Hueekkk!
Alia ingin muntah lagi, tapi tak keluar sesuatupun dari mulutnya. Ia refleks menuju wastafel yang ada di dalam kamar. Tapi urung dilakukannya, karena sesaat setelah membuka mata, sekeliling Alia terasa berputar, disertai telinga kiri yang mulai berdenging kecil. Alia tak jadi berdiri, dan kembali menutup matanya. Masih dengan duduk bersila menghadap pintu. Terasa seperti mabuk kendaraan, dengan sekeliling seperti terombang-ambing, berombak, dan membuat dadanya sesak.
Ya Allah!
Alia berbalik arah. Sambil terpejam dia merangkak pelan menuju dipan. Kepalanya terasa sakit. Dengan meraba-raba bagian dipan, ia akhirnya bisa kembali berbaring telentang. Masih tak berani membuka mata.
Setelah berbaring sekitar lima belas menit, Alia menarik napas dalam-dalam, lalu coba membuka mata pelan-pelan sambil menghembuskan napas melalui mulut dan hidung. Sekeliling Alia mulai statis, tak bergoyang seperti sebelumnya. Pelan-pelan ia merubah posisi, mengangkat tubuh menjadi posisi duduk.
Aman! Alhamdulillah!
Alia mencoba berdiri, sambil menutup mata. Lalu perlahan membuka mata dan menutupnya secara bergantian, dan beranjak dari dipan menuju wastafel untuk mengambil air wudhu. Belum tiba di wastafel, sekeliling Alia kembali terasa berputar.
Astaghfirullah, ya Allah!
Tertatih-tatih Alia mencapai wastafel dengan memaksa dirinya, dan akhirnya bisa membasuh wajah, kedua lengan dan kedua telinganya. Mencoba menunaikan shalat Tahajjud sambil duduk dan menutup sesuai janjinya di awal malam, namun di atas kasur.
Perut Alia kembali terasa mual dan kepalanya terasa migren. Ia pun meminum obat-obat penghilang sakit kepala, mual, dan vertigonya, yang ada di dalam tas. Dalam sepuluh menit, Alia merasa keluhannya berkurang.
Setelah salat, Alia kembali berbaring sambil menunggu waktu Subuh dalam 30 menit ke depan. Di sela waktu itu, mulutnya komat-kamit. Melantunkan pelan zikir-zikir pagi, sambil berdoa agar penyakitnya segera diangkat. Setelah menunaikan salat Subuh, Alia kembali terlelap. Berharap setelah bangun pada pagi hari nanti, keluhannya menghilang.
***
“Mas Haidar, aku mohon maaf nggak bisa melanjutkan jalan-jalan di London lagi.” Alia mengirim pesan WA.
“Kenapa Al? Tapi kamu sehat, kan?” jawab Haidar.
Whatsapp Call berdering di gawai Alia, dari Haidar. Tapi tak di angkatnya.
“WA text saja, Mas. Saya sehat-sehat aja, Mas. Tapi vertigo saya kambuh. Maaf ya. Tolong sampaikan ke Mas Yusuf.”
“Astaghfirullah. Aku dan Mas Yusuf ke wisma sekarang, ya!”
Alia menampik keinginan Haidar. Dia merasa baik-baik saja, dan lumayan berkurang gejalanya setelah minum obat. Tapi, belum bisa bepergian karena mual masih terasa sedikit.
“Kamu yakin, Al? Bisa sendirian di sana?”
“Bisa, Mas. Nggak perlu khawatir.”
“Kalau perlu bantuan obat atau perlu ke rumah sakit, cepat hubungi aku ya, atau Mas Yusuf.”
“Iya, Mas. Aku mohon maaf juga, kemungkinan besar nggak bisa ikut nganterin kamu ke stasiun nanti malam.”
“Iya, nggak apa-apa. Yang penting sekarang kamu istirahat yang banyak, jangan lupa sarapan. Jangan sampai perutmu kosong. Bisa juga itu pemicunya.”
Alia mengiyakan.
Haidar yang berada di kamar Yusuf, berdebar-debar kencang. Khawatir penuh dengan kondisi Alia. Haidar cukup mengetahui tentang vertigo yang dialami Alia. Saat menyelesaikan tugas skripsinya, Alia pernah mengalami gejala serupa tetapi ringan dan segera membaik dalam satu hari. Terlambat makan karena terlalu sibuk menuntaskan tugas itu menjadi pemicu sakit yang Alia alami.
“Tampaknya berat ya kalau mengalami vertigo, Mas?” tanya Yusuf, di dalam kamarnya, sambil lesehan. “Maaf ya, kamar saya sempit begini. Maklum, London is pricy.”
Haidar tak mempermasalahkan. Bersama Yusuf, ia menikmati sandwich yang dimasak di dapur milik flat Yusuf, yang cukup modern. Susu hangat juga sudah tersedia di meja belajar Yusuf. Sehabis Subuh berjamaah di masjid tak jauh dari flat, mereka berdua tak tidur lagi. Saling berbincang-bincang tentang kehidupan PhD student di Inggris, dan juga sekelumit kehidupan keluarga mereka, sambil menyiapkan sarapan.
“Saya kira berat, Mas. Dulu sebelum wisuda, Alia sempat berbaring seharian di rumahnya, nggak bisa ngapa-ngapain. Sempat dibawa ke IGD segala, tapi boleh rawat jalan setelah itu. Mungkin kayak mabuk laut kali ya. Pusing berputar gitu.”
“Kasihan, Alia. Sendirian lagi di sini. Mau dijenguk juga nggak mau.”