Seharian Meera terpekur di ruang segi empat ber cat biru muda nun megah itu. Hari ini dia tidak masuk kuliah dan mengurung dirinya di kamar. Makanan yang dikirim Bik inem di nakas pun sama sekali tidak di sentuhnya. Dia benar-benar sedang tidak berselera. Malam ini di meja makan ia berniat untuk mempertanyakan tentang perjodohan itu. Ia sungguh tidak percaya orangtuanya mengambil keputusan tanpa meminta pendapat darinya, terlebih memikirkan perasaannya.
Tepat pukul tujuh malam. Saat bintang-bintang mulai menghiasi langit. Kerlap-kerlip lampu memenuhi jalanan. Membuat malam terlihat tidak begitu pekat. Meera keluar dari kamarnya. Wangi tubuhnya semerbak bak taman Pitaloka. Rambut gelombang ia biarkan terurai begitu saja. Tanpa riasan di balut baju tidur Meera terlihat sangat casual. Begitulah Meera, selalu saja cantik meski hanya dengan pakaian tidurnya. Kali ini Meera tidak menggunakan softlens, ia memilih menggunakan kacamata tebal untuk menutup bengkak dimatanya. Itu sama sekali tidak mengurangi kecantikan gadis berwajah oval dengan rambut hitam legam.
"Malam, ayah. Ibu."
"Malam sayang, sini duduk. Ayah sama ibu sudah nungguin kamu loh. Bagaimana perutnya? Sudah baikan?" Tanya ibu pada Meera yang kini duduk di kursinya.
"Sudah ibu. Meera baik-baik saja."
"Syukurlah, kata nak Alex waktu di pesta kamu tiba-tiba sakit perut. Ibu khawatir banget sayang."
Mendengar nama Alex disebut, Meera seperti ingin kembali ke kamarnya. Namun ia urungkan. Takut menyakiti hati orang tuanya.
"Aku baik ibu," jawab Meera.
"Ayah, ibu. Meera ingin bertanya sesuatu." Lanjut Meera. Dia sudah tidak sabar ingin membahasnya.
"Ada apa nak? Kebetulan sekali, ayah sama ibu juga ada yang mau dibicarakan sama kamu." Kali ini ayah yang menjawab pertanyaan Meera.
"Apa benar, ayah sama ibu menjodohkan Meera?"
"Ah, ternyata kamu sudah tahu. Syukurlah. Jadi ayah sama ibu tidak perlu bersusah payah menjelaskannya. Benar kan Bu."
Ibu mengangguk.
"Iya nak. Bagaimana nak Alex? Dia baik, kan. Sopan, berpendidikan, pengusaha muda sukses lagi. Kamu suka kan?" Ibunya menimpali.
Ayah dan ibu tersenyum mengangguk. Sedang Meera merasa pertahanannya akan runtuh. Air hangat itu sudah kembali menggenang di pelupuk matanya. Dia mendongakan kepala agar air itu tidak jatuh dihadapan ayah ibunya.
"Tapi Meera belum ingin menikah ayah, ibu."
"Kenapa?" Nada bicara tuan Ananta mulai serius menanggapi keberatan putrinya.
"Ayah, aku masih muda. Aku masih harus menyelesaikan kuliah. Meera tidak mau dijodohkan ayah."
"Kamu harus segera menikah. Masih muda bagaimana? Umur kamu itu sudah 25 tahun Meera. Kamu harusnya sudah siap untuk menikah. Kalau kamu tidak mau dijodohkan apa kamu sudah punya pacar sekarang? Kamu saja masih jomlo di usiamu yang sekarang ini. Bisa-bisa jadi perawan tua kamu nanti."
"Tapi ayah, 25 tahun itu belum tua. Aku nanti juga bakal nyari calon suami aku sendiri. Kenapa harus dijodohkan ayah. Apa ayah merasa Meera tidak laku?"