Desa Langit Indah

Gema Surya Hendrawan
Chapter #2

Alpine Postcard

Mobil Opel Kapitän mereka yang berwarna krem bergemuruh setia menanjak jalan berkelok-kelok, membelah sisi gunung bagai pita kelam yang meliuk. Dua hari telah berlalu sejak pagi penuh haru itu, dan perjalanan dari Munich diwarnai tawa, lagu-lagu rakyat, serta rasa antisipasi yang kian menggelembung bagai sungai di musim semi. Lena yang asyik memutar-mutar gelang kulitnya mendongak. Sebuah senyum kecil yang langka dan tulus merekah di bibirnya bagai kuncup di embun pagi.


"Lihat, Lena! Ada salju!" teriaknya, menunjuk ke puncak-puncak yang tertutup putih, bahkan di musim panas ini.


Lena yang masih asyik memutar-mutar gelang kulitnya mendongak. Senyum kecil yang langka dan tulus mengembang di bibirnya. "Iya, Luk. Cantik sekali."


Elara duduk di samping Klaus dengan tangan terentang di atas jok, menyentuh lengan suaminya dengan kelembutan yang mengalun. Dia menyaksikan Klaus mengemudi, tangannya seolah mengingat kembali cara menggenggam setir dengan mantap, meski sesekali gemetar halus menari di tikungan tajam bagai daun ditiup angin. Rahangnya tegas, memancarkan konsentrasi yang dalam, sebuah penegasan kembali atas kendali yang masih rapuh bagai kaca tipis. Dia tampak lebih muda, kerut di dahinya menghilang, digantikan oleh sorotan ketakjuban yang sama seperti yang terpancar dari mata anak-anaknya.


"Kita hampir sampai," gumam Klaus, sambil melirik peta terlipat di pangkuan Elara bagai burung yang mengintip sarangnya. "Desa berikutnya seharusnya adalah Schöner Himmel."


Mereka melewati sebuah tanjakan, dan kemudian, bagai tirai panggung yang tersibak, lembah itu terbentang di bawah mereka laksana permadani surgawi.


Elara menahan napas.


Iklan koran itu tak berdusta. Bahkan, kata-kata ternyata tak mampu melukiskan keindahan surgawi ini yang merasuk kalbu. Desa Schöner Himmel terletak di dataran tinggi, terdiri atas sekumpulan rumah kayu berbingkai gelap dengan atap miring curam yang dihiasi geranium merah darah di setiap jendela bagai ratna mutu manikam. Sebuah gereja kecil dengan menara runcing menjulang di tengahnya, loncengnya diam dan tenang. Udara yang masuk melalui jendela setengah terbuka terasa dingin, jernih, dan membakar paru-paru dengan kemurniannya yang menusuk jiwa. Baunya seperti jarum pinus yang remuk, bunga liar, dan batu basah---aroma kuno yang tak tersentuh zaman.


"Ini... luar biasa," bisik Elara, hatinya berdebar kencang.


Klaus hanya mengangguk. Matanya menyapu pemandangan itu, memetakan setiap detail bagai kartografer yang terpana.


Mobil mereka melambat saat memasuki jalan utama desa. Jalan berlapis batu bulat, diapit trotoar sempit bagai sungai kecil yang mengalun. Beberapa orang yang lalu lalang berhenti dan menatap. Seorang wanita tua bersyal wol mencondongkan tubuh dari jendela lantai dua, wajahnya penuh keriput. Seorang pria tegap berjanggut pirang terpotong rapi, berdiri di depan sebuah toko tukang daging yang jendelanya dipenuhi dengan sosis dan ham yang digantung, mengangkat tangannya dalam salam. Senyumnya lebar, hampir berlebihan, menampilkan deretan gigi putih berkilau bagai mutiara.


"Orang-orangnya ramah," kata Lena, terdengar sedikit lega.


"Desa kecil seperti ini, semua orang saling mengenal," kata Klaus, membalas salam pria itu dengan anggukan singkat. "Mereka mungkin bisa mengenali wajah-wajah baru dari jarak satu kilometer."


Mereka terus melaju, melewati sebuah kafe kecil dengan beberapa meja di luar, sebuah toko peralatan dengan sepatu bot hiking dan kapak di jendelanya, dan akhirnya, sebuah bangunan yang lebih besar dengan papan nama balai kota. Di depannya, berdiri sebuah air mancur batu yang di atasnya terdapat patung seorang pria berjanggut memegang sebuah piala. Airnya mengalir jernih dan dingin.

Lihat selengkapnya