Menenteng tas anyaman peninggalan ibunya, Dayu balik menemui Huan.
“Aku kira kau sudah pergi,” ujar Huan lirih, begitu Dayu muncul di hadapannya.
“Aku tidak tega meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini.”
Huan tersenyum sembari memandangi wajah teduh gadis berlesung pipi. Ada desir halus muncul perlahan di hatinya. Dayu mengambil pisau menyobek bagian atas lengan baju lawan bicaranya.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Lukamu sepertinya parah. Maaf aku memukulmu terlalu kencang,” ucap Dayu. Ia lantas membalurkan jahe dan daun kunyit yang telah ditumbuk. Menjepit lengan dengan dua bilah bambu, kemudian mengikatnya menggunakan sobekan kain.
“Ah, iya. Kau seperti banteng yang lepas tadi,” kelakar Huan disambut gelak tawa Dayu memamerkan gigi gingsulnya membuat lelaki di depannya terkesima.
“Sudah lama aku tak melihatmu,” Dayu kembali membuka percakapan.
“Sekarang aku menetap di Semarang”
“Di mana itu?”
“Kau benar tidak tahu?”
Dayu menggeleng kencang.
“Itu berada di sebelah timur daerah ini. Sekitar tiga sampai empat jam dengan kapal. Apa kau belum pernah ke sana?” jelas Huan.
"Sering mendengar, tetapi belum pernah berkunjung. Sejak kecil sampai sebesar ini, aku belum pernah meninggalkan daerah ini. Jadi bersyukurlah kau bisa melihat dunia luar.” Huan tersentuh mendengar pernyataan Dayu.
“Lalu, mengapa kamu menghindari kompeni?” cecar Dayu lagi karena Huan tak kunjung menjelaskan dan ia benar-benar penasaran.
“Maaf Dayu, aku tak bisa menjelaskan. Yang pasti, aku tidak melakukan kejahatan.”
Tengah asyik berbincang, keduanya dikejutkan suara lelaki dari luar rumah memanggil sebuah nama.