Mentari pagi yang pucat merayap di kaca jendela, menyelinap ke ruang keluarga, mengiris-iris sinar yang riuh oleh tarian debu. Sinar itu mendarat persis di pundak Klaus Bauer, yang tegak duduk di kursi makan dari kayu ek, bagai sedang menjalani ritual sakral. Dalam genggamannya yang bergetar halus, terkuat erat pisau jagal. Walau gemetar, genggamannya pada pisau itu terasa asing tapi akrab—jari-jarinya menempati posisi yang presisi layaknya seorang ahli, bertolak belakang dengan getarannya. Mata birunya, yang selama dua tahun tampak seperti kaca berdebu, kini fokus pada sepotong Leberkäse ( sosis khas Jerman ) yang hangat di atas piring porselen.
"Lembut, Liebchen," bisik Elara di sampingnya, tangannya yang hangat menutupi kuku jari suaminya yang memutih. "Seperti masa lalu kita."
Klaus menghela, tarikan napas yang dalam dan sarat makna, bagai baru belajar lagi caranya. Lalu, dengan gerakan yang masih kaku namun penuh tekad, dia memotong seiris kecil sosis. Dia membawanya ke mulutnya, mengunyah perlahan. Matanya berkaca-kaca, bukan oleh derita, melainkan oleh kenikmatan yang sederhana. Rasa sesuatu yang biasa, yang sederhana, yang selama dua tahun hanya menjadi kenangan samar yang disalurkan melalui selang makanan. Itu adalah pertama kalinya sejak selang makan dilepas; petugas rumah sakit dulu bilang perlu proses, tapi santapan pertama ini bagai kemenangan sederhana.
"Enak," gumamnya, suaranya parau dan terasa asing di telinganya sendiri. "Sangat enak."
Anak-anak mereka—Lena yang berusia lima belas tahun dan Lukas yang baru delapan tahun—terdiam di seberang meja, menyaksikan adegan ini dengan khidmat bagai menyaksikan mukjizat. Lena, dengan rambut pirangnya yang diikat longgar, memegang erat tangan kecil Lukas. Di wajah remajanya, tergores kewaspadaan dini—warisan dua tahun menanti di tepi ranjang sakit. Tapi saat mendengar rencana liburan, matanya masih memancarkan secercah harapan yang lama terpendam. Lukas, polos dan penuh kepercayaan, hanya tersenyum lebar, giginya yang copot di depan menambah kesan riang.
"Itu karena Ibu yang membuatkannya, Papa," seru Lukas, melanggar kesunyian yang hening. "Dia menambahkan cinta lebih."
Klaus tersenyum, senyum perdana yang benar-benar menghangatkan matanya sejak terjaga dari koma panjang. Ia baru saja menyelesaikan rangkaian terapi intensif—fisioterapi pagi dan terapi bicara sore—yang tercatat dalam jadwal kunjungan yang disimpan Elara di laci. Selang makanan yang dulu menempel di lehernya sudah dilepas beberapa minggu lalu; makan pertama dengan piring porselen ini adalah hasil kerja minggu-minggu latihan itu.Senyumnya mengukir ulang wajahnya, mengusir bayang-bayang penderitaan, menghadirkan secuil gambaran pria yang dulu dikenalnya—lelaki dengan senyum yang lepas dan sentuhan yang menentramkan. Pria yang, sebelum kecelakaan mobil yang misterius itu, akan menggendong Lena di pundaknya dan berlari di taman ditemani Lukas yang tertawa terbahak-bahak mengejar mereka.
"Lukas mungkin benar," kata Klaus, menatap istrinya. Tatapan itu dipenuhi rasa syukur yang mendalam dan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dan suram yang tak berani diungkap Elara: dosa. Dokter mengatakan amnesia pasca-koma adalah hal yang wajar, bahwa ingatan tentang momen-momen sebelum kecelakaan, bahkan minggu-minggu sebelumnya, mungkin hilang untuk selamanya. Tapi Elara menangkap bahwa yang lenyap cuma ingatan tentang enam bulan terakhir sebelum kecelakaan, sementara ingatan yang lebih lama tetap utuh—sesuatu yang menurut dokter agak tidak biasa. Terkadang, saat malam merangkak, Elara terjaga dan mendapatinya terduduk di tepi tempat tidur, tubuhnya basah oleh peluh, matanya bagai langit tanpa bintang, bagai jiwanya sedang menyusun puzzle mengerikan.
“Masih kusimpan surat itu,” bisik Elara dalam hati, membayangkan cap yang pudar dan tulisan perawat tentang rehabilitasi dan penyelidikan kecelakaan. Ada juga kuitansi asuransi bertuliskan "klaim separuh tertutup"---sedikit memang, tapi cukup mengikis simpanan keluarga. "Jadi," kata Lena, nada suaranya berusaha ringan. Dia mencocok-cocok telur orak-arik dengan garpu. "Liburannya? Apakah kita benar-benar akan pergi?"