Kensington, September 2018
Dengan tatapan kosongnya, Aria menyusuri jalan panjang lebar dan beraspal yang di kedua sisinya ditumbuhi pohon pinus nan menjulang dan maple yang daun-daunnya mulai tumbuh. Lelaki muda itu sengaja ingin bertemu seseorang untuk mendapatkan penjelasan, di Danau Kensington. Dalam perjalanan itu, di sampingnya terdapat sebuah istana indah, tempat berdiamnya salah satu keluarga Kerajaan Inggris. Setelah berjalan sekitar 700 meter, didapatinya pemandangan yang sangat indah. Sebuah danau berair jernih dan asri dengan banyak pohon-pohon tumbuh di sekitarnya, mampu menyejukkan mata Aria, dan seluruh para pengunjung. Duduk dia di pinggiran danau tersebut, di atas sebuah kursi kayu berukir. Tatapannya jauh ke seberang danau. Dilihatnya banyak burung merpati beterbangan. Sebagian hinggap di tepi danau yang mempunyai dermaga kecil. Sebagian lagi berada di atas jalan aspal berkelok-kelok di sekitar danau. Dia menikmati pemandangan itu, namun senyumnya kecut. Dalam hati lelaki berwajah teduh itu berkata,
Kepribadianmu sempurna, demikian pula dengan kecantikanmu, Alia. Sejak awal pertemuan kita di kabin pesawat, di Schiphol, London, kemudian berlanjut ke Birmingham dan Edinburgh, kekagumanku pada kepribadianmu tak pernah luntur. Namun, aku kecewa di saat-saat menjelang hari terpenting kita, kamu ternyata menyembunyikan rahasia besar yang harusnya aku berhak tahu jauh jauh hari. Seburuk apapun masa lalumu, aku tak perduli. Tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?
Hampir setengah jam dia menyusuri danau, yang ditunggu tak kunjung datang. Tak ada pula notifikasi di layar ponselnya. Mereka berdua berjanji bertemu di tepi danau setelah terlibat perdebatan hebat di aplikasi pesan singkat maupun via telepon langsung, namun tak berhasil memecahkan kerumitan mereka. Tatapan Aria masih terlihat kosong memandangi deretan pohon pinus di ujung utara danau di kejauhan. Matahari pun mulai menyembul dengan sinarnya yang tidak terlalu terik.
“Assalamualaikum, Mas Aria,” sapa seorang perempuan dengan pelan.
“Waalaikumsalam,” jawab Aria lemah dengan tatapan masih ke arah depan. Aria sekuat tenaga menahan emosinya yang sudah sampai ke puncak kepala.
“Maaf, saya telah membuat Mas menunggu. Tadi saya ketinggalan kereta.”
“Lupakan saja, Al.”
Aria menarik napas panjang. Ingin sekali dia marah tetapi tertahan. Beberapa kali ia beristighfar sampai akhirnya mampu mengeluarkan uneg-unegnya. Tanpa saling bertatapan, mereka berdua menghadap lurus ke deretan pinus tadi, terpisah sekitar dua hasta.