Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #10

10 | Beautiful Girl

10 | Beautiful Girl

 

Rumah pendopo tiga tiang dilalui sekelompok suku dalam aktivitas sehar-hari, berangkat untuk berburu babi hutan, pulang membawa tangkapan buruan lebih banyak. Kadang-kadang membawa pulang seekor rusa, kera, dan ular untuk dimakan. Jalan menuju lokasi perburuan tak terlalu jauh dari tempat penginapan tamu kota. Awal melihat ekspresi garang kaum suku laki-laki, sempat menodai kegembiraan Yamanaka. Kondisi emosionalnya mencoba beradaptasi bahwa semua baik-baik saja. Tak perlu terlalu cemas atau menaruh sikap defensif. Permulaan wajar ketika gejala culture shock menyerang kedua mahasiswa semester lima itu. Perlahan, antara mereka berdua terbiasa menyambut pemandangan segelintir masyarakat desa bolak-balik melalui kediaman Sebastian bersama Yamanaka. Mau tidak mau bertegur sapa selama 24 jam penuh. Sebastian paling sering disapa kelompok suku pemburu karena kadangkala ia berdiri di ambang pintu rumah, menyikmati sebatang rokok. Selebat apapun brewok Sebastian, ia tak segan memberikan senyum per sahabatan kepada para suku pemburu.

Belasan detik berlalu, mengekori pandangan Sebastian terhadap kelompok suku pemburu yang baru saja pulang melewati rumah pendopo. Kelompok suku berbadan besar itu membopong mayat babi hutan besar. Sekujur badan babi terkena luka sayatan parang cukup dalam. Perburuan yang biasa dilihat Sebastian dalam film-film, dalam versi kenyataannya jauh lebih menggelikan sehingga Sebastian menyayangkan populasi babi hutan yang suatu saat akan penuh jika terus diburu. Ekspresi Sebastian enyah, lalu menunduk menikmati rokok di suatu pagi lumayan dingin nan mendung.

“Mereka mungkin baru saja pulang dari masa-masa berburu,” ucap Sebastian menjadi laki-laki paling rapi hari ini. Rambut hitam klimis, wajah segar, pakaian kemeja dirangkap almamater merah Politeknik Negeri Sambas. Bersandar santai di ambang pintu. Selain sadar sedang berbicara pada seseorang, ia juga menunggu putung rokok terbakar habis sebelum nanti terjun ke aktivitas masyarakat desa.

Di belakangnya, meja ruang tengah adalah pemandangan kacau disengaja. Mengingat, semalam Sebastian membawa masuk tumpukan pakaian setengah basah. Dijatuhkan begitu saja ke lantai. Yamanaka tidak ada di bangku kayu panjang. Setelah tidur tidak terlalu larut, lebih mudah bagi Yamanaka bangun pagi. Melihat penampilan rapi Sebastian, tentunya Yamanaka juga sedang bersiap di ruangannya untuk melakukan aktivitas biasa. Mengajar.

Terdengar suara kicau burung bersahutan. Menghadirkan ketenangan nostalgia kampung halaman. Bau segar hutan menyebar, keuntungan menghirup bau alam adalah datangnya perasaan rileks. Perasaan tenang.

“Marco.”

Datang Yamanaka memasuki ruang tengah. Gadis berdarah Jepang itu muncul dengan paras putih cantik tanpa tandingan. Rambut hitam panjangnya sehalus daun-daun putri malu. Bau wangi rambut sehabis keramas ditambah bau harum parfum pakaian kemeja putihnya dengan kerah atas dibuka itu dapat dicium oleh hidung Sebastian, menghapus aroma pasif asap rokok yang tak lebih menarik daripada kehadiran Yamanaka sekarang. Almamater merah Politeknik Negeri Sambas yang dikenakan Yamanaka membuat si gadis cerewet itu semakin percaya diri. Yamanaka sementara waktu tak lagi memakai celana panjang ketat, ia hari ini mengenakan rok panjang hitam sehingga dalam segi style outfit berhasil saling cocok alias make sense.

“Hm?” Pandangan Sebastian belum memastikan kecantikan Yamanaka di belakang.

“Lu lagi ngapain?” tanya Yamanaka menduduki bangku kayu, lalu satu demi satu pakaian kusut dari permukaan meja dipindahkan ke atas pangkuan.        Ia sangatlah terampil sekaligus piawai melipat beberapa pakaian bersih. Setiap lipatan pakaian diletakkan di sebelah, sebagai seorang gadis muda, Yamanaka adalah calon ibu paling sabar. Bisa dilihat dari kemahirannya melipat pakaian dalam waktu singkat.

“Merokok,” jawab Sebastian menoleh. Sebastian bukanlah laki-laki ekspresif, namun hatinya memuji kecantikan Yamanaka hari ini. “You are beautiful.” Tak segan memberikan pujian sebagai seorang sahabat.

Senyum manis Yamanaka mengembang. “Gak usah gatel matanya.”

“Terus gue harus gimana?” Perasaan kesal Sebastian sudah membaik. Aura Sebastian terasa ramah. Memberikan rasa aman bagi siapa saja yang dekat dengannya.

Kedua alis Yamanaka naik. Kata-kata peluluh hati dari Sebastian takkan mempan terhadap Yamanaka karena ia gadis anti gombal. Yamanaka mengedepankan logika bernalarnya ketimbang tertipu ilusi virus merah jambu. Untuk itu ia tak mudah jatuh hati.

“Gue nyesel udah panggil lu cewek Hiroshima.”

“Mulai!” Mendengar panggilan aneh barusan saja, menciptakan wajah sinis bagi Yamanaka. Sebentar lagi semua pakaian berantakan di atas meja, selesai dilipat.

“Yaka, lu semalam udah makan juga?”

“Udah dong,” balas Yamanaka terkekeh tanpa melakukan kontak mata ke laki-laki berpakaian almamater ketat di samping pintu. Bibir serta senyum mungil Yamanaka  menggemaskan.

Mereka berdua tetap melingkari leher dengan kalung sakral. Kalung di desa Wediduso wajib terlihat, baik ketika di dalam rumah atau ketika berada di luar. Yamanaka pun masih belajar tak mengeluhkan beban kalung, apalagi setelah ia dihadapkan pada sebuah situasi di mana ia harus terus berinteraksi dengan anak-anak desa yang selalu aktif, penuh semangat, meski mereka tanpa sadar dibebani sebuah kalung besar tanpa boleh dilepas sembarangan.

Thanks, Marco. Sudah bantu cuci-cuci pakaian anak-anak dan warga desa. You are perfect! Maaf, tadi pagi malah ngerepotin lu buat bawa masuk semua pakaian gue di tempat jemuran.Giliran Yamanaka memberikan pujian kecil, namun bermakna spesial di telinga pendengar.

“Ah.” Sebastian menunduk sambil tersenyum miring. Kedua tangan masuk ke dalam saku celana kain hitam. “Tugas laki-laki.” Berpaling demi menghirup putung rokok.

Tiba-tiba Yamanaka tertawa kelagapan. Mendengar tawa khas gadis berdarah Jepang itu, membuat Sebastian menoleh heran. Putung rokok ia lepas dari bibir. Ekspresinya bertanya-tanya kenapa sikap random Yamanaka kambuh?

Why?

“Tugas laki-laki, tugas laki-laki. Sekarang merasa jadi pahlawan ya? Aneh!” ledek Yamanaka berlama-lama terjerumus tawa geli. Sebentar lagi tawa itu memudar.

“Loh?” heran Sebastian terpicing. Rasanya serba salah merespons Yamanaka.

“Gak kok. Lu memang hebat, Marco.”

Bullshit!”Sebastian terlanjur kesal. Memiliki membelakangi Yamanaka saja. Lalu, si cowok brewok membuang sisa putung rokok.

“Eh! Kok toxic? Pamali ngomong kotor di desa orang,” tegur Yamanaka sampai berhenti melipat pakaian.

“Berisik!”

Sebastian diserang kikuk. “Terlanjur good mood tadi.” Mengoceh lirih. Dari arah meja, Yamanaka membaca pergerakan bibir Sebastian. Tatapan Yamanaka mengiba, kasihan memperhatikan seorang cowok yang selalu kena julid perempuan. Lantas, Yamanaka terkikik tanpa suara. Menghentikan tawa tak sopan.

“Gue mau balikin pakaian ke kamar. Mau titip juga?” Kebisuan canggung dipecah oleh suara Yamanaka. Lalu, gadis berlengan kecil itu berdiri lambat. Mengambil sejumlah pakaian miliknya saja di atas tumpuan lengan.

Lihat selengkapnya