Malam hari.
Aku sedang berada di kamar ku, setiap malam aku selalu membaca novel kesukaanku.
Tok tok tok.
“Pak, kenapa?” tanyaku setelah membuka pintu.
“Mir, itu ada Om Ridwan di depan,” jawab Bapak.
“Om Ridwan, datang ke sini Pak?” tanyaku sedikit mengeryit.
“Iya. Itu Om Ridwan bawa laki-laki yang mau dikenalin ke kamu. Sekarang ada di depan, kamu samperin sana,” perintah Bapak.
“Hah? Tapi ini kan udah malem Pak, ini udah jam berapa,” tangkasku.
“Udah, kamu jangan kebanyakan alesan, pokoknya kamu siap-siap, samperin ke depan. Orangnya udah datang kesini, masa mau dianggurin,” decak Bapak kesal
Entah apa yang aku rasakan, yang jelas aku sama sekali tidak pernah menyukai situasi seperti ini. Aku pun terpaksa bersiap, memakai pakaian serta kerudung lalu menemui pemuda itu.
“Om,” ucapku lalu menyelami tangan adik dari Bapak itu.
“Mir,”
Aku tersenyum kecil pada pemuda yang bawa oleh Om Ridwan.
“Mir, kenalin, ini namanya Aris. Aris, ini Mira keponakannya Om. Kalian ngobrol aja yah, Om mau ngobrol sama Bapak soalnya,” ucap Om Ridwan.
Bapak dan Om Ridwan lalu meninggalkanku dengan pemuda itu. Pemuda yang menurutku lumayan sedikit gemuk dengan tinggi badan sekitar 165 cm lalu berat badan sekitar 85 kg. Memakai kaos berwarna putih, terlihat ketat dan sempit dibagian lengan dan perutnya, serta terlihat seperti kaos dalam. Perutnya yang terlihat buncit menonjol, dan memakai celana jeans model pensil yang juga ketat ke bawah serta wajahnya yang tampak berkeringat.
“Silahkan, duduk Mas,” ucapku.
Aku dan pemuda itu duduk di teras depan rumah.
"Mira yah, namanya?" tanyanya.
"Iya,” jawabku.
"Oh iya, manggilnya jangan pake Mas dong. Kalo langsung namanya aja gimana? Biar lebih akrab," ujar pemuda bernama Aris itu.
"Maaf Mas, saya ga terbiasa manggil orang dengan sebutan nama langsung," tuturku.
"Oh gitu, ya udah lah," ujarnya.
"Oh iya, Masnya mau minum apa?" tanyaku.
“Emm, ga usah repot-repot,” jawabnya sungkan.
"Ga apa-apa. Mau kopi, teh?" tanyaku lagi. Meskipun aku tidak menyukai kedatangannya, tapi ia tetaplah tamu di rumahku. Sudah sewajarnya aku menawarkan hidangan meskipun hanya berupa minuman.
“Kopi boleh deh,” jawabnya.
"Sebentar,”
Aku pergi ke dapur untuk membuatkan kopi, setelah itu membawanya untuk pemuda itu.
"Ini kopinya, silahkan,” ucapku setelah meletakkan secangkir kopi.
"Makasih yah," balasnya lalu langsung menengguknya.
“Masnya kenal dimana sama Om Ridwan?” tanyaku membuka topik.
Aku memang pendiam, tak banyak yang aku lakukan selain bekerja dan bersih-bersih rumah. Tapi aku cukup tau bagaimana menghargai orang yang tengah mengobrol denganku.
"Oh itu. Kebetulan Om aku itu temennya Om Ridwan. Waktu aku nganterin Om aku ke rumah Om Ridwan, aku ketemu sama Om Ridwan, ya kita jadi ngobrol-ngobrol gitu, terus Om Ridwan bilang katanya ada keponakan dia yang lagi nyari calon suami," jawab Aris.
"Om Ridwan bilang gitu?" tanyaku sedikit terkejut. Karena aku merasa tidak pernah meminta bantuan Om Ridwan untuk mencarikanku jodoh. Mungkin ini permintaan Bapak, karena Bapak kerap kali bercerita pada adiknya itu.
"Iya, ternyata orang itu kamu? Jadi kamu belum punya pacar? Terus sekarang kamu mau nyari calon suami?" tanyanya. Sontak membuatku langsung menoleh padanya.