Derita Penantian Cinta

Ulfah Pauziah
Chapter #10

Chapter 10

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, lalu dinaikan lagi ketika jalanan terasa sepi. Aku melihat, mobil yang kutumpangi masuk ke sebuah pedesaan dengan jalan yang cukup sempit, sebuah desa dengan dikelilingi penampakan sawah yang hijau dan juga segar. Namun entah kenapa perasaanku justru semakin tidak enak, setelah satu jam lebih, mobil pun lalu berhenti di sebuah rumah dengan pekarangan yang cukup luas. 


"Ini rumah siapa Mbak?" tanyaku seraya melihat rumah itu.


Mbak Ratih tak menjawab, ia justru seperti tengah menikmati pemandangan di sekitar rumah itu. 


"Ayok turun, kita sudah sampe," ajak Bu Santi. 


"Maaf Bu, ini rumah siapa yah? Kita mau ngapain ke sini?” tanyaku.


“Udah, kita masuk aja dulu. Nanti juga kamu tau,” jawab Bu santi.


“Ayo Mir, kita turun,” ajak Mbak Ratih semangat. 


“Assalamualaikum,” ucap Bu Santi.


“Walaikumsalam warohmatullahi wabarakattuh,” jawab seorang laki-laki dari dalam.


Laki-laki itu pun menghampiri. Seorang laki-laki paruh baya, ia terlihat tidak terlalu tua dan tidak muda juga, usianya berkisar kurang lebih 45 tahun menggunakan baju koko, celana panjang dan juga peci di kepalanya, penampilannya persis seperti seorang ustad.


“Bu Santi, masuk, masuk, masuk. Silahkan duduk,” ucap laki-laki itu dengan ramah.


Aku, Bu Santi dan Mbak Ratih masuk dan duduk di dalam rumah itu. 


“Gimana perjalanannya? Jauh yah? Di jalan macet?” tanya laki-laki itu seraya duduk bersama kami.


“Lumayan, tapi kalo macet Alhamdulillah engga,” jawab Bu santi.


“Alhamdulilah. Mau minum apa?” tanya laki-laki itu.


“Ga usah repot-repot, Pak,” jawab Bu Santi.


“Ga repot, tapi cuma ada air putih kemasan kayak gini aja, ga apa-apa yah,” ungkap laki-laki itu.


“Iya, ga apa-apa. Oh iya, ini loh Pak, ini anak-anaknya Pak Yanto. Yang ini namanya Ratih dan ini adiknya, namanya Mira,” ucap Bu Santi memperkenalkan aku dan Mbak Ratih. Aku dan Mbak Ratih hanya tersenyum. 


“Oh, iya. Jadi yang mau diobati berarti yang ini yah? Mbak Mira?” tanyanya padaku seraya menunjuk dengan jari jempolnya. 


Sontak membuatku tercengang, apa aku tidak salah dengar? Kenapa laki-laki yang di depan ku ini bilang, aku mau diobati? Memangnya aku sakit apa? Aku semakin bingung sekaligus juga cemas, sebenernya apa yang mau mereka lakukan.


“Iya Pak Kamil. Seperti biasa, Pak Kamil juga pasti sudah tau,” jawab Bu Santi.


“Silahkan, diminum dulu yah, ini juga ada sedikit cemilan kampung sini,” ujar laki-laki bernama Kamil itu.


“Maaf Mbak Mira, katanya, Mbak Mira sudah bekerja?” tanya Pak Kamil padaku.


Lihat selengkapnya