Derita Ungu

Arzaderya
Chapter #6

Sebuah Rasa

"Meera." Ayah mencoba menenangkan Meera.

""Kamu masuk ke kamar." Tambah Tuan Ananta.

"Tapi Ayah," jawab Meera memelas.

"Ayah bilang masuk." Tegas Ayahnya. Meski setengah terpaksa Meera pergi ke kamarnya.

"Puas kamu!" umpatnya pada Alex kemudian berlalu.

"Maafkan sikap Meera ya nak Alex. Dia sedikit keras kepala. Sangat susah di bilangin. Tapi percaya sama om, Meera gadis yang baik. Dia putri kesayangan Om. Dia adalah permata om yang sangat berharga," ucap Tuan Ananta sembari tersenyum hambar.

"Tidak apa-apa om." Alex hanya mengangguk.

Alex merasa bersalah, seharusnya dia tidak datang ke sini. Kedatangannya membuat keluarga yang selalu harmonis jadi saling beradu mulut.

"Bagaimana nak. Apakah sangat sakit?" Tanya Tuan Ananta yang melihat Alex tampak diam saja.

"Oh, tidak Om. Meskipun aku akui putri Om punya tenaga yang cukup luar biasa. Tapi sekarang sudah tidak sakit lagi kok Om." Alex mengusap pipinya. Tuan Ananta hanya tertawa.

"Oh iya Om. Udah sore. Saya pulang dulu ya," ucap Alex.

"Hadehhh ... kenapa harus terburu-buru? Nginep di sini saja."

"Mungkin lain waktu, Om. Alex permisi dulu."

"Ahaa ... ya sudah, Om tidak memaksa. Hati-hati di jalan ya, nak. Mari Om antar sampai depan." Alex mengangguk.

Tuan Ananta mengantarkan Alex sampai ke teras rumah. Alex masuk ke dalam mobil miliknya dan melaju pelan meninggalkan pekarangan rumah Meera dan keluar dari perumahan Mawar Indah. Mobilnya melaju cepat ke apartemennya yang tidak terlalu jauh dari Mawar Indah.

Hanya butuh waktu tiga puluh lima menit untuk sampai di apartemen miliknya. Kamarnya berada di lantai dua puluh satu. Pria itu naik menggunakan lift. Saat sampai di apartemen Alex segera masuk dan merebahkan diri untuk sejenak.

***

Langit mulai gelap. Senja pun sudah meninggalkan jingganya. Meera masih terpekur karena perlakuan ayahnya sore tadi. Ayah lebih membela Alex si pria brengsek itu daripada dirinya, anak kandungnya sendiri.

Sebuah ketukan pintu menyadarkan Meera dari lamunannya.

"Meera." Panggil seseorang dari luar.

Meara merasa belum siap bertatap dengan ayahnya. Ia masih sangat kecewa. Namun dia sama sekali tidak tega membiarkan ayahnya begitu saja. Akhirnya gadis itu membuka pintu dan membiarkan ayahnya masuk.

Lihat selengkapnya