Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #8

8 | Yaka Setan

8 | Yaka Setan

 

Waktu petang datang. Suasana hutan sedikit mencekam karena warna langit pun tak mendungkung kebahagiaan. Sepenuhnya masyarakat desa akan meninggalkan berbagai aktivitas harian di jam-jam paling dihindari. Penduduk kota pun demikian paling anti dengan suasana petang yang selalu dibumbui mitos-mitos tak biasa. Masyarakat desa Wediduso kembali ke rumah masing-masing. Menghentikan perburuan, nyanyian, ritual memuja pohon tua. Tidak ada alasan apapun lagi untuk tetap berada di luar … Meski mereka berdarah asli hutan. Lahir di hutan, mati di hutan.

Sebelum petang datang, sejenak dihabiskan Sebastian berkeliling hutan. Jiwa petualangannya belum bisa berkata “Jangan”. Pantangan jenis apa saja didengarkan Sebastian, tapi ia tetap melakukan hal-hal yang membuatnya bisa menambah nyali sekaligus menyegarkan rasa penasaran. Kalau soal hutan, Sebastian hampir sama dengan kera. Tidak bisa diam. Tangannya banyak bergerak, menyentuh daun-daun besar. Tetap saja, Sebastian bukan betulan kera yang mudah berteriak.

“Kayaknya cukup. Harus balik nih.”

Petang ini, Sebastian selesai mengumpulkan daun-daun obat yang ia dapatkan dari beberapa titik lokasi berbeda dengan medan tanah berbeda pula. Antara lain, jenis daun Bopot – Jasminum Pubescens yang dikenal sebagai gambir hutan. Sengkepok – Physalis Minima yang akarnya bisa digunakan untuk mengobati penyakit cacar. Juga kulit batang pohon Halaban, memiliki manfaat obat sakit tenggorokan, contohnya amandel.

Pisau hutan ia masukkan hati-hati ke dalam sarung sabuk kulit. Sarung tangan hitam tebal Sebastian membantunya melindungi telapak tangan dari serangga beracun atau ancaman gatal-gatal. Setidaknya, tas kecil selempang miliknya dipenuhi daun-daun bermanfaat. Sebastian mengusai ilmu Survival. Wajar saja ia tetap tenang, meski sendirian menjelajahi separuh hutan. Caranya kembali sangatlah mudah, mengikuti jejak tali pada ranting. Selain itu, goresan batang pohon yang telah tersentuh ketajaman pisau hutannya turut membantu cowok berbadan besar itu pulang ke rumah penginapan.

Andai Sebastian masuk ke jurusan Teknik Lingkungan. Perandaian yang tidak terjadi. Sebastian cenderung mengutamakan hutan sebagai sarana refreshing, bukan bagian dari akademik.

“Dasar Yaka. Bisa-bisanya sakit perut di hutan orang,” lirih Sebastian banyak menengadah langit. Kelompok burung migrasi sedang lewat, juga sebagai pesan bahwa sebentar lagi hari akan gelap.

Sebastian Marco tidak diperkenankan membantu secara berlebihan mengatasi masalah sakit perut rekan sesama almamater merah itu. Sensasi panas menggelitik di perut dirasakan Yamanaka seharian. Berawal dari kecerobohan serta ketidaktahuannya mengenai bahan-bahan bubur halus di dalam bola tempurung kelapa, menjadi imbas gejala sakit ringan serta muntah-muntah karena perutnya mulai merasa mual. Menolak segala isi makanan yang seharusnya bisa dicerna. Yamanaka tidak mengadukan masalah sepele menurutnya ini, ia hanya berusaha memaklumi, bisa saja usus orang-orang kota atau salah satu gadis berdarah Jepang yang terbiasa terkontaminasi olahan makanan cepat saji, seperti burger, pizza, sushi, dan mie ramen yang mempengaruhi sistem adaptasi jenis olahan makanan baru—lebih alami.

Yamanaka hanya mengatasi sakit perut dadakan itu dengan meracik sendiri teh Peppermint. Saran meminum teh mentol berasal dari Sebastian. Meski, awalnya mereka taruhan apakah selain bahan jahe, efek perih di perut bisa dihilangkan. Sebastian pun membawa sejumlah bahan racikan alam di dalam tas. Itu sangat membantu. Cowok bule hobi mendaki gunung itu memang lebih paham lingkungan, termasuk menyembuhkan penyakit dengan obat-obatan dari hutan.

Lampu minyak baru saja disalurkan api dari korek gas. Sisa api kecil pada korek ditiup lembut oleh Sebastian. Langit mengikuti perubahan dinamis, mempengaruhi rona warna cerah menuju gelap. Malam membentang menutupi suasana asri hutan desa Wediduso yang disakralkan. Suci tanpa adanya pabrik-pabrik dengan cerobong asap perusak alam.

“400 ml air, 2 ruas jahe, 1 buah kantong teh hitam, 7 lembar daun mint, 1/3 cangkir madu, 1 buah jeruk lemon, lalu ….”

Rempah-rempah yang disebutkan berjumlah beberapa saja. Jika banyak digunakan akan habis kurang dari sehari. Semua rempah-rempah barusan kebanyakan milik Sebastian pribadi. Rempah alam berkhasiat. Separuh rempah-rempah ia dapatkan dari aktivitas memasak bersama masyarakat desa. Mereka cukup baik, memberikan jatah rempah kepada tamu baru. Tentu setelah ada hal bermanfaat yang bisa ditukar. Membantu memasak misalnya.

Pada titik-titik tertentu, di sanalah lampu minyak kosong harus diisi api secara rutin sebagai penerangan ruang demi ruang. Sebastian melakukan tugas kecil ini dengan cukup sabar. Lalu, lampu minyak di lorong sempit menebarkan penerangan remang. Berada paling belakang dari pendopo tempat tinggal bagi kedua tamu baru. Mereka belum mempelajari banyak hal. Terkecuali, Sebastian belajar bagaimana menyambut seorang perempuan cerewet yang sebentar lagi datang. Tinggal menunggu waktu.

“Beres!” Senyum pipih Sebastian mengembang. Penampilannya berubah seperti seorang pria ketika mengenakan kemeja kotak-kotak biru tanpa mengaitkan kancing. Sudah kebiasaan paling keras kepala baginya yang menunjukan bentuk badan sixpack dibalik pakaian kemeja.  Ia memiliki hobi mendaki. Selain itu, kerap memperbanyak workout disela-sela liburan. Sialnya, Yamanaka hampir kesulitan memuji bentuk body goal Sebastian. Entah karena malu, atau memang ilfeel. Apakah Yamanaka seorang Tsundere? Akan tetapi, Sebastian tidak akan muncul di depan Yamanaka dengan keadaan berantakan seperti sekarang.

Meja panjang telah tersedia di ruang lorong kecil. Terbuat dari campuran batu dengan tanah liat. Suasana malam bertahap dingin, menjadi sebab nyamuk tidak akan menempati temperatur yang tidak mendukung. Ya, meja yang sempat kosong, mulai dipenuhi daun-daun kering, sebagian daun subur bertekstur lembab. Daun-daun di hadapan Sebastian bukanlah sampah tak berarti, semua ini karena Sebastian memang ingin menjadikan meja batu sebagai tempat sementara koleksi daun obat. Gelas kaca yang biasa menjadi gantungan kunci tas ransel dalam menemani aktivitas pendakian, digunakan si cowok brewok untuk membuat teh Peppermint. Satu gelas sudah cukup. Bukan untuk dirinya, tetapi untuk Yamanaka. Atau anak-anak desa mulai memanggilnya Kak Yaka.

Ternyata daun serta batang yang mengandung mentol (Minyak Atsiri) paling cocok dengan kondisi perut Yamanaka. Tentu, bukan sekali saja Sebastian bersabar hati meracik teh Peppermint. Segelas teh hangat Peppermint ia pegang hati-hati sambil berjalan menuju ruang tengah. Meracik seorang diri tanpa percakapan hanya menambah jenuh Sebastian setiap mengunjungi area lorong.

Sebastian meninggalkan meja penuh dedaunan obat. Rumput bulu, Halalang, Beluntas, daun Sangkai, dan beberapa daun dengan manfaat penyembuhan alami lain. Semua jenis daun barusan mudah ditemukan di kedalaman hutan Kalimantan.

Meja ruang tengah tampak kurang bersih, belasan kertas laporan yang terpaksa ditulis manual menggunakan pena daripada menghabiskan baterai laptop yang jaga-jaga akan digunakan lebih lama pada hari-hai terakhir mereka melakukan survei nanti.

“Ah.” Sebastian mengerucutkan bibirnya. Mendesah. Bangku panjang kayu sangatlah kurang cukup mengatasi sakit pantat ketika mencoba duduk di sana. Beban kalung dengan butir tasbih berukuran besar mencekal ruang gerak. Rasanya, sebagaimana mengenakan baju zirah pasukan Mongol.

“Nyicip dikit.”

Diam-diam … Ia memang sendirian. Pantaslah mengikuti kesempatan yang ada. Awalnya Sebastian memutar pandangan matanya ke dua arah paling terjangkau. Setelah itu, bibirnya menyesap sedikit demi sedikit air di dalam gelas. Alasannya, “Takut kurang manis.” Selagi bisa menghangatkan perut, terpaksa Sebastian mencicipi teh Peppermint. Tanpa Yamanaka tahu, secangkir teh yang akan ia minum ternyata terdapat bekas bibir seorang cowok perokok. Cowok paling jarang gosok gigi. Namun, Yamanaka tidak akan mengetahui itu karena bau mulut Sebastian telah harum hari ini. Beraroma mentol segar.

Gelas minuman diletakkan di atas meja setelah Sebastian menepikan kertas-kertas berserakan. Terlalu malas baginya menata rapi sejumlah kertas paling anti dipandang lama-lama. Laporan survei yang memang ditulis Sebastian asal-asalan. Setengah hati.

Napas dingin terembus pelan. Sebastian Marco sempat mengusap-usap lengan tangan, bulu-bulu kasar sekitar lengan berdiri. Hawa dingin semakin terasa menusuk pori-pori. Gelas teh Peppermint enggan dirampok oleh bibir si cowok brewok lagi. Solusi Sebastian hanya menyalakan putung rokok. Kebetulan kotak korek ada di atas meja. Perlahan tapi pasti, asap rokok yang berkali-kali ditiup sekaligus dihirup akan menciptakan hawa hangat bagi Sebastian. Selama beberapa jam, Sebastian ketagihan merokok, bahkan menghabiskan lima putung rokok karena masih menunggu Yamanaka pulang.

“Yamanaka, where are you?” Sebastian mengeluh. Badannya telah menghangat. Kecuali segelas teh Peppermint bertukar sifat, berubah dingin.

Ekspresi Sebastian bertahap lesu, cap raut gelisah juga bisa dinilai dari pergerakan kepalanya. Bibirnya masih menjepit putung rokok yang sebentar lagi habis. Lahir beban emosi di hati Sebastian, ia benar-benar merasa kesal. Menunggu seorang perempuan hanyalah sia-sia. Waktu yang telah mubazir. Meski Sebastian masih bertugas melanjutkan laporan, hanya saja ia belum menyentuh pena di atas meja. Jarinya hanya tertarik memainkan putung rokok. Ia hirup lagi dan lagi.

Serbuan suara jangkrik serta suara derik serangga hutan meramaikan suasana bermalam di hutan Kalimantar Barat. Ditambah, suara gemuruh langit menandakan hujan akan turun. Tinggal menghitung waktu.

Gue jadi khawatir … Sesibuk apa sih Yamanaka sama anak-anak desa?

Jari-jari Sebastian dihentak-hentakkan di atas meja. Menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan di pertengahan malam. Perutnya juga melolong lapar. Porsi makan Sebastian haruslah banyak. Sebelum pergi mengajar anak-anak desa, Yamanaka telah menyanggupi permintaan Sebastian untuk membawakan daging babi bakar. Sebagai gantinya, Sebastian siap mengobati sakit perut Yamanaka. Terbukti dengan segelas teh Peppermint.

Sampai-sampai, rasa malas menguasai si cowok brewok. Ia tidak lagi merokok terlalu banyak. Jaga-jaga rokoknya akan digunakan untuk hal-hal jenuh lain. Tidak ada penjual rokok di hutan rimbun. Bahkan, daun-daun herbal tidak akan bisa mengalahkan kenikmatan racikan rokok buatan pabrik. Herbal bukanlah campuran bahan rokok. Sayang sekali, tanpa Yamanaka sadari, ia telah menyumbang masa jenuh bagi Sebastian. Ketujuh putung rokok terlanjur habis dan sama sekali tak mengatasi masalah emosinoal cowok berdarah inggris itu.

“Dasar cewek beban! Seharusnya Yamanaka mati sama bom atom Hiroshima,” keluh Sebastian melontarkan komedi gelap, memilih berbaring pada bangku kayu. Punggungnya terasa sakit.

 

* * *

 

Lihat selengkapnya