Desa Wediduso

Fathul Mubin
Chapter #11

11 | Persalinan

11 | Persalinan

 

Langit malam tergumpal-gumpal awan gelap keunguan. Napas gemuruh menyerbu hutan seluas mata memandang. Jejak-jejak kilat bergelantungan mencakar langit tanpa bintang, tanpa tirai aurora pemanja mata entitas penikmat alam. Bintang-bintang seperti terpental karena tanda-tanda datangnya awan mendung adalah pengulangan hari menggembirakan bagi tunas-tunas baru sebagaimana hari sebelumnya. Disiram hujan. Hawa dingin bagai berkah napas yang dibalas ucapan syukur. Bau dedaunan selepas hujan selalu mengecilkan sampah-sampah emosi. Membuat para penghidu merasa rileks.

Lampu minyak di sudut-sudut rumah pendopo tiga tiang memberikan penerangan teduh. Pada pojok teras, Sebastian duduk bersila tanpa membentuk ekspresi khusus. Mukanya selalu menyalurkan mimik terbatas. Flat face. Di bawah dagunya, searah arah tatap mata yang basah karena hari-hari ini kesulitan mendapat jatah tidur tepat waktu. Jam tidur Sebastian berantakan. Apa yang ia tunggu adalah bisa makan malam lebih cepat karena menunggu kepastian hanya terus membuat kepalanya terangguk-angguk. Sensasi kantuk terus berbisik mengganggu ketahanan mata.

“Lama banget, si Yaka.” Dibentuklah simbol “U” terbalik pada mulut Sebastian. Kedua tangannya menirukan cara orang Jawa duduk atau mirip-mirip seseorang tengah meditasi, kedua lengannya turun memberikan jarak antara perut. Jari Sebastian membekap masing-masing lutut. “Gila, gue mirip dukun lama-lama.” Dilalui napas seringan angin itu dengan decak kesal.

Keluhan Sebastian bukan sembarang ucapan, karena ia bisa dituduh sedang melakukan ritual babi ngepet kalau menggunakan media berbeda. Untungnya, ia hanya duduk sabar menjaga tampah anyaman bambu berisi nasi tumpeng, menggoda perut dan tangan untuk segera menyikat tanpa menunggu lebih lama lagi.

“Ada timun sebelas, sambal goreng kentang krecek udang pete, perkedel kentang ayam suir, fillet ayam goreng tepung, telur dadar suir, mie goreng sosis. Telur puyuh merah. Apa lagi ya?” Semua lauk pelengkap nasi tumpeng disebut Sebastian. Nasi tumpeng khas Kalimantan Barat. Sebentar lagi ada alasan sederhana, kenapa dalam sehari telah tersedia nasi tumpeng dan bukan memakan daging bakar.

“Perkedel kentangnya ada sepuluh. Duh, lapar banget gue.” Sebastian melirik kanan-kiri, hanya disuguhkan suasana gelap hutan dingin. Tidak ada nyamuk, kecuali katak-katak kecil di sekitar tanah. Kelompok katak mulai bermunculan karena musim hujan.

“Udah gue bilangin, jangan pulang larut. Diulang lagi. Yaka, Yaka.” Kasihan sekali Sebastian Marco. Berbicara dengan diri sendiri.

“Marco!”

Tanda umur Yamanaka panjang, sesudah disebut cowok brewok—gadis putih dengan almameter itu terlihat dalam pandangan. Beberapa meter di depan rumah pendopo, datang perempuan seorang diri sambil berlari kecil. Jari rampingnya sedikit menyingkap kain rok bagian pinggung agar memudahkan bergerak. Yamanaka masih tampil energik, mampu tersenyum lebar. Tentunya ekspresi riang Yamakana berpengaruh mengembalikan good moon Sebastian di sana. Niat Sebastian akan marah-marah, ternyata tidak perlu memarahi perempuan seceria Yaka hari ini.

“Marco!” Langkah Yamanaka bertambah dekat. Hati-hati naik tangga rumah pendopo. Menyadari ada nasi tumpeng lezat begitu menginjak teras, maka Yamanaka terkesiap bahagia.

“Gue kira udah habis.”

Tetap saja Sebastian sulit memalsukan kemakluman atas keterlambatan Yamanaka. Ia ingin bersikap tegas sesekali. Tetapi, Yamanaka tukang sewot, tidak mempan diberitahu. Nasihat masuk telingan kanan, dibuang ke telinga kiri. Begitulah Yamanaka.

“Yakali gue habisin. Why so late?” Mendadak sekali Sebastian menggigit satu mentimun. Lalu, berpaling. Memilih mengunyah pelan.

“Eh! Kok dimakan duluan sih! Tungguin, kek!” Keceriaan Yamanaka berubah serius. Selesai berdiri, pilihannya hanya duduk sebagaimana cara perempuan sopan duduk. Badan Yamanaka sedikit dicondongkan maju, telapak tangan kirinya menjadi tumpuan badan idealnya. Mengikuti cara Marco, maka Yamanaka mencicipi perkedel kentang. Ia mengunyah tanpa membuka bibir.

“Gue tuh—masih ribet sama anak-anak desa,” ucap Yamanaka masih mengunyah. Suaranya terpotong-potong pergerakan gigi yang melumat perkedel. “Hm, so good.”

“Sekalian aja lu bikin anak aja sana.” Masih diliputi perasaan kesal, Sebastian sampai ogah melipur sumpek wajahnya dengan menatap Yamanaka. Padahal kecantikan Yamanaka adalah obat tanpa resep. Membuat suasana hati positif. Kadang-kadang.

“Heh!” Yamanaka melotot. Bibirnya terbuka kecil. “Yang sopan ya ngomongnya!” Langsung mencubit punggung tangan Sebastian ketika hendak memegang pisau kue.

“Aduh!” Tangan kanan Sebastian menjauh.

“Lu jangan datar-datar sama anak-anak. Gak baik!” Sepercik nasihat Yamanaka enggan digubris Sebastian. Bersamaan kedua telapak tangan Yamanaka masuk ke dalam rambut lebat halus, menyibak rambut ke belakang agar lebih nyaman.

“Tapi ya lu itu perempuan.”

“Kenapa kalau gue perempuan?” Memajukan kepalanya. Meski penyambutan wajah Yamanaka terhadap kata-kata Sebastian disikapi raut datar. Namun, paras serius Yamanaka mengena ke lawan bicara.

“Ya, ya … lu itu perempuan.” Tidak biasanya Sebastian jarang menatap Yamanaka. Ia sendiri malas menjelaskan hakikat seorang perempuan.

“Jelasin, kenapa kalau gue perempuan? Gue lempar sosis nih!” ancam Yamanaka telah mencubit sosis besar. Tangan kanannya diangkat, siap melayangkan serangan kecil.

“Karena gak sebaiknya lu pulang malam, Yaka.” Sebastian menatap serius. Nada suaranya terdengar dalam nan sabar.

Wakatta,” ucap Yamanaka singkat. Mengangguk setuju. Setidaknya ia tidak pernah berniat melempar sosis itu ke arah Marco, kecuali akan berbelok dilempar ke dalam mulutnya sendiri.  

“Gue benar kan?”

“Sedikit bener sih ….”

“Kalau bisa, jaga batasan sama anak-anak deh.”

“Gak mau. Mereka lucu tahu!” Yamanaka melotot imut.

“Susah banget dikasih tahu!”

“Sejak kapan tumpeng ada tahu?”

“Yaka!”

“Hehehe ….” Mulut Yamanaka membentuk senyum potongan semangka. Ia tersenyum lebar. Sebastian tahu kalau Yamanaka sedang tertawa tanpa menimbulkan suara.

“Gak usah ketawa!”

“Ketawa dong. Ketawa please! Ketawa. Ya? Ya?” Ada-ada saja kelucuan Yamanaka, badannya sulit diam. Bergerak-gerak bersama niat menggoda kemurungan si cowok dengan aksen british itu.

“Ogah! Not fun.”

“Yaudah kalau gak mau ketawa.” Cukup singkat Yamanaka cemberut, ia segera mencabut tusuk gigi berpucuk bendera merah putih di atas nasi tumpeng. “Lucu banget benderanya. Buat gue ya, Marco?”

“Terserah! Apa-apa lucu,” keluh Sebastian mengalihkan emosi dengan kesabaran sebesar kentang sambil memotong bagian ujung nasi kuning. Diletakkan di piring plastik bawaan sendiri. Satu piring untuk Sebastian, satu piring untuk Yamanaka. “Lu mau lauk apa? Ayam? Telur puyuh?”

“Mau lu,” canda Yamanaka terkikik. Suasana hatinya sedang bahagia, wajar saja ia hanya ingin hal-hal baik bersama Sebastian.

“Gue serius.” Seserius sikap biasa Sebastian. Ia berpura-pura kebal rayuan. Bahkan, melotot kepada Yamanaka.

“Ah, gak asik! Lu pasif banget, Marco,” kesal Yamanaka segera berdiri.Melempar tusuk gigi sebagai simbol bendera Indonesia secara acak.

“Loh, mau ke mana?” Baru saja Sebastian memilih lauk sesuai penilaiannya saja menggundakan sendok kayu. Memilih lauk yang menurutnya mengenyangkan. Enak. Gurih. Tentu saja lauk ayam.

“Ke kamar,” ketus Yamanaka merasa disepelekan. Padahal berniat menghibur Sebastian karena sudah rela menunggu ia pulang demi makan malam bersama.

“Makan dulu! Dari pak Buto ini.”

“Pak Buto?”

“Iya, siang pas lu masih ngajar tadi. Katanya pak Buto dikasih nasi tumpeng sama Bu Wiji.”

Tatapan Yamanaka terpicing. Merasa asing dengan nama itu. “Bu Wiji? Siapa?”

“Mana gue tahu! Dengar-dengar Bu Wiji dari suku tetangga yang sekarang diperistri oleh laki-laki kota dari suku Sunda. Gak penting siapa Bu Wiji, nasi tumpengnya keburu basi!”

“Oh. Lu kira gue peduli?” Jawaban Yamanaka membisukan paksaan kata Sebastian. Tanpa tersenyum lagi, Yamanaka berlalu masuk ke dalam ruangan.

“Yaka! Yaka!” Panggilan Sebastian terlambat didengar Yamanaka. Sebastian mendesah sabar. “Dasar cewek. Aneh. Gue habisin aja nasinya. Udah laper banget!”

Entah karena Sebastian kurang peka atau memang merasa cukup meladeni Yamanaka sehingga tidak berpikir membujuknya lagi. Dibiarkan pergi. “Gue yang antar pakaian adat ke masyarakat desa, bukannya terima kasih. Malah cuek.”

Tidak ada bedanya waktu Marco dengan ada atau tidaknya Yamanaka di teras. Ia merasa terlalu bodoh menunggu Yamanaka pulang. Ujung-ujungnya ditinggal makan seorang diri, sama seperti ketika ia menghabiskan waktu duduk di teras. Akan tetapi, kondisi perut Sebastian terlalu bahagia, perlu diisi makanan enak. Sebastian mulai makan malam secara khidmat. Segala lauk ada di atas piring kecil itu dengan porsi nasi gunung.

 

* * *

 

 

Kamar Yamanaka.

 

Tok!

 Tok!

Tok!

 

“Yaka.”

Sebastian Marco. Berdiri di depan pintu kamar Yamanaka. Perutnya terlalu kenyang menelan lauk sosis, ayam, serta perkedel. Hal apa yang sulit disyukuri dari kedua tamu itu ketika diberi berkah makanan paling memanjakan lidah. Kapan lagi hari-hari di desa terpencil, mendapatkan nasi tumpeng secara cuma-cuma.

Karena masih berbaik hati dan menyimpan segudang empati terhadap Yaka, sekarang Sebastian tak mau tidur sebelum memastikan perut si gadis berdarah Jepang itu merasakan kenyang yang sama. Sebastian mengatur jeda ketukan pintu karena harus membawa tampah anyaman bambu, tempat sisa nasi tumpeng masih layak dimakan sekitar beberapa jam lagi itu ditempatkan pada kedua pegangan tangannya.

“Yaka, sudah tidur?”

Tok!

 Tok!

Tok!

“Yaka. Open the door.”

“Yaka?”

Hening menguasai sisa-sisa penasaran Sebastian Marco. Tentu ia dibuat bingung terhadap sikap Yaka yang terlalu cepat badmood. Sebastian mengingat rasa jenuh pada saat duduk-duduk di teras. Mulai dari menunggu Yamanaka pulang sampai makan malam sendirian. Dan Sebastian tidak mau menunggu kedua kalinya. Level menunggu itu tidak pernah ada di kamus pendakiannya. Jalan pikiran Sebastian adalah menjalani hidup dengan terus bergerak serta terus berpetualang.

Sure.” Perkiraan Sebastian kalau Yamanaka telah tidur pulas. Bukan suatu kesalahan kalau ia balik badan, bersiap pergi ke kamarnya.

Hanya saja, pendengaran Sebastian menangkap suara isak tangis dari dalam kamar gadis campuran darah Indonesia dan Jepang. Ia menolak berjalan menjauh. Tidak pernah seumur hidupnya mendengar suara rintihan mulut yang terdengar bergetar lagi sendu.

“Yaka. Are you cry?” tanya Sebastian mendekatkan diri sampai kulit wajahnya menempel di pintu kamar. Jelas terdengar kalau Yamanaka terisak.

“Yamanaka, gue boleh masuk?”

Suasana kamar kecil Yamanaka tanpa disesakkan benda-benda kota selain tas ransel. Kebetulan Yamanaka tengah tidur tengkurap. Kedua tangannya lurus memegang ponsel. Layar ponsel menunjukkan foto masa kecil Yamanaka sedang digendong seorang pria berpakaian tentara. Yakni, ayah kandung Yamanaka. Tanpa sebab juga alasan jelas kenapa Yamanaka bisa menangis di jam larut. Jarinya menggeser sejumlah potret foto lama. Kebersamaan Yamanaka bersama kedua orang tuanya. Bersama sosok ayah. Bersama sosok ibu. Yamanaka menyayangi keduanya. Malam melelahkan baginya, menumbuhkan benih-benih kerinduan mendalam kepada kedua pelindung sekaligus malaikat kehidupan yang telah mengorbankan banyak hal dalam membesarkan Yamanaka.

“Yaka?”

Tok!

 Tok!

Tok!

“Marco?” Akibat berlebihan menangis, membuat pendengaran Yamanaka tumpul. Ia terlambat tersentak dan sesegera mungkin mengusap bekas air mata menggunakan kain almamater. Akan tetapi, suara hidung tersumbat belum bisa dihentikan.

“Yaka? Gue boleh masuk?”

“Buka aja pintunya.” Bersamaan Yamanaka mengganti foto-foto pada ponsel dengan unduhan video adegan sedih drama Korea.

Tak ada suara lagi dari Sebastian. Lalu, pintu kamar terbuka senyap. Setengah badan Sebastian masuk, sempat mengintip situasi dalam. Jaga-jaga Yamanaka sedang memakai pakaian minim, karena Sebastian sangat menghindari hal-hal seperti itu.

“Yaka?”

“Hm?” Respons Yamanaka sekadar melirik.

“Gue bawa nasi tumpengnya ke sini,” ucap Sebastian seramah mungkin. Ia membiarkan pintu terbuka lebar sebagai isyarat sederhana kalau Sebastian tidak akan melakukan hal macam-macam di kamar sang sahabat. Apalagi hanya ada seorang perempuan saja di kamar rumah penginapan pendopo.

“Taruh aja di kasur,” ucap Yamanaka bersuara sengau. Lalu, ia angkat badan. Duduk bersila di tengah kasur sambil memangku boneka ulat hijau.

Menuruti ucapan Yamanaka, maka tampah besar diletakkan Sebastian di atas kasur, tepatnya di sebelah Yamanaka. Kemudian Sebastian duduk di sebelah tampah nasi tumpeng. Sedikit konyol kalau jarak mereka dipisahkan oleh tampah belaka. Hanya saja Sebastian masih membiarkan kedua kakinya menyentuh lantai. Tidak mau terlalu bergeser ke tengah.

Keduanya saling diam. Lirikan mata Yamanaka menunggu kapan kecanggungan situasi berakhir. Terasa sepi lagi. Di atas boneka ulat, diletakkan ponsel Yamanaka dengan rotasi miring dan masih melanjutkan tontonan video drama korea.

“Yaka.”

Yamanaka berdengkus. Terfokus layar ponsel. Membuat lirikan mata Sebastian tertarik dengan yang ditunjukkan layar ponsel tersebut.

“Lu nangis?”

Terasa perubahan warna putih wajah Yamanaka tercampur kemerahan, tanda masih sangat segar detik tangisan tadi bersemi. Yamanaka pun mengangguk.

“Maaf, gue bikin lu nangis.”

Mendengar Marco minta maaf, perut Yamanaka tergelitik sehingga ia melebarkan senyuman. Menumpuk tawa di dalam mulut dan tenggorokan. Sayang sekali, Sebastian tidak menyadari itu.

Sebastian melanjutkan perenungan. Sambil menunduk, lalu iseng ambil lauk perkedel kentang. Dikunyah pelan. “Gue orangnya emang gini. Pasif. Tapi, hati gue selembut salju.”

Terlihat Yamanaka terkikik-kikik. “Stop, Marco!” Tawa itu terlepas. Mengejutkan Sebastian seketika.

Lihat selengkapnya