“Mbak Alia, ada tamu yang mencari di lobi, Mbak,” jelas resepsionis Wisma Indonesia London, Sabtu siang, sehari setelah Alia dijemput oleh Yusuf dan menginap di wisma. Meski terlambat, Alia masih menyelesaikan sarapannya di ruang makan wisma. Nasi gudeg menjadi suguhan yang menggugah seleranya.
Siapa? Mas Yusuf? Atau teman-teman pengurus PPI?
Setelah merapikan kerudungnya, Alia bergegas menyanggupi pesan dari resepsionis itu, menuju lobi. Setelah melihat sosok seorang lelaki di lobi wisma, langkahnya tiba-tiba terhenti tanpa sadar. Alia terperanjat setengah mati. Di hadapannya berdiri tegak seseorang yang pernah dikenalnya. Jantungnya mulai berdebar-debar dengan kuat. Setelah melihat sosok di ruang tamu dari common room, dia menghentikan langkah. Alia kenal betul sosok yang ada di hadapannya meski terlihat dari arah belakang dan samping secara bergantian. Tetapi ia mencoba memastikan kembali lelaki yang tampak gelisah itu. Alia merapikan jilbabnya, sambil pelan-pelan mengintip, dan merunduk, dari balik pembatas ruangan berupa ukiran kayu jati. Tubuh anak muda itu tak banyak berubah. Hanya sedikti lebih kurus dari perjumpaan terakhir mereka. Gaya pakaian pun kurang lebih sama, casual dan sporty.
Ha? Mas Haidar? Dari Groningen? Kok tahu aku ada di sini?
Alia kembali memicingkan mata. Memori di Jogja terlalu panjang terungkap, sampai lelaki itu masih mondar-mandir di sekitar ruang lobi wisma, yang menunggu kepastian keberadaan Alia. Petugas wisma menyapa Alia dari arah belakang.
“Mbak.” Alia terperanjat, membuyarkan lamunan. Mereka lalu saling berbisik.
“Itu tamunya kan, Mbak? Dari tadi, loh nungguin. Mondar-mondar sambil melipat tangan ke belakang, duduk, lalu berdiri, dan sibuk melihat-lihat hapenya. Sepertinya gelisah banget. Mungkin ada urusan penting.”
“Eh, iya, Mas. Makasih. Cuman saya masih ragu, apa betul dia orang yang saya duga.” Alia berpura-pura. “Karena belum ada yang tahu saya nginap di sini.”
“Namanya, Haidar, kalau nggak salah, Mbak.”
“Oh, bener berarti, Mas.” Jantung Alia masih berdegup kencang, bahkan kian bertambah. “Kok, dia tahu saya nginep di sini, ya, Mas?”
Yang ditanya, mengangkat kedua bahunya. Tak mengetahui duduk masalah Alia. “OK, Mas. Makasih, ya. Saya temui dulu,” bisik Alia lagi.
Alia beranjak ke ruang tamu, dengan perasaan campur aduk. Keringat dingin, meski suhu di London, 21 derajat Celcius, di akhir musim panas. Lama tak saling berkomunikasi, tiba-tiba lelaki itu hadir. Alia berdehem.
“Assalamualaikum. Mas Haidar?”
Suara lembut Alia, namun cenderung datar membuat Haidar berpaling ke arah Alia. Rasa bahagia Haidar menyeruak. Seperti mimpi, bertemu pujaan hatinya yang lama tak berjumpa. Alia menunduk, terpaku.
“Alia!” Haidar langsung terperangah.
Matanya terbelalak. Ia segera merapat, berdiri satu lengan di hadapan Alia. Tersenyum. Terkesima dengan kecantikan Alia yang tak berubah sejak setahun lalu. Cuma kedua pipinya saja, yang memerah seperti reaksi alergi. Tapi segera Haidar menundukkan pandangannya. Alia juga menunduk, melihat ke arah slipper di kedua kakinya.
“Duduk, Mas.” Alia mempersilahkan dengan tangan kanannya menunjuk ke sofa. Bernada datar dan lemah. Haidar pun patuh.
Di benak Alia masih bergelayut tentang tujuan Haidar menemuinya.
Bukankah Groningen jauh?
“Apa kabarmu, Al?” tanya Haidar antusias.
“Alhamdulillah, baik, Mas.”
“Alia, kenapa kamu nggak ngasi tahu aku semua ini?” tanya Haidar pelan, lembut, namun tegas. “Kamu marah, atau kecewa atas janjiku dulu?”
Alia tak segera menjawab. Jantungnya masih berdebar kencang. Kenangan di Kaliurang sangat membahagiakan, namun situasi sekarang membuatnya bingung.
“Hhmmm...” Alia bergumam.
Perasaan kecewa bahkan rasa ingin marah coba ditahannya. Mulutnya mingkem. Lalu mengalihkan pembicaraan.
“Alia, kok diam aja?”
“Hhmmm… gimana kabar Marvel? Aku kangen banget?” tanya Alia datar. “Boleh bahas Marvel aja, nggak?”
“Alia! Aku nanya seriuuus.” Haidar gelisah, Alia tak kunjung menjawab. Lalu keduanya terdiam beberapa detik.
Haidar menarik napas dalam, kemudian melepaskannya. Rasa di dalam dada Alia cukup berkecamuk. Wajahnya kaku, dan terpaku memandang ke arah luar wisma, melalui pintu, yang mulai mendung, dan windy. Semilir angin pelan-pelan mulai memasuki ruang tamu. Alia merapatkan jaket rajutan berwarna abu-abu yang dia pakai.
“OK. Kalau itu yang kamu inginkan, Alia. Semoga bisa membuatmu senang mendengarnya. Marvel sejak kamu tinggalkan perkembangannya sangat pesat. Ditangani langsung oleh Bu Wiwik. Dan aku jadi tahu banyak prinsip-prinsip sistem pendengaran dan speech pada anak tunarungu. Dia menanyakan kamu terus Alia, tetapi maaf belum sempat aku sampaikan.”
Marvel adalah sepupu Haidar, anak dari bibinya sebagai anak bungsu. Ia tinggal di Surabaya, dan rutin melakukan terapi bernama Auditory-Verbal Therapy alias AVT. Marvel yang berusia 5 tahun juga mendapatkan terapi penunjang seperti terapi untuk mengatasi kesulitan membaca akibat gangguan intelektual, dari Alia, yang direkrut oleh Bu Wiwik sekitar 3 tahun belakangan.
“Alhamdulillah, Marvel. Mbak Alia kangeen banget sama kamu.” Tiba-tiba Alia merespons. “Terus gimana kosakatanya, Mas? Udah bisa lancar bicaranya?”
“Sangat banyak sekarang. Dan enam bulan lalu, telinga kanannya dipasang implan koklea, untuk menunjang kecepatan daya dengar dan berbicaranya.”
Alia lalu menanggapi dengan semangat, dan sesekali menatap Haidar.
“Implan? Alhamdulillah, Marvel!”
“Sekarang sudah sering berceloteh, bahkan sempat direkam ibunya dengan video dari hape. Bicaranya memang belum lancar, tetapi kosakata, artikulasi, dan usia dengarnya hampir mendekati anak seusianya. Kecepatan mendengarnya yang luar biasa. Dia bahkan bisa mendengar dan merespon panggilan ibunya dari balik pintu kamar. Tanpa jeda!”
“Masya Allah, Marveeel! Alhamdulillah, ya Allah.” Alia kembali antusias. Menutup mulut dengan kedua telapak tangan.