Dermaga

Yohana Indriani
Chapter #1

Prolog

Pesisir Tagall, 1889

Nala, gadis berkepang dua mengenakan kebaya putih dan jarik berkeliling menawarkan dagangannya kepada penumpang kapal yang bersliweran di sekitar dermaga. Selain Nala, ada beberapa wanita lain dari berbagai usia yang menjemput rejeki di sana. Namun, penampilan Nala tampak mencolok dibandingkan lainnya. Kain batik persegi panjang menutupi rambut dan separuh wajahnya tak pernah lepas dari kepala.

“Nasi jagung, Tuan,” tawarnya kepada lelaki dewasa mengenakan pakaian cheongsam krah sanghai yang tengah duduk di tepi dermaga. Huan, pria bermata sipit berhidung mancung itu tak merespon, tetap fokus menatap kapal memperhatikan lalu lalang manusia dengan bermacam-macam ras dan warna kulit. Nala tak patah semangat. Sekali lagi ia mencoba peruntungannya.

“Nasi jagung, Tuan. Masih hangat,” tawarnya lagi.

“Yang ini lebih enak, Tuan,” timpal Mirah, perempuan bertubuh montok, berhidung pesek dengan tahi lalat besar di bawah bibir. Ia sengaja mendorong tubuh Nala dengan lengannya, supaya gadis itu menyingkir.

“Aku duluan,” protes Nala.

Mirah melotot. “Berani kau denganku? Sudah kubilang jangan berjualan di sini. Bagaimana kalau belatung di wajahmu itu berjatuhan. Orang-orang disini bisa jadi tak doyan makan. Pergi sana!” teriak Mirah. Nala menolak. Keduanya bersitegang saling menyodok. Mirah hendak menarik kain yang menutupi kepala dan sebagian wajah Nala, namun Nala berhasil menghindar. Lekas-lekas ia kencangkan ikatan kain itu agar tak lepas.

Huan mulai terganggu.  “Hei, kalian berdua kemari,” panggil lelaki berdada bidang itu, melambaikan telapak tangan memberi sinyal untuk mendekat.   

“Bungkus dagangan kalian masing-masing sepuluh saja,” perintah  lelaki berusia 36 tahun itu.

Dengan cekatan dua gadis itu membungkus nasi jagung dan parutan kelapa ke dalam daun pisang. Huan memperhatikan wajah Nala yang hanya terlihat sebagian saja. Namun, ada  sesuatu yang membuatnya tertarik. Bentuk mata dan hidung gadis di hadapannya mengingatkannya pada seseorang.  Usai menerima uang, kedua gadis itu bergegas pergi, tetapi Huan kembali memanggil Mirah .

"Hei, kamu yang berbaju merah, ke sini sebentar,” panggilnya.  Mirah mendekat, Nala menoleh sebentar,  tetapi kembali melanjutkan langkahnya tak mau tahu. 

"Ya, Tuan! Ada yang bisa saya bantu? ”  ucapnya genit sembari menggoyang-goyangkan kaki dan memilin kepang rambutnya.

Lihat selengkapnya