Lagi-lagi sore ini hujan, dan aku, tidak menyukai hujan. Ya, tangis langit itu, menimpa kotaku dengan sendu. Ah, kapan hujan ini cepat usai, tiap kali langit mendung, semua orang mulai mencari penghangatan sebelum akhirnya hujan tiba.
Bayangan itu kembali muncul, dan aku segera menjadi orang yang terkena eksim di sekitar rambut, menggaruk-garuk walau tidak ada yang gatal. Sial, ini trauma yang tidak mau hilang. Aku sudah niat pulang cepat, tapi karena hujan, mau tak mau, aku harus berdiam diri di kantor lebih lama. Jas hujan? Aku tak ingin memakainya, padahal aku membawanya.
"Enggak pulang Mas Ra? Enggak bawa jas hujan ya?" Pak Beni masih berjaga di posnya, markas besarnya. Pos Satpam.
"Pulang Pak. Jas hujan bawa kok, cuman entar aja Pak. Nunggu reda," kujawab dengan berhaha-hehe.
"Keinget pacarnya ya? Sampai enggak mau pulang, nungguin hujannya reda."
"Ah, Pak Beni bisa aja," jika kujawab jujur, ada sesuatu yang kuingat, namun bukan pacar. Aku sudah anti-pacaran sejak masih SMA.
Kamu tahu, yang aku senang dari hujan itu, kenangan.
Bayangan itu kembali muncul, itu membuatku semakin gusar. Jika saja pertemuan itu tidak pernah terjadi. Sial.
Hujan selalu membawa kenangan setiap kali ia datang, entah itu kebahagiaan, kesedihan, kebencian, yang pasti, kali ini ...
Cukup. Aku sudah tidak kuat lagi. Itu semua sudah berlalu, dan mengapa harus muncul kembali.
"Mas Ra, kenapa? Kayak yang lihat hantu begitu," yang aku lihat bukan hantu, tapi dia yang tengah diam di sekelebat hujan. Aku benar sudah tak sanggup melihatnya.
"Di sana, ada perempuan hujan-hujanan, ngelihat ke saya Pak," itu benar dia. Entah dalam bentuk fisik atau hanya bayangannya saja, tapi ini benar ...
"Nggak ada siapa-siapa Mas. Ah, ini mah Mas nya aja, ngebubur, ngalusin nasi," ini tidak lucu.
... yang pasti, kali ini ... aku senang ... bisa pulang bareng kamu ... karena cuman kamu yang mau terobos hujan demi aku ...
Ingatan itu muncul lagi, bayangan itu hilang, suaranya terdengar jelas ditelingaku.
... BRAK ...
... Kamu nggak apa-apa Na?! Na, bangun Na! Na, Bangun! Tolong bangun, Na! ...
"Orang itu sudah tidak ada Pak, hujannya sudah agak mendingan Pak, kalau gitu saya duluan ya," mendingan, hujan itu lebat sekali. Tapi, aku tidak ingin hal itu terjadi lagi.
"Lho, jas hujannya nggak dipake? Masih gede ini Mas," aku tidak mendengar apa kata Pak Beni, aku langsung meninggalkan kantor dengan motorku.
... Jaringan sarafnya terganggu, dan itu membuatnya sulit untuk ...
"Sial, hujan lebat begini saja masih macet," orang-orang melihatku aneh, nekat. Hujan lebat, tak berjas hujan.
... jangan memaki hujan, ini karunia Tuhan, itu juga yang membuatku suka setiap kali hujan datang ...
Jangan lagi, itu membuatku buta arah. Sampai akhirnya aku berhenti di tempat aku tidak ingin lewati. Rumah sakit.
"Ruangan atas nama Rana Hadiwijaya, di sebelah mana ya Sus?" semua orang melihatku lagi dengan aneh. Basah kuyup.
"Jam besuk sudah tidak bisa lagi Mas, hari ini cuman sampai jam 4, paling besok Mas."
"Sus, tolong Sus, sebentar aja," ini tidak seperti aku.
"Mas nya juga, basah kuyup begini," cukup aku yang tak punya hati, orang lain jangan.
... jangan suka salahkan dirimu sendiri, orang lain memang seperti itu ...
"Sus, biarkan orang itu masuk, dia kerabat saya."
... aku benar kan, hujan itu anugerah, karunia Tuhan, buktinya ada yang mau membantu kita walau hujan begini ...
"Kamu masih punya muka ternyata, setelah kecelakaan yang menimpa anak saya setahun yang lalu ...," kali ini benar, seharusnya aku tidak kemari. "... nasib baik waktu itu saya tidak melaporkan kamu ke polisi."
"Ma-maaf, setelah kejadian waktu itu, sa-saya baru bisa datang sekarang," aku tidak berani melihat wajahnya. Aku siap menerima konsekuensinya.
"Jangan ubah suasana hati saya, di sana, ruangan anak saya, baik kamu minta maaf dengannya."
... kamu tahu tidak, Papaku itu nyeremin, ngelihat aku basah kuyup aja nggak boleh, tapi Papa juga pernah bilang, kalau hujan-hujanan itu bisa buatku senang, Papaku juga ikut senang ...
Wanita itu, suaranya yang selalu terngiang-ngiang dikepalaku, yang bayangannya selalu muncul di setiap kali hujan datang, kini terbaring lemah di hadapanku.