Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #5

5 | Menungso Tanpo Duso

5 | Menungso Tanpo Duso

 

[Balai ketua – Tenggara Tenggoro’]

  Sambutan resmi pak Sirka. Si manusia tanpa dosa. Ketua terpilih dari beberapa ketua generasi ke generasi. Tanpa alas kaki, dengan gelang berbagai gigi di kedua pergelangan kakinya, berdirilah pak Sirka dengan gagah, berkharisma di atas sepetak batu marmer lumayan tinggi. Di atas kepalanya digulung sorban merah – bulu merak hitam merah melingkari sorban tersebut. Memiliki tampang kerucut terbalik, dagu sedikit datar, dan terlihat tulang pipi menonjol – Menenggelamkan ceruk kelopak mata yang tampak gelap bagian karena diwarnai tinta darah babi kering. Menutupi bagian dada, dia mengenakan kalung sepuluh butir lima rangkap, menindih lapisan bulu rambut singa. Bahunya besar, terdapat bekas sayatan di sebelah lengan kiri. Kedua tangan penuh akan gelang gigi hewan sebanyak lima sampai menutup pergelangannya. Tubuhnya kurus tapi berisi, bagian perut condong buncit dan tingginya 175 cm. Perawakan mengerikan, memukau, dan menciutkan nyali siapa pun yang memandang.

  Berkumpul hampir semua masyarakat kalangan usia dengan menenteng suluh obor, terpisah jarak tiga sampai lima jengkal, membiarkan dua tamu kampus Politeknik Negeri Sambas. Sebastian serta Yamanaka. Di sebelahnya lagi, berdiri pak Buto.

  “Hari ini, kita kedatangan tamu besar. Namanya Sebastian dan Yamanaka. Anak-anak muda berdarah segar! Mengenakan kalung tradisi kita, kalung yang menandakan keduanya bersih dari dosa. Dikehendaki alam agar bisa sampai di desa suci ini! Yang mengenakan kalung ini, dijamin bebas dari dosa! Saya, Sirka sang ketua desa pilihan. Mewarisi dua kalung kakek buyut paling suci. Pemimpin-pemimpin kita. Kalung yang harus diberi sejak anak-anak. Bila anak-anak semakin tumbuh besar, kalung itu masih muat, maka tandanya mereka bergerak ke arah kesucian! Lolos dari hukuman pasung. Biar saya jelaskan kepada kalian berdua, tamu-tamu penting, Selama tiga minggu … semoga betah di sini dan berbaurlah bersama kami. Melatih diri agar tidak pernah berbuat dosa!” jelas pak Sirka menggunakan bahasa bukat. Setiap jeda kata, pak Buto meneterjemahkannya. Hanya mengangguk, bercampur kerut ngeri bagi Sebastian serta Yamanaka mendengar arti ucapan sang ketua.

 

* * *

 

  Sebastian merasa salah tingkah malam ini. Ia berdiri di depan tungku perapian, membantu warga desa memasak gurita bakar hasil buruan petang tadi. Tugas Sebastian berbaur dengan warga desa, menyiapkan bumbu-bumbu racikan beberapa perempuan muda di sana. Cukup merepotkan bagi Sebastian, tetap memasang wajah maco’ meski sedang dikelilingi kelompok perempuan. Bertepuk tangan, ikut bersorak menyanyikan lagu adat. Sebastian melambai-lambaikan badan mengikuti nada yang dari kosakata bahasanya mudah dihafalkan. Percikan api bergemalatuk dengan asap tebal. Tangan Sebastian memegang tongkat kayu panjang, fungsinya mengaduk kuah dari gurita hampir matang itu di atas wajan batu andesit.

  Kelompok perempuan itu tertawa pecah ketika tongkat kayu yang coba Sebastian putar berlawanan malah patah. “I’m sorry. Sorry!” Mengedikkan bahu, dan mengangkat tangan sebatas telinga. Menoleh cekikikan. Kemampuan adaptasi Sebastian cukup bagus, bukannya kebingungan usai mematahkan tongkat, Sebastian sekarang bertepuk tangan bersama orang-orang di sekitar. Ekspresinya penuh kegembiraan.

  Yamanaka tertawa hambar, melihat kocaknya Sebastian berdansa bersama perempuan-perempuan muda. Berbeda dengan teman setengah bulenya itu, aktivitas malam Yamanaka hari ini mengajari hitungan terhadap kelompok anak-anak manis yang kebanyakan perempuan. Paras mereka sudah cantik sedari kecil. Sama seperti warga lain, tahap usia anak-anak tetap diberlakukan pemakaian butir kalung kayu. Yamanaka merasa takjub karena mereka tidak tertarik melepaskan kalung apapun kondisinya.

  “Berat gak?” bisik Yamanaka sambil memangku gadis cilik berambut keriting. Pipinya gempal dengan badan lumayan berisi.

   Si gadis anak desa menggeleng kecil. Memakai kalung diluar berat badannya sendiri bukanlah beban apa-apa karena sudah terbiasa. Semua karena kebiasaan. Toh, Yamanaka baru ingat pesan pak Sirka, kalau bayi-bayi yang baru lahir sudah mendapatkan anugerah mengenakan kalung.

   “Kakak gak merasa berat pakai kalungnya?” tanya gadis cilik menggunakan bahasa bukat sambil memainkan jari.

   Dahi Yamanaka berkeut lebih dalam. Butuh waktu menerjemahkan pertanyaan bocah itu ke dalam bahasanya. Sebastian baru mengajari Yamanaka beberapa dialog dasar dalam bahasa bukat. Jawaban sederhana Yamanaka hanya bergeleng. Ragu mengucapkan bahasa mereka. Benaknya bertanya, kemungkinan gadis cantik berusia sekitar sepuluh tahun ini mulai diam karena isyarat gelengan darinya memiliki arti jawaban yang benar.

Lihat selengkapnya