Dering Kematian

Bentang Pustaka
Chapter #3

02

3 November 20xx 15.19

“Cewek, kenalan dong?” Kalimat ini sukses meluncur dengan iring-iringan siulan panjang yang saling menyahut.

“Ikut Abang dangdutan aja.” Sebuah suara lain menyusul yang kembali membuat riuh tempat itu. Semua bersorak ramai dan bersiul-siul. Kurasa namaku bukan siulan. Jadi, aku tidak perlu repot-repot untuk menoleh. Tahan. Harus sabar.

“Kok jauh-jauh, sih. Sini duduk deket Abang yang ganteng ini.” Sekelompok remaja yang tak kukenal pun terbahak, kemudian berceletuk lagi. Aku menghela napas pelan sambil berusaha untuk tidak terpengaruh dengan para pengusik yang tersebar di sudut sana.

Sedari tadi, beberapa anak laki-laki yang sedang nongkrong di depan warung SMK 90 terus saja menggodaku. Ada yang bersiul, ada yang menyoraki. Ada juga yang ngomong seenak jidat dan mengajak kenalan. Aku merasa risi.

Aku sama sekali tak berani mendekat. Pandanganku menatap lurus ke dalam sekolah dengan sesekali melirik ke gerbang sebelah kiri. Dari sudut yang berseberangan akan terdengar sebuah siulan nyaring dari anak-anak yang sedang bersantai di sana.

“Ssst! Lihat sini dong, nyari siapa, sih?” Aku mengernyitkan keningku melihat seorang siswa SMK 90 menggeser duduknya dan menepuk-nepuk sebuah kursi di sebelahnya.

Aku langsung memalingkan wajahku, menghindari tatapan mereka yang seolah mengintimidasi. Memangnya aku ini alien, sampai disoraki dan disiuli begitu? Apa jumlah siswa di sekolah mereka yang keseluruhannya laki-laki membuat mereka kalang kabut tak pernah lihat perempuan?

“Neng, nyari siapa di dalem? Nyari aku ya, Neng?”

Bukan! Nyari rampok! sahutku kesal, dalam hati tentu saja. Mana berani aku mengatakannya di tempat yang bisa membahayakanku seperti saat ini.

Mataku menelusuri setiap detail SMK 90. Satu per satu anak yang keluar kuamati wajah dan ciri-cirinya. Heran, setiap anak yang keluar selalu berjenis kelamin laki-laki. Sekolah kejuruan ini memang bukan sekolah khusus anak laki-laki. Tapi, keseluruhan siswanya menyimpulkan demikian. Dan yang jelas, tidak ada satu pun dari mereka yang keluar dari gerbang dengan pakaian lengkap. Seragam dikeluarkan dan terjuntai ke mana-mana. Kancing seragam yang tidak terpasang dengan sempurna. Celana bergaya pensil yang bawahnya terlalu ketat. Sepatu yang talinya tak terpasang dengan benar dan tidak berkaus kaki. Beberapa ada yang memakai topi, entah dipakai normal, miring, atau dibalik ke belakang. Yang dipakai bukan topi berwarna abu-abu yang sering dipakai ketika upacara bendera, melainkan topi-topi rasta ataupun topi-topi khas anak metal. Tidak ada yang memakai sabuk resmi sekolah, melainkan sabuk dengan kepala kebesaran.

Sudah sekitar puluhan, bahkan ratusan yang keluar. Tapi, belum satu pun yang identik dengan wajah yang kuingat. Sekitar setengah jam lebih pula aku berdiri di gerbang sebelah kanan menanti seseorang. Seseorang yang tidak kuketahui siapa itu, tapi sebentar lagi aku pasti akan tahu siapa dia: teman perampok ponselku. Aku akan dapatkan dia! Harus!

Detik-detik berikutnya aku mulai resah. Tidak hanya karena aku belum bisa menemukan teman si perampok, tapi juga sekarang seluruh mata yang melewatiku pasti memandangku dengan penuh keheranan. Dan, jumlahnya semakin banyak. Di antara mereka yang jumlahnya banyak itu, ada yang bersiul memanggil-manggilku. Ada pula yang memanggilku dengan tepukan tangan. Memangnya aku burung merpati yang bisa diajak pulang?

Tidak cuma itu, anak-anak yang baru keluar pun, bukannya langsung pulang, malah berdiri di sana dan ikut memperhatikanku. Memangnya aku ini manusia langka sampai diperhatikan berlebihan begitu? Aku jadi semakin resah sekaligus risi.

Tingkat kerisianku pun mulai memuncak. Apa mungkin di antara mereka ada yang merasa tertantang untuk berkelahi dengan gadis tak berdaya sepertiku? Pandangan mereka yang berkoar-koar gahar seakan mengajakku untuk bertanding di tempat ini sekarang juga.

Menit berganti menit. Kaki dan tanganku sudah gemetar menahan malu, risi, dan takut. Gigiku bergemeretak kesal. Uh! Ingin rasanya aku mengumpat di depan mereka. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa diam, sambil menahan semua keluh kesah dan umpatan. Rasanya sesak untuk tak mengucapkannya.

Aku harus sabar. Tahan. Tahan. Dan, mendapatkan ponsel itu. Harus!

Lama-lama aku mulai putus asa, apakah penantianku hari ini dengan beragam siulan, tepukan, panggilan, dan godaan akan menyerah hanya sampai di sini? Ah, aku benar-benar putus asa. Jangan-jangan orang yang merampokku sudah keluar. Ketika melihatku, dia langsung kabur.

Rasa putus asaku mulai berpendar ke mana-mana sebelum akhirnya aku menemukan sosok berpakaian putih abu-abu berjalan dari arah parkiran sekolah. Aku sedikit menyipitkan mataku untuk memastikan. Lama-lama, aku semakin dapat melihatnya, karena dia terus berjalan mendekati gerbang.

Sosok yang baru saja aku lihat tampak sedikit mirip dengan sosok yang aku ingat. Aku meyakinkan diriku dengan mengingat-ingat wujud teman si perampok. Tubuh yang tidak kurus dan tidak gemuk, rambut jabrik tak beraturan, padahal rambutnya kriwil—tapi dipaksa untuk mengikuti tren—kulit tidak putih dan tidak hitam. Bibir tipis, hidung tidak mancung tapi juga tidak pesek. Sebuah alis tebal terlihat terlukis di bawah keningnya. Mirip dengan sosok yang dua hari kemarin aku lihat. Berharap saja semoga orang itu bukan kembarannya.

“Heh kamu!” Entahlah suara itu datang dari mana. Suara lantang yang membuat beberapa murid SMK 90 yang tengah berjalan santai langsung menengok ke arahku dengan dahi yang berkerut. Aku sendiri bahkan tidak menyangka bahwa aku telah berteriak di tempat yang tidak semestinya.

Lihat selengkapnya