Dersik

Chika Manupada
Chapter #1

Binar

"Nik, elo di mana sekarang?"

"Kenapa ya elo tuh hobi banget manggil gue 'Nik'? Gue geli dengernya."

"Oh iya, sori, gue lupa, hehe. Ken, elo di mana sekarang?"

"Di apart, baru kelar pindahan. Kenapa?"

"Ikut gue nongkrong bareng anak-anak, yuk. Di rumah pohon."

"What? Rumah pohon? Elo punya rumah pohon?"

"Eh, bukan begitu maksud gue. Ada kafe, namanya Rumah Pohon, gitu. Ke sini, yuk. Ada anak-anak yang lain juga, kok."

"Anak-anak siapa, sih?"

"Anak-anak Jakarta di sini, gue baru kenalan terus join grupnya gitu. Elo ikutan jugalah…"

"Enggak, mager gue."

"Yah, Nik—eh, Ken maksud gue—jangan gitu, ikutanlah biar elo—"

"Enggak. Dah!"

***

Jam 8 malam. 

Mobil Niken tahu-tahu sudah bertengger manis di depan parkiran kafe yang bernama Rumah Pohon. Sekian jam yang lalu, sekitar jam 3 sore tadi, Bayu menelepon Niken, mengajaknya untuk ikut kumpul bareng perkumpulan anak-anak Jakarta di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ia tolak mentah-mentah dengan alasan paling klasik sedunia: mager, alias malas gerak.

Rupanya, setelah tidur siang jelang sore, bangun tidur, delivery lalu makan burger McDonalds, minum kopi hitam panas, menghabiskan dua batang rokok, foto-foto langit sore dengan kamera film di balkon apartemen, main gitar, menulis lirik lagu baru, kemudian mandi, Niken berubah pikiran. Ia baru kepingin mengunjungi kafe yang tadi dimaksud Bayu.

Rumah Pohon—terdengar menarik di telinganya seketika. 

Tapi, Niken sengaja datang cukup malam supaya tidak berjumpa dengan Bayu, apalagi disuruh—dipaksa—ikut kumpul-kumpul bersama orang-orang yang ia tidak kenal. Berkebalikan dengan Bayu yang memang terkenal social butterfly sejak dulu, Niken lebih seperti wallflower dan lebih senang menghindari acara nongkrong bareng seperti itu, apalagi dengan orang-orang yang tidak ia kenali. Namun Bayu selalu saja tidak pernah pantang mundur untuk menarik Niken dari dari zona nyamannya.

Bayu adalah salah satu kerabat Niken dari keluarga maminya (mamanya Bayu adalah kakak sepupu maminya Niken). Niken tidak terlalu akrab dengan kerabat-kerabatnya, tetapi ia sesekali mengobrol dengan Bayu kalau sedang kumpul keluarga besar karena hanya Bayu yang seumuran dengannya, sedangkan yang lainnya entah jauh lebih tua atau jauh lebih muda dari mereka berdua.

Keduanya jadi akrab semenjak mereka satu sekolah saat SMA dan sekelas selama tiga tahun berturut-turut. Bisa dibilang, Bayu satu-satunya teman (merangkap sepupu) yang dimiliki Niken di sekolah karena Niken memang memiliki kemampuan bersosial yang payah, tidak seperti Bayu yang kenalan dan temannya tersebar di mana-mana. Selain itu, Niken juga merasa dirinya berbeda frekuensi dengan kebanyakan teman-teman sekolahnya sehingga ia lebih nyaman sendiri saja—atau bareng Bayu dan Bayu seorang saja. 

Selain ikatan hubungan darah (meskipun tidak terlalu dekat), tetapi ada satu hal yang bisa membuat Niken nyambung dengan Bayu, yaitu selera musik mereka. Kalau sedang ngobrol bareng, mereka berdua hampir tidak pernah membicarakan keluarga atau sekolah, tapi pasti tentang musik. Ini yang membuat mereka jadi punya satu frekuensi yang sama. 

Begitu lulus SMA, mereka berdua sama-sama diterima menjadi mahasiswa ITB. Bedanya, Bayu masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)—dan berencana masuk jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) nantinya di tahun kedua setelah Tingkat Persiapan Bersama—melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yaitu jalur prestasi akademik selama di SMA, sedangkan Niken masuk Sekolah Bisnis dan Manajemen lewat jalur seleksi mandiri, yang juga merupakan jalur terakhir masuk ITB dan masih belum memutuskan akan memilih jurusan apa nantinya (tapi sepertinya Manajemen). 

Sejak masih sekolah, Niken tidak pernah ambil pusing dengan urusan pendidikan karena ia fokus dengan hobi bernyanyi dan bermusiknya. Selulus SMA, tekad Niken untuk menyeriusi kegemarannya sudah bulat, tetapi keinginannya itu dihadang oleh kedua orangtuanya yang menyuruhnya untuk tetap melanjutkan pendidikannya, masih berharap Niken akan berubah pikiran dan akan ikut melanjutkan bisnis keluarga mereka seperti kakaknya. 

Orangtuanya memiliki usaha kuliner yang dirintis dari generasi buyutnya dan sudah dikelola secara turun-temurun (dari keluarga papinya). Kondisi ini tentu saja membuat orangtuanya ingin mewariskan usaha kuliner ini kepada anak-anak mereka, yaitu Niken dan Nares, kakak laki-lakinya yang lebih tua 7 tahun darinya. Namun, rencana mereka tidak berjalan dengan mulus karena anak bungsu mereka sejak kecil memiliki preferensi dan jalan pikirannya sendiri, tidak seperti kakaknya yang manut dengan keinginan orangtua mereka dan sekarang sudah menjadi bagian dari bisnis keluarga mereka.

Niken dan orangtuanya sempat bertengkar hebat karena Niken tidak mau ikut tes perguruan tinggi mana pun selulus SMA, namun akhirnya Nares mengambil jalan tengah yang ia anggap sebagai win-win solution untuk kedua belah pihak. 

Nares membujuk adik kesayangannya, Niken, untuk mengikuti keinginan orangtua mereka untuk tetap kuliah di jurusan yang berkaitan dengan bisnis tetapi cari tempat kuliah yang bukan di Jakarta, supaya Niken bisa kuliah suka-suka dengan santai sambil tetap fokus dengan hobi bernyanyi dan bermusiknya, juga sambil berharap orangtua mereka pun bisa melunak dan menerima kalau Niken tidak berkeinginan untuk terjun dalam bisnis keluarga mereka.

Inilah yang akhirnya membuat Niken ikut ujian seleksi mandirinya ITB dan untungnya, ia diterima di SBM sehingga ia nantinya tetap bisa menggeluti hobinya, mengurangi sakit kepala kakaknya, dan menyenangkan hati kedua orangtuanya untuk sementara waktu.

Ah iya, satu lagi: bertemu kembali dengan Bayu di kampus yang sama. Untung aja kita beda jurusan, Niken membatin lega.

Setelah menyisir rambut panjang bergelombangnya dengan jemari-jemarinya, Niken pun keluar dari mobil putih yang ia kendarai dan melangkah menuju pintu masuk kafe.

"Selamat malam, Kak. Untuk berapa orang?" tanya salah satu pegawai kafe yang bertugas di pintu masuk.

"Sendiri," jawab Niken dengan suara pelannya. 

"Oh… sendiri aja…"

Meskipun memiliki kemampuan bersosial yang agak payah, tetapi Niken bukan tipe orang yang suka melengos ke orang asing apalagi ke orang-orang yang bekerja di bidang hospitality karena ia tahu bagaimana beratnya bekerja di bidang ini. Ia mungkin tidak berminat melanjutkan usaha keluarganya, tetapi setidaknya ia tahu sedikit banyak mengenai ini karena bisnis keluarganya sudah menjadi bagian dari hidupnya. 

Tapi, begitu ia mendengar komentar dan melihat bagaimana pegawai kafe itu memandangi tato-tato bunga dan kupu-kupu yang menghiasi lengannya, Niken serta-merta menjadi defensif dan mendelik kepadanya—karena kebetulan, malam ini Niken mengenakan dress berwarna lembayung muda selututnya yang berlengan pendek, tanpa kardigan seperti biasanya.

"Terus kenapa kalau sendiri?" tanya Niken, matanya berkilat tajam. "Apa kafe ini ada peraturan kalau pengunjungnya enggak bolehd dateng sendiri?"

Pegawai kafe itu terperanjat, sepertinya baru tersadar kalau tingkah lakunya sudah mengusik batas kesopanan terhadap pengunjung. Sebelum pegawai kafe itu sempat meminta maaf, Niken berdeham dan meninggalkannya begitu saja saking sudah mangkelnya.

Lihat selengkapnya