Desa Langit Indah

Gema Surya Hendrawan
Chapter #3

Tamu Tak Diundang

 Keesokan harinya dimulai dengan cahaya yang menyilaukan. Matahari musim panas yang terik memantul dari dinding kaca dan lantai beton, mengusir segala sisa kegelapan dan keraguan malam sebelumnya. Elara terbangun dengan perasaan ringan, aroma kopi yang baru diseduh menyapu sisa-sisa mimpi buruk yang tidak bisa diingatnya.


Klaus sudah bangun, berdiri di depan jendela raksasa dengan secangkir kopi di tangannya. Posturnya tegap, bahunya yang kuat terlihat santai. Dia menoleh saat Elara mendekat, dan senyumnya terasa hangat serta tulus.


"Pagi," bisiknya, menariknya ke dalam pelukan. Tubuhnya terasa kokoh dan nyata melawannya. "Aku sudah memeriksa sekeliling rumah. Tidak ada yang aneh. Hanya alam. Luar biasa."


Setelah membangunkan anak-anak, mereka menikmati sarapan dengan riang di teras batu yang menghadap ke lembah. Suara gemerisik dedaunan pinus dan kicau burung yang bersemangat menjadi musik latar mereka. Lukas bersukacita memecahkan kerak keju yang disajikan Elara, sementara Lena, meski masih terlihat agak muram, setidaknya tidak lagi menyembunyikan ketakjubannya pada pemandangan itu.


"Bisa kita jelajahi desanya hari ini?" tanya Lena. "Mungkin ada toko yang menjual postcard."


"Ide bagus," sahut Klaus. "Aku ingin bertemu dengan beberapa penduduk, melihat sekeliling."


Usai sarapan, mereka menyusuri jalan setapak menuruni bukit menuju desa. Siang itu, Schöner Himmel tampak bahkan lebih menawan. Bunga-bunga geranium merah menyala terpapar sinar matahari. Penduduk lokal yang mereka temui serempak tersenyum dan mengangguk, seragam mengucapkan 'Grüss Gott' dengan keramahan yang terasa paten. Namun, ada sebuah ritme yang terasa aneh, sebuah sinkronisasi dalam gerakan mereka, seolah-olah seluruh desa bergerak dalam sebuah koreografi yang telah ditentukan.


Mereka mengunjungi toko peralatan, dimana Klaus dengan antusias membicarakan rute pendakian dengan pemiliknya, seorang pria tua dengan mata biru pucat yang berkerut. Elara memperhatikan bagaimana pria itu tidak pernah benar-benar menatap Klaus, melainkan matanya terus mengamati dia dan anak-anaknya, seakan-akan mencatat detail mereka.


Di kafe kecil, mereka memesan Apfelstrudel (kue pai apel ala Austria) dan kopi. Sekelompok turis asing—mungkin Inggris atau Amerika—duduk di meja sebelah, berbicara dengan suara keras dan riang tentang pendakian mereka. Kehadiran mereka membuat Elara sedikit lega, sebuah pengingat bahwa dunia luar masih ada.


Namun, saat Lena beranjak ke toilet, perhatian Elara tertarik pada seorang pelayan wanita muda---bergelung pirang dan pipi merona---yang tiba-tiba mendekatinya.


"Frau Bauer," bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar, sementara tangannya membersihkan meja dengan kain yang tidak perlu. "Rumah di bukit... anda tidur nyenyak?"


Elara terkejut. "Ya, terima kasih. Sangat nyenyak."


Mata gadis itu melirik cepat ke arah pintu dapur, lalu kembali ke Elara. "Kadang-kadang... anginnya bisa berbisik. Jangan dengarkan apa yang mereka katakan tentang suamimu." Dia menarik napas pendek. "Mereka... berbohong." Tersenyum kaku, ekspresi tak wajar yang gagal menyentuh matanya yang membesar. Sebelum Elara bisa menanggapi, gadis itu berbalik dan bergegas pergi.


"Apa yang dia katakan?" tanya Klaus, menyadari ekspresi bingung di wajah istrinya.


"Tidak ada," Elara menggeleng, mencoba menertawakan hal itu. "Hanya... dia bilang anginnya berisik. Masyarakat desa dan keyakinan lokalnya."


Lihat selengkapnya