Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #7

7 | Tari Monong Salsala

7 | Tari Monong Salsala

 

 

 

 “Hueek!”

“Hueek!”

 Di dalam kamar mandi, Yamanaka terus muntah. Wajahanya merah, menunduk di bawah pipa bambu dengan air mengalir. Menyapu muntahannya.

  “Hueekk! Duh!” Perut Yamanaka melilit. Dipegang lemah.

  Suasana hutan dipenuhi embun. Pemandangan pagi-pagi buta yang sejuk lagi dingin. Terdengar ringkik suara serangga dan kicauan burung bersahutan. Belum ada warga atau suku beraktivitas. Segalanya senyap. Menenangkan.

“Marco? Lu di mana?”

  Yamanaka berdiri menghadap pintu kamar Sebastian Marco. Mukanya curam, sedang menahan perih. Ia ingin bertemu Sebastian, mengadukan masalah perutnya. Akan tetapi, sudah berkali-kali pintu diketuk, tiada respon dari cowok brewok itu. Yamanaka tidak mampu bersabar. Ia berdecak kesal, pergi segera.

  Lampu minyak gantung tersisa nyala api kecil. Yamanaka kebetulan menyadarinya. Ia mengambil lampu minyak, meniup api sampai padam. Melakukan hal serupa pada setiap lampu minyak.

  “Marco?” Langkah Yamanaka berhenti. Melongo menatap Sebastian di ruang tengah.

   Cowok yang mulai dipanggil Kak Tian oleh anak-anak desa itu tidur terlentang di bawah lantai. Ngorok keras. Di sebelahnya tergeletak laptop, tas kamera, dan tumpukan kertas laporan.

  “Marco.”

  Tidak ada yang mengejutkan bagi Yamanaka. Muka judes cewek berdarah jepang itu tak mampu menahan senyum geli. Sebastian Marco penyebabnya. Sungut napas serius Yamanaka membuatnya enggan menyepelekan waktu pagi. Ia juga ingin tahu, sampai ke mana progress penulisan makalah hasil tulisan cowok brewok di depannya.

  “Aduh, perut masih sakit banget,” batin Yamanaka melipat bibir. Telapak tangan mengusap perut. Sudah berapa kali bolak-balik ke kamar mandi. Membuat kondisinya lemas, keluar keringat berlebih.

   “Sialan, harus ke kamar mandi lagi!”

   Yamanaka lari terbirit-birit, rasa sakit pada perutnya memuncak. Ia menghabiskan waktu di sana selama satu jam lebih. Diduga penyebab keluhan Yamanaka di pagi ini adalah bubur pemberian anak kecil kemarin. Muka Yamanaka sampai merah, kantung matanya semakin mencolok, dan belum merasa menyelesaikan urusannya di kamar mandi. “What happen! Auh! Perasaan gue gak makan cabe deh!” Menarik napas dalam-dalam.

 

* * *

 

  “Marco…”

“Marco…”

     “Marco…”

 

  Lirih merdu seorang gadis memanggil. Di tengah balai tari, sang gadis berdiri. Menunjukkan pesona cantiknya. Kedua tangan menyangga pinggul, menggantung ujung seledang di antara pergelangannya. Kepala gadis dimiringkan sehingga satu bagian rambut di depan menjuntai halus. Senyum tipis yang tulus. Memikat seseorang di balik rerumputan. Gadis sang pelatih tari tahu kalau ada seseorang bersembunyi, mengintip serta membuntuti.

   “Gak usah malu-malu.”

  Kaki mengayun lembut, baru ibu jari turun menginjak tangga pertama. Malam yang berbeda. Tidak berisik, akan tetapi tersebar asap harum.

Lihat selengkapnya