Deru Hujan Sore Itu ...

Firmanda Adi Perdana
Chapter #3

Hah, Betapa Leganya

Kali ini aku mengutuk diriku sendiri di tengah hujan. “Jangan menangis, kumohon jangan menangis,” ucapku berulang kali. Wanita di depanku mengusap wajahnya yang terus basah karena air hujan.

“Kumohon jangan menangis,” tubuhku ambruk di tanah yang becek itu. Aku tidak sadarkan diri. Semua ingatan itu muncul sebelum akhirnya aku tersadar dari pingsan kejadian semalam. 

“Alhamdulillah kamu bangun, Le,” ibuku, di samping tempat tidur yang aku sendiri tidak tahu ada di mana. “Le, kamu kenapa sampai pingsan di tengah hujan itu, Le,” sementara kukesampingkan dulu masalah ‘aku ada di mana’, ibuku jauh lebih penting.

“Badanku cuman lemes Bu’e, belum makan, kehujanan, jadinya pingsan,” tak lupa dengan hehe di akhir kalimat. “Jangan bikin Bu’e cemas, Le, kalau kamu kenapa-kenapa, siapa lagi yang mau menemani Bu’e,” aku mencoba menampilkan senyum terbaik untuk ibuku sendiri agar ibu tidak sedih. “Aku enggak bakal ninggalin Bu’e. Soalnya Bu’e itu tidak tergantikan.” Kuperhatikan sekeliling, tercium bau obat, tempat tidur ini, tidak salah lagi rumah sakit. “Bu’e, ayo kita pulang, aku lapar.” Masalah di rumah sakit selesai, aku menyewa taksi daring untuk mengantarku dan Bu’e ke rumah.

Kejadian semalam itu, benar-benar menghantuiku. Wanita itu, hujan itu, jalanan itu, pokoknya semua yang berkaitan dengan waktu itu aku tidak ingin mengingatnya lagi. Ibuku bercerita, kalau aku dibawa oleh sekelompok warga di-ah, sial-tempat itu langsung ke rumah sakit. Katanya mereka melihatku terbaring dengan kondisi tidak sadarkan diri. Ibu tidak bilang ada-ah, sial-wanita itu di sana. Setelah sampai rumah, baru ingatlah aku akan motorku. Motorku tertinggal di-ah, sial-tempat itu. Ibuku baru bilang, kalau motorku diamankan oleh warga di sana. Setelah tubuhku sudah agak baikan, sorenya aku menuju-ah, sial-tempat itu untuk mengambil motorku. 

Nasib baik, motorku tidak apa-apa. Urusan motor pun sudah selesai. Hari ini aku tidak masuk kerja, karena sakit. Aku sudah memberitahu atasanku di kantor, kalau aku sedang tidak enak badan karena hujan semalam-ah, sial. Menjelang malam, aku harus ke kampus. Aku mengambil kelas malam.

Tiba-tiba hujan mulai turun, pas sekali aku sudah sampai di kampus. Mata kuliah kali ini hanya itu-itu saja, tidak ada yang membuatku tertarik. “Hati-hati, jangan terlalu malam ya, jangan buat Bu’e khawatir,” aku sedang berada di sebuah kafe saat aku menelepon ibuku. Malam ini, di kafe ini, aku sibuk mengerjakan tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok. Teman-temanku sudah mulai kelelahan, tenaganya pun tenaga sisa, termasuk aku. Rutinitas dari pagi, bekerja hingga sore, lalu lanjut ke kampus hingga tengah malam, dan sesampainya di rumah hanya untuk rebahan.

“Akhirnya selesai juga, Bro,” aku menyeruput kopiku yang sudah dingin. Teman-temanku pun akhirnya merasa lega. “Tugas beres,” semua kompak mengulang kalimat itu. Kondisi kafe sudah mulai agak sepi. Jam setengah dua belas malam. Pengunjung kafe itu hanya tersisa kami dan dua meja di belakang. Akhirnya kami meninggalkan kafe itu dan pulang untuk beristirahat. Kami berpisah di depan pintu masuk kafe. Hujan masih belum mau berhenti sejak tadi. Hujan malam ini begitu awet.

“Kita duluan ya,” mereka pun melaju lebih dulu meninggalkanku yang masih di depan pintu masuk. Motorku sulit dihidupkan, di engkol berkali-kali belum hidup juga. Akhirnya kudorong dari kafe sampai-ah, sial-tempat kejadian semalam. Di tempat yang sama, jalanan yang sepi itu, entah mengapa aku tiba-tiba menangis.

Kumohon,” aku melihat siluet diriku dan wanita itu di sana seolah aku adalah orang lain yang melihat reka adegan waktu itu.

Ini sebabnya aku kurang senang dengan seorang wanita,” kata-kataku waktu itu diucapkan ulang oleh diriku di sana. “Mereka cuman fokus dengan dirinya sendiri. Orang lain? Aku ragu sendiri,” yang terdengar di telingaku, marah yang tertahan.

Di sekelebat hujan itu-termasuk hujan malam ini-aku terlihat mengepalkan kedua tanganku.

Melihat ulang kejadian itu membuatku muak sendiri. “Kalau hidup hanya bermodalkan ego, mungkin orang-orang seperti aku akan berakhir seperti ini,” aku tidak kuat berlama-lama di tempat ini. “Apa salahnya aku punya keinginan sendiri?” wanita itu membela diri. Bodoh, “Kamu tidak memikirkan orang lain, yang kamu pikirkan hanya kamu sendiri, makan ego-mu sendiri. Bagi kamu, orang lain itu cuman barang yang bisa kamu manfaatkan, saat kamu sudah tidak butuh, kamu buang mereka seolah mereka tidak berguna,” saat itu diriku-termasuk aku-ingin menamparnya, tapi aku tidak bisa. Wanita itu menangis, ia mengusap wajahnya berulang kali.

Kulihat ia sesenggukan. Melihat itu, diriku merasa tak tega. “Jangan menangis, kumohon jangan menangis,” hah, sungguh aku tak kuat melihatnya menangis. “Kumohon jangan menangis,” kuulang sebanyak tiga kali, wanita itu masih mengusap wajahnya. Yang aku takutkan itu di sini, hujan masih turun dengan derasnya. Mataku mulai berkunang-kunang, sedang langit sudah benar gelap, kepalaku mulai pusing. “Kumohon jangan menangis,” dan benar saja, aku pun pingsan karena hujan. Aku masih mematung di tempat itu dengan masih memegang setang motor. Diriku di sana diam tak bergerak di jalan yang becek itu, sedang wanita itu kaget melihat diriku yang ambruk di hadapannya. Ia mendekatiku, menggoyangkan tubuhku, memanggil-manggil namaku dengan panik, dan dengan wajah yang kebingungan itu ia berlari meninggalkanku. Tak lama, beberapa orang mengerubungiku yang tergeletak di sana, tanpa wanita itu. Ia pergi.

Lihat selengkapnya