Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #2

2 | Makam Wong-wong Suci

2 | Makam Wong-wong Suci

 

  Makam “Wongci” – (Wong-wong suci) – “Makam orang-orang suci”

  Mereka bertiga keluar dari wilayah pepohonan menuju ke dataran rerumputan. Cahaya matahari menyapa mereka lagi, menyengat tajam. Tas milik Yamanaka diletakkan di atas kepala, memicing mengikuti jalan. Usai terus berjalan beberapa meter, barulah terlihat pagar tumpukan batu bata lumutan terbagi dua bagian. Bagian selatan serta utara. Pemandangan mengejutkan barusan, semakin menarik rasa penasaran Sebastian. Di tengah dua makam, terbentang jalan tanah kasar tanpa kerikil. Mereka bertiga lewat sambil membungkukkan badan mengikuti pak Buto.

   “Ini namaya wilayah pemakaman Wongci,” ungkap pak Buto.

  “Wongci?” sebut Sebastian. Sepanjang berjalan, tampak menganga lelah.

  “Wong-wong suci. Makam orang-orang suci.”

   “Marco!” Tiba-tiba Yamanaka menyenggol sengaja. “Ini kan yang ada di berita?” bisiknya mendekatkan diri.

   Sebastian mengangguk paham. Mengabaikan Yamanaka setelahnya selain mengamati pemandangan dua pagar makam yang jelas berbeda. Tinggi pagar sebatas pundak pak Buto. Pendek sekali, wajar kedua tamu dari kampus Sambas itu bisa melihat apa yang ada di dalam. Sebelah kiri mereka, terdapat dua makam dengan batu nisan besar melebihi tinggi manusia normal. Sekitar tiga kali lipat tinggi lemari. Sebelah kanannya, adalah pemakaman normal dengan terjajar puluhan-mungkin ratusan batu nisan.

 “Ehm, pak Buto. Makam orang-orang suci itu yang ada di sebelah kanan kan?”

  Pak Buto mengangguk, membenarkan pertanyaan Sebastian. “Benar sekali mas. Itu makam untuk manusia-manusia tanpa dosa. Manusia suci yang selamat jiwa dan raganya.”

  Sontak Sebastian berdeham. Agaknya kurang sreg dengan istilah ‘Manusia-manusia tanpa dosa’. Memangnya ada manusia seperti itu selain nabi-nabi dalam agama abrahamik? Lekas dia bertanya, “Nah, menariknya di situ pak. Banyak media mempertanyakan maksud makam orang-orang suci itu bagaimana? Yang kami tahu, bisa saja kan maksudnya makam orang Islam atau dari wali-wali?”

  Tatapan sayu pak Buto lenyap. “Bukan. Tenang, nanti saja jelaskan.” Terkekeh aneh. “Kita kesampingkan dulu soal agama ya, Mas.”

  Respon Sebastian tersentak. Merasa sudah mengucapkal hal tabuh mungkin? Kebetulan dia sedang berjalan di antara makam sebuah desa yang dikenal sakral. “Maaf, Pak … kalau saya.lancang tadi.”

  “Loh, Pak. Di makam wong-ci, ada batu nisan yang hancur terbelah. Itu kenapa ya pak?” Yamanaka menyerobot.

  “Tidak sekali mbak ada kejadian seperti itu …” Sejenak pak Buto menahan kata. Membuat Sebastian serta Yamanaka saling tatap. Aura serius mereka rasakan. “Batu nisan terbelah itu karena sambaran petir kemarin malam. Baru kemarin. Makamnya terbakar dan isinya naik ke atas. Jasad orang itu masih utuh. Nanti kita ganti batu nisannya. Setiap ada batu nisan yang tersambar petir, kami akan perbaiki. Setiap itu terjadi, pasti orang di dalam makam keluar dalam keadaan utuh.

  Sejak sampai topik sambaran petir, sosok Sebastian banyak diam. Daripada awal-awal tadi. Takut salah ngomong dan kena imbas nanti.

  “Mereka orang-orang mulia yang dihormati alam.”

   Sekarang Sebastian memahami. Warga desa ini meyembah kekuatan alam. Bukan dewa atau Tuhan. Jelaslah perbedaan tersebut. Terbukti kalau yang sempat diberitakan tentang penyembahan alam di desa Wediduso adalah benar.  

Lihat selengkapnya