DESIBEL
Enam bulan berlalu setelah menyambangi rumah Bimo untuk terakhir kali, Ningrum hampir setiap malam mengangis. Hatinya semakin perih seperti luka teriris yang tak kunjung sembuh. Ia merasa berat sekali menanggung rindu terhadap Indah yang kini memasuki usia satu tahun lebih.
“Baik, Ning,” jawab Bimo lemah waktu itu. “Aku akan menjaga anakmu. Jangan sampai ada yang tahu siapa dia. Cukup kita berdua saja.”
Di ujung telepon, Ningrum menangis tersedu-sedu, sambil menyalahkan dirinya sebagai orang tua yang sampai hati menitipkan anak kepada orang lain. Tapi, Ningrum percaya sepenuhnya, Bimo bisa menjaga janjinya. Hampir setiap hari, Ningrum melakukan panggilan telepon kepada Bimo, hanya untuk mendengar suara celotehan Indah. Ningrum tahu, Bimo pasti menerima dengan sembunyi-sembunyi, dan menyelinap di ruang-ruang rumahnya yang aman dari kecurigaan Dyah.
“Anakmu sehat, Ning. Tapi, Indah belum bisa berjalan, baru bisa duduk. Dia juga belum bisa bicara jelas seperti anak seusianya. Bahkan untuk bubbling saja belum terlalu baik, Ning. Sabar, ya.”
“Baik, Mas,” balas Ningrum pelan dan lirih. Ia belum bisa mendengar panggilan bayi menyerupai kata Papa dan Mama sekalipun.
“Apa kata dokter, Mas? Indah bisa disembuhkan?” tanyanya kembali lirih.
“Sejauh ini tidak bisa disembuhkan, Ning. Saraf telinganya rusak berat karena infeksi virus, kemungkinan saat hamil. Minggu depan mau dilakukan BERA ulang.”
Ningrum kembali menangis. Tak bisa terungkap dengan kata-kata, sudah berada banyak air matanya mengalir.
“Kamu nggak rindu Indah, Ning? Kalau kamu mau, kita ketemu di Surabaya. Ketemu Dyah juga nggak apa-apa. Toh, dia nggak tahu sepenuhnya cerita ini. Asal jangan menimbulkan kecurigaannya saat kamu ketemu Indah.”
“Entahlah, Mas. Rasanya berat sekali menghadapi kenyataan ini. Aku mungkin telah salah langkah, tapi aku nggak punya pilihan lain, selain dengan meminta bantuan sekaligus merepotkan kamu dan keluargamu.”
Bimo menjawab dengan begitu lugas. Bimo tampaknya mulai menikmati memiliki anak dan memberikan pengasuhan terbaik. Ia dan Dyah menikah sejah dua tahun yang lalu, namun belum juga dikarunia buah hati.
“Datang saja saat kamu siap, Ning.”
“Iya, Mas.” Tangis Ningrum kembali pecah.
Masih di dalam wartel yang sempit dan pengap, Ningrum memberanikan diri menelepon kedua orang tuanya di Surabaya. Ia pun bercerita sekelumit tentang Indah dan menyatakan ingin tinggal di Surabaya.
“Benar-benar gila, kamu, Ning!” ucap Bapak penuh emosi. “Udah, cepet sini! Tinggalkan kota Malang yang sudah membuat kamu gila itu. Kita kumpul di sini!”
Ningrum mengangguk pelan dan masih terisak, mengiakan tawaran Bapak.
***
“Kamu memang gila, Ning. Kalau kamu nggak mampu merawat Indah, biar Bapak dan Ibu yang rawat dengan sebisanya.” Sudah hampir satu jam Bapak terus mengomeli Ningrum. Tak sampai sepuluh menit tiba di rumah Bapak di daerah Sidoarjo, hunjaman kata-kata Bapak tak henti-henti menusuk pikiran Ningrum.
Ningrum hanya terdiam, melamun dan mematung mendengar kemarahan Bapak.
“Aku malu, Pak. Seharusnya aku bawa saja Indah ke Inggris sana, menemui Ayahnya. Tapi Bapak kan tahu, aku nggak tahu rimbanya.”
“Ini karena kamu keras kepala, Ning. Bapak sudah bilang, tinggalkan lelaki itu. Dia masyarakat Eropa, tidak sesuai dan tidak bisa menyatu dengan budaya kita, Ning. Cinta sudah membutakanmu. Sekarang kamu merasakan akibatnya. Tambah lagi, kamu serahkan Indah ke Bimo yang sudah punya keluarga sendiri. Tega kamu, Ning.”
“Tapi, Indah memang berkebutuhan khusus, Pak. Ia perlu perawatan sejak dini, dan pengawasan sampai dia mandiri nanti. Aku nggak mampu, Pak. Aku menyerah.”
“Kamu pikir Bapak dan Ibumu ini akan membiarkan Indah? Yang penting kita nanti berusaha yang terbaik untuk menyelamatkan masa depan Indah.”
Ningrum secepat kilat merengkuh tubuh Bapak dan Ibu. Ia merunduk dan melengkungkan kedua lengannya, bergerak pelan dari pinggang hingga ke kaki. Ningrum tak mengira Bapak mungkin telah memaafkan perilakunya dulu.