Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #9

9 | Tukar Tugas

9 | Tukar Tugas

 

Ufuk timur menjelang kebangkitan matahari diliputi kabut dan embun. Hutan perawan yang kaya akan flora serta fauna mendapatkan pasokan air terlalu cukup. Dalam waktu semalam, hujan deras turun, mengguyur sebuah desa kecil dengan segala tradisi adat sakral. Tetes butir air terus jatuh diredam kepadatan tanah. Ujung daun menuang tetes demi tetes air ke calon-calon tunas baru di bawah tanaman pokok paling besar. Dinginnya suasana pagi, menghidupi lapisan lumut hijau muda pada batang pohon. Lalu, burung Enggang sedang bertengger di atas dahan lapuk. Burung itu sendirian, menjaga diri, terbiasa dengan hutan yang baru saja dimandikan alam. Lama-kelamaan, burung Enggang bersuara nyaring sebelum mengepakkan sayap—menggaruk celah sayapnya menggunakan paruh bengkok dan segera terbang tinggi menuju langit biru setengah abu-abu. Tanpa awan. Nyaman dirasakan.

Gerak-gerik suku desa sama tenangnya. Baru sebagian yang keluar dari rumah berbahan kayu ulin, biasa disebut rumah ulin. Mereka membersihkan ranting-ranting di sekitar rumah setelah dibawa terbang badai ringan. Terlihat di depan rumah kerdil itu, seorang suku sepuh, perempuan tua dengan rambut putih kaku sebahu. Rambutnya yang kering dengan ekspresi kusut. Ia sedang menyuapi gadis kecil yang duduk jongkok di hadapannya dengan semangkuk kayu berisi bubur hangat. Di dekat mereka, masih mengecap sisa tumpukan dahan yang telah separuh dimakan api. Ujung-ujung kayu menghitam. Tidak ada api yang menari-nari selain asap setara uap kecil.

Sebagian suku kaum pria, atau berusia lebih tua, meski kebanyakan pria di desa Wediduso berperawakan tinggi kurus. Jika ada yang bugar, biasanya memiliki jabatan seorang pemangku desa, atau ketua bawahan yang menjaga keamanan desa.

Pagi-pagi buta, dalam hitungan beberapa menit lagi akan terlihat ujung kepala sang surya pembawa berkah alam. Begitulah anggapan suci mereka. Masyarakat desa Wediduso mengagungkan kebaikan alam, bukan tindak kehendak Tuhan dalam agama Abrahamik.

Banyak aktivitas sederhana masyarakat setiap menyambut hari baru. Pagi baru. Komunikasi yang unggul serta sosialiasi antar sesama—yang mirisnya di peradaban kota telah digantikan benda pipih canggih. Seorang perempuan muda, semakin cantik dalam riasan khas suku, pakaian khas suku bukat itu hampir tetap dipakai tatkala menjalani hari-hari. Perempuan muda tadi memandu sekelompok anak-anak berusia tujuh tahun melalui jembatan batang pohon untuk menyeberangi arus sungai.Tampaknya, arus sungai kurang bersahabat tepat pagi membentang. Mereka adalah anak-anak suku berpendidikan. Anak-anak manis lucu, terbiasa mengenakan kalung suci sambil bersorak senang, bersiap pergi ke sekolah kecil beberapa kilometer dari desa. Bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa yang muncul di desa ini sebagian dibawa oleh generasi suku berpendidikan. Meski, Yamanaka mengenal sedikit anak-anak suku bukat yang berbakat dan berpendidikan … Akan tetapi, ia hanya mengajari anak-anak buta huruf, buta angka, dan tentunya memiliki latar belakang tidak pandai belajar.

Selain itu, Yamanaka kadang membantu orang-orang dewasa ikut belajar di kelas kecilnya. Masyarakat desa setidaknya mulai menyukai kehadiran Yamanaka, mereka terbantu. Bahkan, ada banyak golongan suku tua pertama kali belajar mengeja huruf. Saking dibutuhkannya Yamanaka, mengharuskan gadis dengan tinggi badan 170 cm itu pulang larut ke rumah pendopo tiga tiang. Ia mendadak disulap menjadi gadis sibuk. Nama Kak Yaka atau Kak Yama menjadi panggilan familiar di kalangan anak-anak suku bukat. Mereka pasti bersemangat jikalau melihat kehadiran Yamanaka yang kadang tertawa ria bersama mereka. Menari bersama mereka. Belajar bahasa bukat bersama anak-anak baik hati.

“Yaka, lu lihat headset gue gak?”

 Sesampainya di ruang tengah, fokus Sebastian berputar-putar antara isi tas ransel, lalu tas selempang. Sepagi ini, Sebastian sedikit bergerak dan memilih duduk di bangku kayu. Memangku kedua tas berbeda ukuran itu untuk mencari sesuatu. Berkali-kali, risleting tas dibuka-tutup karena tak kunjung mendapatkan barang yang ia cari.

Yamanaka masih mengenakan pakaian adat King Bibinge sejak semalam terlalu letih sehingga sampai pagi tiba, si gadis putih itu sedang duduk di lantai, menekuk kedua kakinya ke belakang. Kedua tanganya dilipat di atas meja, bersama kepala keras kepalanya yang diselundupkan ke dalam lipatan tangan. Tertidur dalam keadaan demikian. Nyaris dinilai kurang ajar karena Marco, panggilan akrab Yamanaka untuk seorang cowok sok maco’ yang sengaja mengosongkan kertas laporan—memaksa Yamanaka ekstra lembur semenjak memijakkan kaki ke ruang tengah. Ia sedikit tidur, begadang menyelesaikan data laporan berdasarkan aktivitas mengajarnya.

“Yaka, sudah pagi. Bantuin gue, kek!” omel Sebastian berhenti mencari benda mini di dalam bagian-bagian ransel. Kedua tas diletakkan di atas meja. Di ruang tengah, Sebastian tak segan tampil bertelanjang dada, sebatas mengenakan celana jeans hitam panjang. Lagi-lagi, ia kepedean memiliki badan berisi, sixpack idaman kaum hawa. Mirisnya, cowok itu lebih pendek ketimbang perempuan berdarah Jepang. Toh, sebenarnya Sebastian juga paling tinggi seandainya tidak satu partner dengan Yamanaka. Yamanaka keterlaluan tingginya. Ia gadis super gak enakan, selalu aktif  bertanggung jawab.

“Beban banget sih!” Sebastian berdiri, membawa Headset – Walkman Sony TPS-L2. Kecuali, headset kecil yang ia cari tidak ada. Keseruan mendengarkan musik tidak akan berjalan baik. Niatnya, setelah mandi Subuh tadi, Sebastian ingin mendengarkan musik sambil melanjutkan menulis laporan. Mood menulisnya rusak, secangkir kopi pahit belum cukup menghibur momen rileks yang ia idam-idamkan.

“Yaka, buruan mandi. Waktunya lu ngajar anak-anak.”

Tiba-tiba Sebastian berhenti berjalan, menoleh Yamanaka. Menunjukkan betapa sebutan brengsek pantas untuknya. Segalanya dibebankan kepada perempuan.

“Gue ngantukkk!” Kepala Yamanaka masih tenggelam. Bersuara bengkok, mengadu seperti itu pun dibalas panggilan tanpa henti dari Sebastian. “Bisa gak sih? Gak usah panggil-panggil gue!”

“Buatin gue nasi goreng. Katanya lu bisa buat nasi goreng,” imbuh Sebastian.

“Masak sendiri sana, bumbu-bumbunya ada di tas,” gumam Yamanaka ogah melayani keinginan Sebastian yang terlalu menjunjung tinggi bahwa laki-laki di atas perempuan.

“Tas lu di mana?”

“Kamarlah, idiot! Ssst! Berisik!” Nada suara Yamanaka makin naik. Risi mendengar cowok bersuara di pagi-pagi buta.

“Oke, gue ambil.”

Tak butuh waktu lama Sebastian mendapatkan tas milik Yamanaka, bukannya mencari sendiri bumbu sachet untuk bahan membuat nasi goreng, malah Sebastian kembali menuju ruang tengah tanpa menutup pintu kamar Yamanaka. Apesnya lagi, mimpi indah Yamanaka selalu diganggu si cowok brewok. Secara tiba-tiba, Sebastian melemparkan tas milik Yamanaka tepat di depan pemiliknya. Ditambah, kepala Yamanaka dikenakan alat nesting besar secara terbalik yang niatnya ingin digunakan Sebastian memasak nasi.

“Tidur mulu. Di agama lu ada salat Subuh kan? Kenapa lu gak salat Subuh?”

Yamanaka setengah terkejut menerima sentuhan benda dingin di atas kepala. Perlahan, kedua bahunya naik. Lalu, terjun lesu. Di sanalah Yamanaka menggerutu marah. “MARCO!!!” Kepalanya diangkat dengan muka awut-awutan. “SHUT UP!” Seketika melempar nesting kea rah Sebastian. Jelas saja meleset, Sebastian berlari menjauh. Benda ringan itu jatuh dengan bunyi lengking mengganggu.

“Yee, gak kena.” Merasa asik sendiri, Sebastian melakukan tarian moonwalk ala Michael Jackson.

“Gak lucu! Ish! Sumpah … lu, lu ….” Napas Yamanaka tersengal-sengal. Kemarahannya membebani diri. Bahkan, ia kesulitan bagaimana mengurus kejahilan Sebastian. Selain, selain menunjukkan badan mengembang-turun.

“MARCO!!!”

“Myarrcoo.” Teriakan Yamanaka diulangi Sebastian dengan nada mendayu-dayu yang akan merampas habis kesabaran si gadis super sewot pagi ini.

“Lama-lama gue bunuh juga lu! Pergi! Jangan ganggu gue!” seru Yamanaka melempari Sebastian dengan pena dan tas. Gara-gara diganggu terus, Yamanaka mulai berdiri. Kerutan dahinya semakin dalam, bisa-bisa menjadi permanen karena setiap waktu marah. Sebastian pasti penyebab kemarahan Yamanaka.

“Pergi, pergi. Seenaknya usir gue. Masak sama cuci-cuci dulu! Cepet. Gue mau ngopi di luar.”

Tatapan Yamanaka dirasuki dendam tujuh turunan. Dalam diamnya, ia ingin menakut-nakuti Sebastian dengan ekspresi penuh api. Sekalipun, tidak akan mempan mengubah sifat Sebastian. Kapan pun.

“Ngopi?”

“Kenapa? Mau dibuatin kopi juga?”

“Cuci-cuci?” Yamanaka hanya menyuarakan suara-suara di kepala.

Yes. Pretty girl. Cewek Hiroshima. Di dekat kamar mandi, banyak pakaian kotor gue. Ditambah pakaian kotor punya lu. Daripada menumpuk. Buruan cuci-cuci. Habis cuci-cuci, mandi, terus masak, dan lanjut ngajar. Gue di sini, selesaiin laporan. Adil kan?”

Lihat selengkapnya