"I love you Andini," ucap Ananta memeluk istrinya yang tersenyum menatapnya.
Istrinya terlihat sangat lelah. Suami istri itu menghabiskan malam dengan saling berpelukan, sembari mengingat betapa luar biasanya cinta mereka.
***
"Permisi non Meera. Bibi mau antar makanan."
Tidak ada sahutan dari dalam. Sunyi. Pelayan yang biasa di panggil bibi itu memutar kenop pintu. Ternyata tidak di kunci. Bibi masuk ke dalam kamar Meera. Meletakkan makanan di atas nakas tanpa bersuara. Kemudian segera keluar, takut mengganggu si empunya kamar.
Di dalam ruangan segi empat bercat putih. Meera telungkup sesenggukan di atas ranjang. Gadis yang selalu ceria itu kini tengah dilanda gundah gulana. Dia masih tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Ayahnya bahkan sampai tega menamparnya. Itu menjadi tamparan pertama ayah kepadanya. Kelelahan menangis Meera pun terlelap. Ia kembali terbangun saat jarum jam menunjukkan pukul 21:15. Perutnya keroncongan. Setengah sadar ia mencoba mengingat apa yang terjadi.
Kepalanya pusing. Mungkin karena sedari tadi dia terus menangis. Meera melangkah menuju nakas. Dia harus tetap makan meski hatinya sedang tidak baik. Sepertinya beberapa waktu ini dia perlu tenaga lebih ekstra.
****
'Jemput aku di rumah ya Dit. Sepertinya aku tidak bisa menyetir sendirian hari ini.'
Terkirim, Dita.
Sebuah pesan singkat Meera kirimkan pada teman karibnya. Tak lama mobil hitam Andita pun sudah berada di depan rumah Meera. Mereka segera meluncur ke kampus. Lincah Andita memarkirkan mobilnya. Saat itu masih terlalu awal untuk masuk ke kelas pertama. Mereka kompak menuju kantin.
Kantin cukup ramai, Meera memilih bangku di pojok ruangan, menghindari segala keramaian. Pojok kantin memang jadi tempat yang paling tepat untuk mengobrol. Selain tidak terlalu mencolok juga cukup aman dari gangguan aktivitas mahasiswa yang sedang sarapan.
"Kenapa kamu, muka ditekuk-tekuk gitu? Kucel amat." Seloroh Dita mendudukkan dirinya di samping Meera.
"Aku di suruh nikah Dit."
"Hahaha, seriusan kamu? Ya udahlah nikah."
"Nikah sama siapa coba?!"
Beberapa detik setelah ucapan Meera, muncul seorang pria berkacamata di pintu kantin yang membuat Dita reflek berseru, "Adrian!" sontak membuat si empunya nama menoleh pada sumber suara.
"What?!" Meera berseru kaget.
Meera melotot. Cepat-cepat Dita membekap mulutnya kemudian nyengir tak berdosa.
"Sorry ... kelepasan."
Hampir saja Meera menyemprot Andita habis-habisan. Namun ocehannya terhenti saat seseorang berada di dekat meja mereka.
Ya, dia adalah Adrian. Pria berkacama dan lesung tipis di kedua pipinya. Sangat manis. Dia adalah pria paling rajin di kampus. Adrian masuk dalam kategori pria yang cukup terkenal dan memiliki nama baik di kampus. Banyak gadis yang menyukainya, tapi entah apa alasannya dia masih jomlo sampai saat ini. Adrian juga termasuk sahabat dekat Dita dan Meera.
"Ada apa?" Adrian mengangkat kedua alisnya.