Wajah Dayu semringah begitu kakinya menginjak halaman rumah lugu. Ia bergerak mengitari bangunan berdinding bambu beratap rumbia menuju halaman belakang, serta merta bersimpuh di samping pusara. Tangisnya pecah, mencurahkan rindu tak tertahan. Mulutnya komat-kamit, sesenggukan merapal doa dan ayat suci sembari menabur bunga dan air mawar yang telah ia siapkan. Cukup lama. Hingga batinnya merasa lega, tangannya mulai bekerja membersihkan makam dari rumput liar dan dedaunan kering.
Setelah dirasa bersih, Dayu melangkah pulang. Dia memutuskan tak jadi berbenah rumah lugu karena ingin menyambut kepulangan Mas Danu. Namun, tak sengaja pandangan mata tertuju pada kebun singkong di samping rumah. Gundukan dan tanah bekas cabutan ubi kayu berserakan.
Siapa yang memanen? Batinnya. Bulu kuduk merinding membayangkan jika itu perbuatan hewan liar. Dia beranjak meninggalkan kebun. Akan tetapi kakinya kembali tertahan. Aroma sangit tercium kuat menusuk hidung. Gadis itu mengeluarkan kunci dari ujung jarik yang ia ikat menyerupai buntal. Tergesa-gesa membuka gembok rantai pintu utama, lalu berjalan ke arah dapur. Di sekitar tungku terdapat abu bekas pembakaran, padahal ia sudah membersihkannya dua minggu yang lalu.
Penasaran Dayu menjumput abu lalu menggenggamnya. Hangat. Ia yakin ada orang yang datang dan diam-diam tinggal tanpa seijinnya. Di tengah tanda tanya besar di kepala, derap langkah kaki di luar rumah mengejutkan gadis itu. Melalui jendela, ia melongok mencari tahu. Sesosok tubuh berpakaian cheongsam berlari terburu-buru mendekati lokasi dimana dia berdiri.
Tanpa pikir panjang Dayu menyambar sebilah kayu yang biasa digunakan sebagai penyangga daun jendela, lalu bersembunyi di balik pintu dapur. Ketika orang itu menyibak daun pintu, Dayu mengayunkan senjata dan tepat mengenai lengan kanan lawannya hingga tersungkur.
“Maling!” teriaknya spontan.
Dayu kembali mengangkat batang kayu tinggi-tinggi hendak melakukan hal serupa. Tetapi pria itu dengan gesit menangkis hingga kayu terlepas dari genggaman. Perempuan berlesung pipit itu bergerak mundur, mencari cara lain untuk mempertahankan diri. Cepat-cepat jemari tangannya meraup abu dan menabur tepat ke wajah lawan. Benar saja, lelaki di hadapannya gelagapan. Tubuhnya mengusruk, punggungnya menabrak dinding rumah hingga bergetar.
Melihat musuhnya lengah, Dayu mengambil kembali kayu yang tergeletak di sebelah lelaki itu. Serangan terakhir dilancarkan. Musuhnya benar-benar lemah.
“Dayu tenang dulu. Ini aku Huan," lelaki berperawakan tinggi tegap, mata sipit itu mengatup kedua tangan memohon dengan sungguh-sungguh. Napasnya terengah-engah.
Dayu menurunkan senjata andalannya, tetapi tetap siaga.
“Huan? Sedang apa di rumahku? Bagaimana caranya kamu bisa masuk?” heran Dayu melihat teman kecil yang hampir sepuluh tahun tidak pernah muncul di hadapannya.
“Akan aku jelaskan. Kalau soal masuk, bukankah kau yang dulu mengajariku untuk mencongkel jendela dekat dapur?” Lelaki itu mengatur napas, berkali-kali menghembuskan karbondioksida dari mulut.
Dayu menyeringai mengingat perilaku buruknya yang sering kabur dan keluar masuk melalui jendela.
"Aku bersembunyi di sini untuk menghindari kompeni. Tolong bantu aku," jelas Huan lagi.
“Kompeni?”
Huan mengangguk, kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan kantong berwarna merah dan melemparnya ke arah Dayu yang berdiri sejauh dua meter dari tempat ia duduk. Kantong itu jatuh tepat di bawah kaki jenjang Dayu.