Residen Tagall, 1862
Dayu masih berusia 6 tahun saat para serdadu berkulit putih itu datang ke kampungnya di pesisir Laut Jawa. Mereka yang sebagian besar pemuda belasan tahun mendirikan pos di sebuah rumah besar milik salah satu pemuka kampung sekaligus pemilik perkebunan tebu. Seiring kehadiran mereka, beberapa perempuan pribumi diminta untuk menjadi babu yang bertugas melayani, mulai dari memasak, mencuci, dan menyetrika baju Tentara Hindia Belanda.
“Jangan putri saya, Pak! Tolong!” pinta Warno. Paman Dayu itu berlutut kepada seorang pangreh praja.
"Bawa gadis itu!” teriak lelaki kurus berkumis tebal dengan setelan beskap berkerah leher.
Mudrikah ikut bersimpuh sembari memeluk erat Ipah, putrinya yang telah berusia 16 tahun. Sementara Dayu bersembunyi di belakang tirai karena takut. Namun, petugas Belanda itu tak peduli. Ipah tetap dibawa untuk melayani para prajurit dan pejabat Belanda. Selama berbulan-bulan Dayu tak pernah berjumpa lagi dengan Ipah. Hingga suatu hari Ipah pulang dalam keadaan lingung. Hari berikutnya, Dayu melihat sendiri, kakak sepupunya itu meregang nyawa tergantung di tiang dengan leher terjerat tali. Ipah bunuh diri karena ternyata selama ini diperlakukan keji. Digilir untuk memenuhi kebutuhan biologis para prajurit, bahkan dipukuli hingga berdarah. Sejak saat itu pekikan suara perempuan dan erangan napas menjelang ajal menghantui kepalanya.
Sepuluh tahun kemudian.
Pagi itu, asap tampak mengepul dari kisi-kisi dinding dapur rumah terbuat dari anyaman bambu milik keluarga Warno. Minyak goreng di dalam wajan telah mendidih beradu dengan ikan kembung. Permukaannya berbuih, menimbulkan suara 'bluthuk-bluthuk'. Namun, gadis cantik berkulit kuning langsat itu bergeming. Jongkok di atas dingklik, pandangan Dayu terlihat kosong.
Pikirannya menerawang jauh kembali ke masa-masa manis sepuluh tahun silam. Kala itu, ia masih bisa merasakan hangatnya pelukan ibu dan bapak. Bermain di tepi pantai, mengail ikan di muara Sungai Kemiri, mencari kepiting di tengah rerimbunan bakau dan banyak hal yang tidak bisa ia lupakan dalam memori. Semuanya mengalir di benaknya bagai pertunjukkan tonil.
Ia tersadar dari lamunan, saat derit roda pedati berubah menjadi teriakan seorang perempuan yang memekakan telinga. Kedua tangannya spontan bergerak menutup kedua kuping. Sayang, lengannya justru menyenggol tepi wajan yang panas, membuatnya terperanjat.
“Aduh, Gusti!" teriaknya, mengejutkan Mudrikah dan Arum yang tengah beraktivitas di ruangan sama.
"Ada apa, Nok?” tanya Mudrikah.
Wanita separuh abad itu beranjak dari bangku tempat ia mengiris bawang menghampiri keponakan yang sudah dianggapnya seperti anak kandung.
“Mboten nopo-nopo Budhe, cuma 'keslomod',” Dayu menunjukkan lengan kanannya yang melepuh.
“Lho, kok bisa 'keslomod'? Hati-hati tho, Nok. Sekarang lebih baik kamu obati lukamu. Di wadah bumbu ada asam kawak. Ambil sedikit, campur kapur sirih, lalu oleskan di situ. Budhe mau ke depan sebentar. Kelihatannya Pakdhemu sudah datang."
Gadis berusia 16 tahun itu bergegas menjalankan saran Mudrikah.
“Mbak Rum, titip penggorengan sebentar,” pinta Dayu pada Arum, kakak iparnya yang tengah membatik.