Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #6

6 | Bubur buatan Yazjah

6 | Bubur buatan Yazjah

 

Malam semakin larut. Rumah pendopo yang digunakan penginapan kedua tamu kampus tampak hening dari luar. Lampu ruang tengah dinyalakan, menandakan kalau Sebastian serta Yamanaka belum juga tidur. Mereka fokus menulis laporan secara manual. Mengingat tidak ada listrik di desa tengah hutan Kalimantan Barat. Selain bisik-bisik keduanya, suasana luar turut sepi. Hanya terdengar sahutan jangkrik, burung hantu, dan percikan api unggun.

   “Yaka, laptopnya gue matiin. Mending dipake buat minggu terakhir,” ujar Sebastian menutup layar laptop. Diletakkan di sampingnya.

  “Siapa suruh lu pake duluan. Kan gue minta pake beberapa menitan aja. Malah lu pakai edit tulisan. Tinggal berapa baterai laptopnya?” oceh Yamanaka memutar pulpoin.

  Kalau tadi Sebastian hanya bertelanjang dada, sekarang Yamanaka mengenakan piyama merah muda motif bunga sakura ketat, sehingga lekuk ramping badannya terlihat. Sebastian sendiri sudah rapi mengenakan kemeja kotak hitam lengan panjang. Apa pun yang dikenakan Sebastian, pasti tampil kharismatik.

 “Masih banyak kok. 85%”

  Di tengah anggukan, Yamanaka menguap berat. “Ngantuk banget. Jam berapa ini?”

 Lekas Sebastian menarik lengan baju, melihat jam tangan. “Baru jam sepuluh malam. Istirahat aja, biar gue handle sisanya.”

  Wajah Yamanaka kelihatan suntuk, berat memainkan ekspresi. Ia mengusap wajahnya. Mengangguk setuju.

  “Gue istirahat dulu.” Merapikan bagian bawah piyama yang kusut. Ia berdiri mengucir rambut, pergi menuju kamarnya yang terpisah dengan Sebastian.

  “Yaka,” panggil Sebastian, merapikan lembaran-lembaran kertas.

  “Hm?” Untungnya Yamanaka belum beranjak jauh.

  “Gue benar kan? Lu belum salat Isya. Nama salatnya benar Isya?”

  Bola mata Yamanaka berputar. Malas mendengar nasihat Sebastian yang gitu-gitu aja. “Terus kalau gue gak salat, kenapa?”

  Urusan pengetahuan agama Islam, Sebastian bukan pakarnya. Cowok brewok itu cuman tahu beberapa hal tentang ibadah seorang Muslim. “Ya, itu urusan agama lu. Yaudah sana. Langsung istirahat.”

  Yamanaka mengedikkan dagu. “Lu masuk Islam coba. Biar tahu capeknya disuruh salat terus.” Berlalu diliputi amarah.

   Namanya juga perempuan, perasaannya berubah-ubah. Kemarahan Yamanaka bukanlah sesuatu yang merugikan bagi Sebastian Marco. Keinginan menulis laporannya mogok, malam ini terasa berat. “Jadi mahasiswa semester lima capek juga.” 

  Dug!

 Dentum benda jatuh terdengar. Merusak minat baca Sebastian yang gak ada hentinya menguap. “Siapa?” tanyanya menengadah. Curiga ada seseorang di balik pintu.

  Senyap. Menimbulkan waspada bagi Sebastian yang mulai berdiri. Mendekati pintu sambil melenggokkan kepala, kedua mata terpicing. Kenop pintu dipegangnya, namun menahan beberapa saat agar siap dibuka. Apa hewan liar ya? Sebastian menganggap serangan hewan liar kapan saja bisa terjadi. Lokasi desa yang ditempati berada di tengah hutan. Banyak satwa berkeliaran bebas.

  Tok! Tok! Tok!  

  Tiba-tiba pintu diketuk. Respon Sebastian mengerjap-ngerjap. Hampir kaget sampai menyentuh dada.

  “Siapa?”

   *Bahasa bukat* “Kak, boleh masuk?” sahut suara anak gadis kecil.

  “Ada urusan apa? Sudah malam.” Sebastian mempertegas.

  *“Mau ketemu Kak Yama.”*

  Kak Yama? Anak-anak desa mulai mengenal Yamanaka dengan sebutan Kak Yama. Sebastian tahu sendiri, ia sulit berinteraksi dengan anak kecil. Urusan mengajari anak-anak hitungan, adalah tugas Yamanaka sebagai bentuk adaptasi dan pendekatan sosial.

  “Yamanaka?” lirih Sebastian.

   Tok! Tok! Tok!

  Gadis kecil desa mengetuk lagi. Sepertinya ada sesuatu yang penting. Di mana orang tuanya? Anak sekecil itu berani datang malam-malam sunyi.

  “Ada siapa saja di sana?”

  “Cuman aku saja, Kak Tian.”

  “Kak Tian?” Panggilan barusan membuat Sebastian tertawa kecil.

  “Kata Kak Yama, Kakak brewok dipanggil Kak Tian saja,” jelasnya.

  Senyum sabar Sebastian awet. Panggilan tadi menghiburnya. Muncul pikiran, mungkin ini kesempatan baik melakukan interaksi dengan anak-anak desa. “Belajar bahasa Indonesia dari mana?”

  “Beberapa dari kami sekolah, Kak. Jalan pagi-pagi sekali buat belajar. Kebanyakan anak-anak di sini buta huruf dan sulit memakai bahasa lain.”

  “Pantes. Soalnya Kak Yama baru belajar bahasa bukat. Kirain bahasa Indonesianya diajarin teman kak Tian itu.” Terkekeh, kenop pintu diputar.

  Ketika pintu terbuka lebar, berdiri seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun. Wajahnya manis, rambutnya hitam panjang sampai belakang betis. Mengenakan pakaian kulit jahit gabungan rok. Tentunya kalung merepotkan yang harus dipakai sepanjang hidup. Ia tersenyum getir dengan bola mata bulat berpupil hijau langka.

  “Siapa namamu anak cantik?” ucap Sebastian ramah sambil duduk jongkok mengusap puncak kepala anak kecil di hadapannya.

Lihat selengkapnya