jauh lebih pintar untuk melakukan penghematan. Bisa-bisa lulus SMA nanti aku tak akan mendapatkan ponsel baru! Ataupun kalau aku dibelikan ponsel yang baru, pasti akan jauh dari harapan. Dan lebih baik, aku tak perlu mengharapkan apa pun.
Aku kembali mendesah sedih. Aku tak mungkin bilang kepada orangtuaku tentang masalah ini. Begitu juga dengan Ares, kakak laki-lakiku, yang tidak dapat diandalkan dalam masalah seperti ini. Ia pasti malah akan mengompori orangtuaku. Aku paham betul bahwa kedua orangtuaku akan lebih percaya perkataan Ares karena dianggap lebih logis oleh mereka, walaupun kenyataannya aku benar-benar mengalami kejadiannya. Dan, aku tahu pasti apa yang membuat kedua orangtuaku lebih percaya terhadap argumen Ares. Ares selalu bisa mendukung prinsip “hemat” yang dipegang teguh oleh orangtuaku.
“Bu, hapeku dirampok, beliin yang baru, ya?”
Tidak mungkin aku mengatakan kalimat itu. Bisa-bisa Ares merecoki dengan segala alasan yang dia buat. Dan, kemungkinan terbesar adalah kedua orangtuaku lebih memercayainya daripada aku.
“Minta yang baru aja.” Riska mencoba memberikan solusi yang jelas-jelas sedang aku pikirkan sekarang. Dan, bagiku itu bukan sebuah solusi, melainkan cara untuk bunuh diri paling cepat.
“Enggak mungkin lah, Ris, enggak mungkin banget. Lo kayaknya udah tahu kalau itu hape warisan yang enggak bisa diganggu gugat!” sanggahku percaya diri. Aku paham sifat-sifat keluargaku. Sifat keluargaku yang kuno dan ketinggalan zaman itu. Dan satu hal lagi: pelit.
“Hahaha. Makanya lo enggak bisa ganti hape sampai sekarang, ya?” cibirnya. “Padahal roda sudah berputar. Sekarang sudah zamannya hape layar lebar dan cerdas.” Aku hanya melirik Riska kesal. Tidak berusaha menyangkal bahwa ponselku memang ponsel standar yang hanya bisa untuk SMS dan telepon.
“Bisa jadi ini tanda buat lo biar ganti hape,” cibirnya lagi. “Udah, coba ngomong aja. Hape lo keluaran lama ini. Pasti orangtua lo bisa maklum kalau lo butuh hape yang lebih up to date. Lo pasti belum nyoba ngomong ke mereka juga, kan? Lo coba bilang dulu.”
“Itu kayaknya enggak mungkin banget, deh,” ujarku sambil menghela napas pelan. Entahlah, bisa-bisanya pada zaman semodern ini, aku masih tetap berkutat dengan ponsel kuno dengan layar pas foto 4 x 6.
“Sekarang gue udah enggak punya hape … gue SMS pake apa? Gue telepon pake apa? Pake sepatu, gitu?” Aku mulai kembali meratapi nasib sial yang baru aku alami.
“Gini aja deh, buat sementara lo pake hape gue yang satunya aja. Sampai lo dapet hape yang baru,” ujar Riska memberi solusi. Aku menggeleng lemah. Tidak ingin merepotkan Riska. “Enggak deh, Ris. Gue masih kepikiran hape gue. Jelek-jelek gitu, itu hape warisan.”
“Ya udah terserah, tapi kalau lo butuh, bilang aja.” Riska masih memberikan saran, sedangkan lamunanku sudah terbang jauh entah ke mana. Aku hanya ingin ponsel itu kembali lagi di tanganku.
*
2 November 20xx 16:17
Saat ini aku kembali memikirkan bagaimana caranya aku bisa mendapat ponselku kembali, kalau bisa yang sama persis, agar kedua orangtuaku tidak curiga. Tapi, sepertinya untuk mendapatkan ponsel yang sama persis adalah hal yang tidak mungkin. Mereknya saja tidak jelas, pasti tidak ada yang menjualnya di counter ponsel mana pun.
Tapi, apa pun yang terjadi, aku harus bisa mendapatkan ponsel dengan tipe yang sama. Tadi siang, sebelum kedua orangtuaku berangkat ke Batam dan saat aku masih di sekolah, mereka sempat menanyakan perihal ponselku. Ibu menelepon Riska dan menanyakan keberadaanku karena aku tidak menjawab telepon dan SMS-nya. Untung Riska tidak berkata macam-macam. Riska mengatakan kepada Ibu kalau ponselku ada di modus diam sehingga aku tidak tahu jika ada pesan dan telepon masuk.
BRAK!!!
“Gen, pinjem duit dong!” Tiba-tiba pintu kamarku yang sudah terlalu sering menjadi pelampiasan didobrak secara kasar dan brutal. Seakan aku punya serep pintu yang bisa dibongkar pasang dengan mudah.
Dahiku langsung berkerut tidak suka, aku tahu suara khas yang sangat kukenal ini. Aresta Alfa Pratama, satu-satunya kakak laki-laki yang kupunya dan musuh paling utama di rumah. Lawan urutan pertama yang harus dibasmi.
Umurku dan umurnya hanya berjarak kurang dari dua tahun, mungkin hanya delapan belas bulan. Tapi, sikapnya jauh lebih kekanak-kanakan dibandingkan aku. Dan, hal yang paling aku benci dari dia adalah kebiasaannya yang suka pinjam uang pada waktu dan situasi yang tidak tepat. Sungguh, kakak yang tidak bisa memberikan teladan kepada adik-adiknya.
Dan, kenapa juga aku harus punya kakak laki-laki yang sangat menyusahkan dan merepotkan ini? Kenapa keluargaku aneh semua, sih? Punya orangtua dengan prinsip aneh dan pelit seperti itu. Punya kakak yang menyebalkan dan selalu merecoki urusan pribadiku.
Aku heran, kenapa dia tidak pernah berhenti meminjam uang kepadaku? Perasaan, dia juga dapat uang bulanannya kemarin. Kenapa masih pinjam saja? Dasar BOROS! Aku yakin uangnya buat mejeng, buat cari cewek, dan buat hal-hal sok keren lainnya. Dia pikir aku mau meminjamkan untuk hal-hal tak berperikeuangan itu?
“Lo, kan, udah dapet duit kemarin. Masih kurang?” tanyaku ketus. Aku lirik kolong lemari yang sudah kujejali celengan kaleng yang berisi lembaran uang. Semoga kali ini dia tak akan menemukan celenganku di sana.
“Anak kuliahan butuh duit banyak,” katanya sambil nyengir. Mentang-mentang baru saja masuk universitas, sekarang sok berlagak menyebut dirinya anak kuliahan dan menyebut aku anak ingusan karena aku masih kelas dua SMA.
“Enggak ada!” jawabku ketus.
“Ayolah, Gen. Buat jajan pas demo, nih!”
Jajan saat demo? Apakah pada saat unjuk rasa, para orator akan meluangkan waktu untuk sekadar jajan? Aku tidak habis pikir.
“Dibilang enggak ada ya enggak ada, ngeyel amat, sih!”
“Ih, pelit! Gue bilangin Bokap-Nyokap lho kalau hape lo ilang!” katanya yang membuat aku segera turun dari tempat tidur dan mengunci kedua lengannya.
“Dari mana lo tahu?”
“Eh, sakit! Lepas dulu, Adikku Sayang!” Aku langsung melepasnya, tapi tanganku tetap mencengkeram erat lengannya agar tidak lari mejauh dariku.
Ares menatapku dengan tatapan liciknya. Aku tahu, pasti dia punya rencana buruk dari tatapan dan senyuman liciknya yang menggemaskan. Bukan menggemaskan lucu, tapi menggemaskan yang membuat orang lain muak, ingin meremas-remas bibirnya yang terlengkung sempurna penuh seringai itu.
“Jadi bener hape lo ilang?” katanya tambah nyengir kuda karena telah mendapatkan sebuah kemenangan sekaligus jawaban.
Mataku mendelik ke arahnya.
Sial. Kenapa aku bisa dengan mudah terjebak omongannya, padahal jelas-jelas aku tahu dia sering menjebakku dengan kata-katanya? Padahal, kalau tadi aku tinggal bilang kalau ponselnya dipinjam teman, rahasia besarku tak akan terkuak di depan musuhku sendiri, kan?
“Padahal tadi gue cuma becanda, lho. Gue cuma godain lo, eh ternyata beneran!” Dia tertawa terbahak-bahak dan aku langsung menatapnya tidak suka.
“Padahal itu hape warisan, lho! Enggak bisa bayangin gue, entar bakal diapain.”
Aku langsung memukul lengannya dengan kesal.
“Eh, sakit! Sakit! Barbar banget, sih, lo! Cewek juga!” katanya mencoba menepis kedua tanganku yang dengan brutalnya memukul lengannya.
“Lo sih ngeselin banget! Hape adeknya hilang malah digituin!”