DESIBEL

Asroruddin Zoechni
Chapter #3

WELCOME TO ENGLAND

London, Agustus 2017


Perempuan muda itu senang bukan kepalang. Mimpinya untuk melanglang buana ke benua biru dan britania raya mulai menjadi kenyataan, meski baru mencicipi sedikit suasana Netherland. Tak lupa dia membeli merchandise khas negeri van orange di bandara Schiphol, miniatur kincir angin. Dia berniat sebelum boarding untuk kembali ke Amsterdam, lalu menjejaki beberapa kota termasyhur. Volendam, Zandaam, Utrecht, Maastricht, Leiden, dan beberapa kota lainnya masuk dalam a must visit place sesuai rekomendasi teman-temannya yang lebih dulu menyentuh. Satu jam lebih, tak terasa ia hampir menyentuh Heathrow. Melalui jendela pesawat, sejarak 3000 kaki, ia bisa melihat keindahan kota London yang sebelumnya hanya berupa sebuah dongeng saat orang tuanya membelikannya buku tentang Inggris yang terkenal dengan bis merah bertingkat nomor 8, dan Big Ben. Kini di pandangan matanya tampak kecil aliran Sungai Thames, London Bridge, Tower Bridge, dan London Eye, sebuah bianglala raksasa. Di kejauhan di atas daratan juga tampak Big Ben dan Parliament House. Keindahan kota London mampu membuatnya gembira pada tingkat tertinggi. Namun, senyum khasnya belum sepenuhnya mampu mengobati kegundahannya. Dia merasa kehilangan keramahan sosok Aria. Sebuah pertemuan yang terlalu cepat menurutnya. Dia berharap akan bertemu lagi di Inggris. Tapi pikirnya negara itu terlalu luas. Bisa jadi mereka akan terpisah dan tak akan bertemu lagi. Yang terpenting, pesan singkat untuk Aria sudah ia kirimkan, sebagai pembuka jejak silaturahim mereka nantinya.

Menjejaki bumi Britania diawali dengan tiba di Terminal 3 Kedatangan Luar Negeri di Bandara Heathrow. Bergegas ia mengikuti antrean ke pos imigrasi. Cemas cukup kuat ia rasakan. Meski dari kejauan tampak wajah ramah para petugas imigrasi yang berkulit putih, dan ada juga yang berwajah Arab, tetap tak bisa membuatnya tenang. Pemeriksaan imigrasi merupakan titik kritis dalam hubungan internasional antar negara. Ia khawatir bahkan cenderung panik, saat ditanya dokumen atau pertanyaan lain yang tidak bisa ia jawab dengan baik. Tapi untungnya dapat ia lewati dengan baik.

Bagasi besar warna biru tua berukuran 24 inch diletakkannya di depan pintu masuk Multi-Faith Prayer Room Terminal 4 Bandara Heathrow. Letaknya tak jauh dari Ladies Toilet di Level 2. Menurut petugas, tak ada yang akan mengganggu koper tersebut atau mencurinya. Tepat pukul tiga lewat sepuluh menit Jumat sore, wajah Alia sudah diguyur air wudhu. Salat Zuhur dengan salat jama’ Ashar pun telah ia tunaikan. Di dalam ruangan yang cukup luas itu tampak olehnya papan pengumuman JUMAAT PRAYER SCHEDULE, lengkap dengan nama imam dan khatib. Alia sumringah melihat betapa keperluan muslim di bandara sangat diperhatikan. Beberapa buku teks yang terdiri dari Al Quran dan buku-buku Islam berbahasa Inggris tersusun rapi di sebuah lemari kaca.

Sejenak tersandar dia di dinding ruang salat perempuan itu, setelah berdoa yang cukup lama. Lelah fisik dan mental. Dia tidak ingat bahwa Yusuf sedang menunggunya di terminal kedatangan. Matanya lalu terpejam. Di tangan kanannya tergenggam buku zikir Al Matsurat berukuran kecil. Sesekali kepalanya terhuyung ke depan, antara lelap sejenak kemudian terjaga. Lapar dan dahaga juga tak mau kompromi. Diambilnya sebutir roti coklat dan sebotol air minum untuk mengenyahkannya. Berjarak dua hasta dilihatnya seorang perempuan sedang menunaikan salat. Kemudian dia tertidur lagi dengan dinding sebagai sandaran.

           “Assalamualaikum, are you okay, sister?” Alia terkesiap.

Mata berusaha dibukanya sekuat tenaga. Seorang jamaah yang dilihatnya tadi memanggil pelan. Berwajah Timur Tengah, berseragam AVSEC, lengkap dengan hijabnya yang menutupi leher dan bagian atas dada.

 “Waalaikumsalam. Hi, sister. Sorry, I slept.” Alia mengusap muka.

           “That’s fine. You look tired. You need some food or drink?”

           “No, sister. I’ve had it already. Thanks.” senyumnya sambil menunjukkan botol plastik kosong dan kertas pembungkus makanan yang tergeletak di samping, dan belum sempat dibuang.

           “Where are you from? Malaysia?”

           “No, I am from Indonesia. My name is Alia.”

           “Great. My name is Maryam, originate from Syria.” Mereka berhadapan. Alia kembali duduk tegak dari rebahannya.

           “Wow, interesting. Do you work here?”

           “Yes. I am the officer of avian security at this terminal. I come from Damascus, but already as UK citizen since 20 years ago.”

           Alia antusias dan banyak bertanya. Mereka terlibat pembicaraan ringan tetapi serius. Alia pun menceritakan tujuannya ke Inggris dan juga hal yang baru dialaminya kepada Maryam. Perempuan berkulit terang itu meminta maaf dan menyesalkan atas kejadian itu.

           “You are lucky, Alia. Last month, a moslem girl from US was held for 13 hours for interrogation, as the impact of London attacks before, and some cities in UK,”jelasnya.

           “How come?” tanyanya balik.

           Maryam lalu terdiam, menunjukkan keheranannya sambil menengadahkan kedua telapak tangannya dan alis yang terangkat.

           “By the way, will anyone pick you up to London or Liverpool?”

           “Asthagfirullahal adziiim…” Alia tersentak, lalu menepuk jidatnya.

           “My friends are waiting outside, Maryam!” tegasnya dengan mata terbelalak.

Maryam tertawa.

           “Just be careful. Keep calm and don’t be in a rush.”

           “Many thanks, sister. Nice to meet you.”

           “If you need any assistance, please contact me. Welcome to England, Alia.”

           “Sure! Many thanks,” senyumnya sambil mengemasi barang-barangnya.

Setelah melepas kepenatannya itu, Alia segera keluar bandara. Sebelum menuju pintu keluar bandara yang ramai dengan para penjemput, ia sempatkan membeli makanan berat khas Libanon sesuai yang diinformasikan oleh Mr Omar.

           “Mbak Alia, kah?” sergah seorang lelaki muda di depan pintu kedatangan. Ciri-ciri orang yang dinantikannya persis sesuai pesan singkat di ponsel.

           “Mas Yusuf, ya?” balasnya dengan senyum sempurna. Hilang segala keletihannya walau masih tampak dari kantong matanya yang terlihat bengkak.

           “Iya, Mbak. Saya Ahmad Yusuf, Ketua PPI London.” Lelaki itu memperkenalkan diri dengan kedua telapak tangan berhimpit di depan dadanya. Alia membalas dengan hal serupa.

           “Saya Alia, Mas. Alianti Putri. Alhamdulillah kita akhirnya ketemu juga.”

           “Alhamdulillah. Untungnya checking di imigrasi lancar ya, Mbak.”

           “Hhmm, iya sih. Tapi deg-degan banget saya, Mas. Oiya, kok sendirian? Bukannya temen-temen PPI lainnya juga mau ikut?”

           “Iya, mohon maaf ya, Mbak. Mereka memang tadinya mau ikutan. Tapi karena masih banyak yang ada kelas di kampus, jadinya mereka nggak bisa.”

           “O gitu. Oiya, Mas sebelum kita berangkat, saya mau ngabarin keluarga sama teman-teman bentar ya. Mau balas chat dulu.”

Lihat selengkapnya