Jika ada yang bisa mengabulkan permintaannya, Maza ingin sekali berdoa agar perempuan yang duduk di hadapannya lenyap seketika. Gadis berkacamata itu sempat pula berpikir, seandainya jendela kereta tiba-tiba terbuka dan perempuan berambut sebahu yang sejak tadi menatapnya dengan dahi berkerut tiba-tiba saja tersedot ke luar jendel lalu terbang meninggalkan Maza yang duduk di dalam gerbong kereta. Namun, tentu saja semua itu tidak terjadi. Perempuan berpakaian ketat dengan lengan terbuka itu tetap menatap Maza dengan lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Sesekali perempuan itu mengerutkan kening. Sesekali dia memiringkan kepalanya seolah pandangannya belum terlalu cermat jika hanya memandang lurus ke depan. Di seberang bangku, Maza salah tingkah dan mencoba memalingkan wajah ke arah jendela. Pada deretan padi-padi yang menguning yang terlihat seperti berlarian mengejar matahari pagi.
Bangku kereta yang diatur berhadap-hadapan sering kali membuka peluang para penumpang untuk saling memperhatikan bahkan berbincang. Sebagian orang menyukainya karena merasa menemukan teman sementara dalam perjalanan, tetapi pada sebagian lainnya seringkali membuat tidak nyaman dan mengganggu kenikmatan perjalanan.
Kereta kelas ekonomi yang baru berangkat 20 menit itu tampak masih lengang. Beberapa bangku terlihat masih kosong. Pada bangku yang sudah terisi, para penumpang terlihat merapatkan jaket. Udara pagi masih dingin, ditambah air conditioner dalam gerbong yang menyala pada suhu 18 derajat celcius. Cahaya matahari dari luar samar-samar menembus kaca jendela kereta yang sedikit kusam tetapi tetap tidak mampu memberi kehangatan pada para penumpang yang terlihat masih ingin melanjutkan tidurnya.
Mendapat tatapan yang lekat, Maza mulai terlihat kikuk. Kedua tangan kanannya memeluk tas ransel berwarna hijau army yang sejak tadi dipeluknya. Sebenarnya Maza tidak merasa aneh mendapati seseorang menatap dirinya dengan seksama. Para kerabat, teman-teman mamanya, tetangga, hingga teman-temannya kerap melakukan hal yang sama. Apalagi jika Maza sedang berjalan bersama Naima, mamanya.
Tidak sedikit orang yang terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak percaya bahwa Maza anak kandung Naima. Meski ucapan itu diutarakan dengan gaya bercanda dan hanya bermaksud menggoda, bagi Maza tetap terasa menyakitkan. Wajah Maza memang terlihat berbeda dengan mamanya. Jerawat memerah yang tersebar merata di seluruh dahi dan kedua pipi, serta kacamata bulat yang terlihat kuno, kerap membuat Maza dipandang dengan dahi berkerut.
Gadis berusia 16 tahun itu sering merasa bingung. Mengapa wajahnya menjadi tempat yang menyenangkan bagi jerawat-jerawat kecil dan kemerahan untuk tumbuh dan berbiak layaknya jamur di musim penghujan. Dia sudah berusaha menuruti aturan yang dibuat mamanya di rumah: makan mie instan maksimal satu minggu sekali, tidak terlalu sering mengkonsumsi gorengan dan memperbanyak makanan yang direbus, mengurangi minuman dan makanan yang manis, banyak minum air putih, tidur tidak lebih dari jam sepuluh malam, melakukan perawatan wajah, dan masih banyak aturan lain. Susah payah dia mematuhi semuanya, bintik merah yang membuat wajahnya terlihat seperti kepiting rebus itu tak juga enyah dari wajahnya.
Meski sudah terbiasa dipandang dengan tatapan lekat, Maza tetap merasa tak nyaman dan malu ketika seorang perempuan asing yang duduk berhadapan dengannya di dalam gerbong kereta menatapnya nyaris tanpa berkedip. Dia memasang earphone meski tidak ada musik yang didengarkan, berpura-pura memejamkan mata seolah-olah hendak tidur dan mengabaikan pandangan yang baginya terasa mengintimidasi itu.
“Berapa usiamu?” Perempuan dengan dandanan tebal itu mengajak Maza berbincang. Gadis yang menggunakan jaket lengkap dengan hodie yang terpasang di kepala itu berpura-pura tidak mendengar.
“Hei, berapa usiamu? Jangan berpura-pura tidak mendengar. Kamu seharusnya tidak ada di kereta ini.” Perempuan itu mencolek lengan Maza dan membuatnya terkejut.
Gadis itu gelagapan. Dia membuka matanya sambil mengerutkan punggungnya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Sapaan orang tak dikenal di dalam kereta yang berangkat pukul lima pagi terasa sedikit menakutkan. Apalagi tidak ada seorang pun di gerbong yang Maza kenal.
Selama ini dia berhasil melawan perundungan di sekolah. Maza tidak akan tinggal diam ketika ada seseorang yang mengolok-olok penampilannya. Dia tidak akan peduli apakah itu seorang laki-laki bahkan kakak kelasnya. Maza akan menjawab dengan lantang. Tubuh Maza yang tinggi dan gempal, apalagi dia adalah atlet karate sekolah, tentu membuat teman-temannya tak berani meledek Maza. Akan tetapi, ketika orang dewasa bertanya dengan nada mengintimidasi di dalam kereta, Maza sedikit gemetar. Dia bertanya-tanya, apa berwajah buruk memang akan selalu mengundang keinginan orang untuk merundungnya?
“Tujuh belas,” jawabnya ragu-ragu sambil menyembunyikan ketakutannya. Dia ingat nasihat mamanya yang selalu menasihati Maza untuk tidak menunjukkan rasa takut kepada siapa saja yang terlihat akan merundungnya. Maza berpura-pura acuh dan hendak melanjutkan tidurnya.
“Kamu bohong, ya? Orang tuamu pasti sedang kebingungan mencarimu.” Perempuan itu mendesak.
“Kamu seharusnya pulang. Dunia luar tidak baik untukmu, Anak ingusan.” Perempuan itu mencondongkan badannya ke arah Maza, berbisik sambil menoleh ke kanan dan ke kiri pada lorong gerbong. Tanpa diduga perempuan yang mengenakan kaos tanpa lengan itu pindah tempat duduk di sebelah Maza yang sedang kosong.
“Kamu pasti kabur dari rumah, ya?” Perempuan itu mengerutkan kening memandang Maza.
Maza menggeleng dengan kedua alis bertaut.
“Bohong,” sergahnya. “Waktu saya seusia kamu, saya juga sering minggat dari rumah. Kenapa? Bertengkar dengan ibumu? Ayahmu? Atau saudaramu?”