NINGRUM
Malang, April 1995
Perempuan muda itu berjalan menyusuri tepian jalan di pusat kota Malang, di dekat Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar. Sambil terisak pelan, ia menyusuri tepian jalan Raya Gempol Malang itu dengan sesuka hati. Ia tak tahu harus ke mana ia berjalan selanjutnya. Pikirannya kacau bagai benang kusut yang tak bisa dilerai, setelah mendapat penjelasan dokter tentang nasib anaknya yang berusia 6 bulan yang kini berada dalam gendongannya. Sesekali ia berhenti berjalan sambil menangis, lalu kembali berjalan tak tentu arah, bahkan beberapa kali hampir tersungkur. Bayi yang kini tertidur, ia dekap sekuat mungkin. Ia ingin sekali kembali secepatnya ke rumah. Tapi, pikirnya sama saja, tak akan membuatnya lebih bahagia. Rumah peninggalan suaminya terlampau sepi. Ia mulai berpikir untuk berangkat ke Surabaya, ke tempat asal kedua orang tuanya. Saat ia merogoh kocek untuk mengambil beberapa lembar uang, jumlahnya tak akan cukup sebagai biaya perjalanannya ke Surabaya.
Mata merah berbalut lelehan air mata tak mampu lagi ia sembunyikan. Hal itu mengundang tanya beberapa orang yang melewatinya. Rambutnya yang tumbuh sebahu, pun tampak mulai kusut.
Apa aku titipkan ke orang saja, anakku ini? Ia bergumam dalam hati.
Ia mulai kehabisan akal. Ia masih terngiang-ngiang peristiwa di ruang dokter tadi pagi. Dunianya terasa hancur setelah mendengar penjelasan dokter, hal terburuk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Hatinya remuk apalagi seorang diri mendengar informasi dari dokter.
Bayi yang ia gendong kini masih tertidur pulas, sebagai efek dari obat sedatif yang membuat tertidur panjang, agar memudahkan dokter dalam pemeriksaan. Sejak pukul delapan pagi, ia sudah mengantri di depan Poliklinik THT. Ia berangkat sendirian, tanpa orang dewasa lain yang menemani.
Saat nama sang bayi dipanggil pukul sembilan pagi, perempuan berparas Jawa, berkulit kuning langsat dengan bentuk wajah oval dan tirus itu, segera masuk namun belum langsung bertemu dokter. Bayinya terlebih dahulu diminumkan obat sedatif berbentuk cairan yang mengandung kloralhidrat, agar membuat bayi tertidur dan dapat dilakukan pemeriksaan organ telinga secara lengkap, termasuk pemeriksaan timpanometri dan BERA. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, pukul sebelas ia kembali menghadap dokter. Dokter menjelaskan dengan sangat detil tentang penyakit apa yang menghinggapi si kecil.
Ia masih tak percaya apa yang terjadi pada anak semata wayangnya itu. Sambil menangis yang semakin keras, ia memilih duduk di sebuah bangku taman.
“Ningrum?” tanya seorang lelaki muda tiba-tiba, yang menyapanya dengan antusias. Ia terkesiap.
Lelaki berperawakan sedang dengan tubuh yang cukup atletis itu juga tampak sangat terperanjat saat melihat perempuan itu, sekitar tiga puluh meter di depannya. Lelaki itu mengenakan pakaian hitam dan putih, disertai dasi hitam memanjang. Ningrum tak kalah terperanjat.
“Mas Bimo?” ucapnya pelan. Dadanya mulai bergemuruh melihat sosok itu lelaki yang sangat ia kenal itu.
Kacamata Bimo bertengger kuat di atas pangkal hidungnya yang mancung.
Dengan rasa berdebar-debar, Ningrum enggan melanjutkan pertemuan itu. Ia lantas berbalik arah dan merunduk, lalu menutup wajah dan membekap kuat bayi yang ia gendong, sambil ingin melalui lelaki bertubuh gagah itu secepatnya. Ia mulai bangkit dan berjalan dengan lebih cepat.
“Ningrum! Tunggu!” teriak lelaki itu. “Ini aku, Bimo! Jangan pergi dulu.”
Bimo mengejar Ningrum dengan penuh semangat, sekaligus bertanya-tanya mengapa Ningrum berada di tempat ini, di tengah hari yang menyengat. Ningrum berhenti, dan bersedia menerima kehadiran lelaki itu persis di hadapannya.
“Kamu kenapa, Ning? Anakmu kasihan kepanasan. Yuk, kita berteduh dulu.” Ningrum menggeleng, dan kembali tak menyetujui ajakan Bimo.
“Kasihan anakmu, Ning,” tegas Bimo kembali.
Ningrum perlahan luluh dan pelan-pelan menggerakkan tubuhnya ke sebuah tempat duduk di sebauh taman.
Bimo tersenyum bahagia. Ia ingin sekali memegang pundak kanan Ningrum dan mendudukkannya, namun ia ragu untuk melakukannnya.
“Anakmu cantik sekali, Ning. Siapa namanya?”
“Indah, Mas. Indah Wulan.”
“Nama yang bagus sekali. Tapi, mukamu kusut sekali, Ningrum. Kamu udah makan? Kita makan siang, yuk. Lihat tuh, wajahmu pucat. Anakmu juga mulai rewel. Kita ke warung pecel yang dulu kita sering kunjungi. Mau?”
Ningrum masih diam. Ia kembali menggelang.
“Niiing,” sapa Bimo pelan. “Aku tak bermaksud mengulang kisah kita di Pecel Mbok Jum yang menurutku merupakan kenangan tak pernah terlupakan. Tapi, aku semata-mata ingin membantumu. Apalagi kita sudah lama sekali tidak bertemu.”
Ningrum mengangguk pelan. Dengan menaiki motor, mereka menuju tempat yang disebutkan oleh Bimo.
Pecel Mbok Jum adalah tempat makanan favorit mereka di Kota Malang, selain Bakso Presiden yang masyhur itu. Sekitar tujuh tahun yang lalu, saat mereka masih berada di bangku SMA, mereka berjalan kaki selepas pulang sekolah dari SMA Negeri 3 Malang ke warung sederhana itu. Ningrum berhasil masuk ke Program Studi Pendidikan Sosiologi IKIP Malang, sedangkan Bimo berhasil masuk ke Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh November di Surabaya. Sebagian besar teman-teman mengira mereka berpacaran dan akan menikah selepas lulus SMA, namun ternyata Bimo dan Ningrum setelah sibuk kuliah merasakan hubungan mereka semakin merenggang.
Ningrum masih banyak berdiam diri saat tiba di Warung Pecel. Ia merasakan sedikit kebahagiaan berada di sisi Bimo, namun masih tak kuat menahan perih. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka melanjutkan pembicaraan. Terasa asing bagi Ningrum berduaan kembali dengan Bimo, namun hanya hal ini yang dapat ia lakukan.
“Ning,” panggil Bimo pelan. Ningrum masih melamun, memandang dengan tatapan kosong di kejauhan.
“Ning,” panggil Bimo lagi. Kini Ningrum mulai memberikan respons.
“Ehh, iya, Mas.” Ningrum menjawab dengan lemah. Ia menyeka air mata yang cukup deras mengalir.
“Udah. Berhentilah mengangis, ya. Kasihan anakmu.”