Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #4

4 | Jurnal

4 | Jurnal

 

 

Sore hari. Datang iring-iringan suku sambil menggotong harimau mati. Digantung terbalik sambil ujung bakul kayu bertengger di atas pundak kelompok laki-laki dewasa. Salah satunya menoleh, menatap rumah pendopo tiga tiang khusus penginapan tamu. Seseorang dibalik pintu melipir menjauh, menghindari tatapan menakutkan suku pemburu itu. Lalu, menutup pintu perlahan.

   “Hah…” Sebastian berjalan gontai, menduduki bangku panjang kayu. Segala perabotan di sana dari bahan kayu ulin serta kayu jati murni. “Kalungnya boleh dilepas gak, sih? Berat sumpah!” Memegang satu butir.

   Yamanaka belum merespons, termenung dengan tatapan sayu mengikuti kepergian kelompok suku barusan lewat celah iris-irisan jendela. “Mereka berburu harimau…,” lirihnya.

   “Hm? Biarin.” Sebastian tak acuh. Dia yang tadi muncul di depan pintu.

   “Yaka … come on!” panggil Sebastian setelahnya, menepuk bagian kosong bangku. “Kita bahas tugas kita dulu.”

  Yamanaka menurut, berjalan dengan langkah gusar. Kebahagiaan awal datang tadi malah tidak terlihat lagi. “Jam berapa ya mulainya? Ponsel gue tadi gak ada sinyal lagi.”

  “Jangan main ponsel muluh, ah. BTW, gimana? Kesan lu?”

 “Kurang sreg sama orang-orangnya. Takut aja gitu. Lu samaan?”

  Bahu Sebastian bergidik, merosot cepat. “Takut?” Ketawa, membuat Yamanaka merengut. “Eh, kalung lu mana? Jangan asal copot!”

  “Kenapa?” Yamanaka terkekeh. Punya kesempatan menertawakan si cowok brewok dengan rambut dikuncir itu. “You are scared? Kalungnya gue taruh di kamar.”

  “Gak papa nih dilepas?”

  “Why can’t? Lepas aja.”

  Napas lega Sebastian terhembus. Akhirnya beban berat kalung itu lepas. Setelah meletakkan kalung, tepat sebelah kirinya-dia mengambil kamera DSLR Canon. “Gue mau konfirmasi nanti ke pak Sirka. Boleh gak sih dokumentasi kegiatan dan tugas kita? Atau cuman perlu bukti penulisan?”

  “Kayaknya sih boleh. Kapan ketua desa ini datang? Lama banget, gue ngantuk.” Kontan Yamanaka menguap panjang.

  “Sabar, nanti pak Buto kasih tahu kita. Lu takut gak sih dengar nama pak Sirka. Ketua desa ini?” Terpicing tatapan Sebastian.

  Entah sejak kapan, leher Yamanaka terasa berat. Pasti efek terlalu lama mengenakan kalung kehormatan. Dia mengusap leher, kepala dimiringkan. “Ngapain takut. Kan ada lu Marco!” Merekah senyum rese’.

   “Yeee, iya deh si paling ratu. Oke, fokus. Ambil laptop lu. Gue mau tulis bab pendahuluan sementara. Sekalian kita bahas, apa aja yang harus kita lakuin, kita kurangi, atau kita tambah. Mumpung di desa ini loh. Kalau tugas makalahnya dapat nilai jelek gimana?”

   “Iya deh si paling detail. Hmmm … nanti aja deh kita kerjain malem. Buru-buru banget? Foto-foto dulu yuk? Fotoin gue. Nanti gantian.” Mencondongkan badan. Tersenyum lebar.

   “Ah! Godaan terus nih! Bikin gue buang-buang waktu!”

  “Mumpung gak ada pak Buto. Ayo, fotoin gue!” Seketika Yamanaka menarik-narik tangan Sebastian. Ngotot memaksa. 

Lihat selengkapnya