Alia bergumam dalam hati, sambil menatap ke depan, mengikuti langkah tiga orang di depannya.
“Aku tahu kamu perlu waktu untuk menjawab semua ini. Tapi, sekali lagi mohon beri aku kesempatan.”
“OK, Mas Haidar. Kita bahas nanti aja, ya,” ujar Alia datar.
“Alia!” Haidar memanggil cukup keras. “Aku mohon, Al. Beri jawaban secepatnya. Supaya aku bisa melanjutkan perjalanan ini segera, dan menebus rasa bersalahku.”
“Mas, kamu tahu, kan. Yang namanya cinta itu bukan hanya soal fisik yang sempurna, melainkan hati dan penerimaan sepenuhnya atas segala kelebihan dan kekurangan, termasuk dari keluargamu. Coba tanya hatimu, Mas. Apakah kamu sudah melakukan itu?” Tiba-tiba Alia menjawab, dengan tegas.
Alia lalu tak bersuara lagi, dan tetap berjalan melaju. Raut muka Alia mulai kesal, tetapi segera berubah ketika akhirnya mereka tiba di depan restoran.
Restoran milik muslim keturunan China asal Malaysia itu, ramai sekali dipadati pengunjung. Terutama di akhir pekan seperti ini. Tak hanya muslim yang bertandang, tetapi juga warga asli Inggris yang berkulit putih. Mereka adalah peminat masakan Asia yang khas dengan bumbu dan rempah-rempah harum yang mengusik saraf penciuman. Mereka berlima masuk lalu memesan makanan dan minuman yang masuk daftar rekomendasi, a must tasted foods. Interior restoran cukup sederhana. Dindingnya berwarna dominan hijau, dan sebagian kuning. Meja-meja berbentuk segiempat dan persegipanjang. Di plafon tertanam beberapa kipas angin. Gerak pramusaji juga cukup cepat.
Setelah memesan, Alia keluar sebentar dari restoran, lalu disusul Yusuf. Alia tertegun melihat sebuah logo kekuningan di pintu restoran. Bergambar dua lingkaran. Lingkaran luar tertulis Halal Monitoring Committee (HMC), dan lingkaran dalam, bertuliskan huruf Arab, HALAL. Hati nurani Alia merasa sangat tenang setelah melihat logo itu, karena akan memakan makanan halal yang sudah tersertifikasi.
Yusuf ikut menyaksikan Alia yang lama terpaku di depan pintu.
“HMC adalah lembaga sertifikasi halal paling kredibel di UK, dan bahkan Eropa, Mbak Alia.” Yusuf menyapa dari arah samping kanan, memutus lamunan Alia.
“Eh, Mas Yusuf!” Alia terperanjat. “Oh ya? Waahh, keren ya, UK.”
“Markas utamanya berada di Leicester City, sekitar 2 -3 jam dari London, daerah West Midlands. Sekarang direkturnya warga asal Irak.”
“Mas Yusuf pernah ke sana?”
“Alhamdulillah sudah, tapi cuma sebentar bertemu para pengurusnya di markas mereka. Saya juga mandapat informasi dari teman-teman PPI Leicester. Skema dan sistem sertifikasi halalnya menyerupai Malaysia dan Indonesia. Bahkan konon, lebih baik. Petugas mereka tidak banyak, tetapi mereka rutin melakukan pengecekan tempat-tempat yang sudah mengajukan sertifikasi itu.”
“Waaah. Nggak nyangka, ya!” Kedua mata Alia terbelalak. “Jadinya tenang sekali ya Mas kalau makan atau minum di tempat yang ada logo ini.”
“Betul sekali, Mbak Alia. Saya jadi ingat pesan Ayah saya. Jangan sekali-sekali memasukkan barang haram ke dalam perut kita, walaupun dalam keadaan terpaksa.”
“Iya, Mas. Ayah dan Ibu saya juga pesan itu. Makanya mereka sempat bertanya-tanya apakah bisa mudah mendapatkan makanan halal di UK.”
“Mudah banget, Mbak. Asal kita mau istiqomah dan berusaha mendapatkannya.”
Alia takjub. Dia menilai Yusuf sudah sangat fasih mengenai seluk beluk makanan halal di Inggris.
“Memangnya ada yang cuek-cuek saja, Mas?”
“Banyak banget, Mbak. Terutama teman-teman muslim yang apatis dengan status halal-haram. Apa saja dihantam, masuk ke perut. Kata mereka asal bukan babi, atau alkohol. Dan kita tinggal di negara minoritas muslim. Padahal kan, kita mesti detil tentang hal ini. Allah memberikan kemudahan dengan cukup banyaknya imigran muslim yang menyediakan makanan halal. There is a will there is a way.”
“Setuju banget, Mas.”
“Dan, kalau kita ingin melihat komitmen seorang muslim tentang halal-haram di negara minoritas, sekaligus melihat komitmen keislaman seseorang, ajaklah atau ikuti dia selama perjalanan sehari saja. Apa saja yang dia makan, halal atau haram? Dan bagaimana usahanya untuk bisa shalat selama perjalanan,” tambah Yusuf.
Alia kembali takjub dengan penjelasan Yusuf, yang lebih sering menunduk saat berbicara, berada tak jauh darinya. Alia berterima kasih atas penjelasan Yusuf. Sangat menambah wawasannya, dan kembali mengingatkannya tentang pentingnya komitmen. Alia berfikir, kota Liverpool yang akan dia diami tak lama lagi, memiliki karakteristik serupa. Tetapi, dengan jumlah umat muslim yang lebih sedikit dari London.
Yusuf kemudian bersuara pelan.
“Dan, perlu Mbak Alia tahu. Danar dan Tania dulu saat pertama kali datang ke London termasuk dalam kelompok yang saya jelaskan tadi. Mungkin saja mereka nggak ambil pusing, tapi bisa juga karena mereka kurang paham agama.”
“Ohhh, jadi gimana, Mas?”
“Alhamdulillah, sejauh ini mereka lebih care terhadap halal dan haram, dan komitmen keislaman mulai terlihat. Apalagi setelah banyak bergaul dengan teman-teman PPI, pikiran mereka lebih terbuka. Nggak perlu takut memperlihatkan identitas kita sebagai muslim, apalagi kalau perilaku kita sangat baik. Masyarakat di sini sangat respect, dan toleran. Dan kita nggak perlu berkoar-koar juga menyatakan kita ini muslim yang taat. Cukup dengan memperlihatkan akhlak yang baik.”
“Waaah, keren, Mas!”
Tak sampai sepuluh menit setelah pemesanan, makanan sudah terhidang, dan siap disantap. Alia dan Yusuf kembali masuk. Mereka berlima duduk saling berhadapan. Haidar dan Yusuf bersisian, dan berhadapan dengan tiga perempuan lainnya.
Aroma roasted duck begitu kentara, mampu dengan cepat menembus hidung. Begitu juga makanan lain yang terhampar, menggoda selera Alia dan teman-temannya. Piring-piring berisi dim sum, yang terdiri dari sesame prawn toast, fried prawn croquette, spring roll, pandan chicken, seharga £9.60. Pandan chicken berupa dada ayam yang dilapisi adonan yang dibalut daun wangi dan digoreng. Menu lain yang terhidang adalah Sze Chuan Hot & Sour Soup seharga £4.00. Di piring lain terdapat Aromatic Crispy Duck, yang disajikan dengan chinese pancakes, hoisin sauce, spring onion dan mentimun, serta Honey-Glazed BBQ Chicken, Egg Fried Rice, dan Seafood Crispy Noodle. Masing-masing lalu mengambil makanan, yang segera meningkatkan nafsu makan mereka.
“Gila ini, menunya! Enaknya parah!” ucap Tania, berapi-api.
“Lezat, dan halal!” tambah Haidar.
“Rate-nya saya kasih 4,9 bintang!” ujar Alia. “Fantastic!”
Semua tertawa gelak.
“Mas Yusuf, kok bisa sih ketemu tempat makan seperti ini?” tanya Haidar.
“Tentu saja bisa, Mas. Pertama, cari toko yang punya logo HMC itu. Terus kalau memang nggak ada, kita bisa langsung tanya ke petugas restoran, apakah halal makanan di tempat itu. Mendengar kata halal, sudah biasa di telinga orang Inggris. Termasuk saat kita nanya praying room. Mereka dengan segera bisa menunjukkan tempat.”
“Keren, UK! Kenapa dulu saya nggak milih UK ya buat sekolah?” ungkap Haidar, sambil tertawa lepas.
Alia tersipu. Merasa Haidar mulai memancing-mancing hubungan mereka. Alia pun mulai resah kapan dia bisa membuka pembicaraan dengan Haidar. Kepalanya pun mulai terasa pusing, dan memegang kedua telinganya dan kepala bagian belakang.
“Mbak Alia, kenapa?” tanya Danar tiba-tiba.