DESIBEL

Asroruddin Zoechni
Chapter #10

TEMAN SE-FLAT

Alia kini bisa bernapas lega, setelah menyelesaikan semua urusannya di London, termasuk menunaikan janji kepada Haidar. Dan juga menyelesaikan administrasi tempat tinggalnya nanti di sebuah flat di Liverpool. Termasuk pula hal yang sangat dia khawatirkan terjadi sejak dulu, vertigo. Saat mau meninggalkan wisma, ia sempat membuka-buka email yang mungkin saja sangat penting. Ada sebuah email pribadi masuk dari seseorang yang bernama Thomas Hamilton. Segera dibukanya email tersebut, dan bertuliskan kalimat singkat di bagian isi email itu.

"See you in Liverpool, Miss Alia."

Sesingkat itu email yang Alia terima. Ia pun tak memikirkan lebih lanjut. Ia mulai berpikir bahwa mungkin hanya sebuah email spam.

Alia tiba di Liverpool dengan hati yang berbahagia sepenuhnya. Jalur ke flat di Hatherley Street pun, dari Stasiun Liverpool Lime Street, sudah direkamnya dengan sempurna di offline maps. Namun, karena tak ingin repot dengan koper raksasa dan tentengan lainnya, Alia memilih menggunakan taksi daring, Uber.

Memasuki kota Liverpool yang megapolitan, Alia takjub luar biasa. Sejak keluar dari stasiun kereta pukul empat sore, lalu menaiki mobil, pandangannya tak beralih dari deretan bangunan-bangunan modern yang unik dan menjulang, dan juga bangunan bersejarah klasik berarsitektur Gothic. Masih seperti mimpi baginya, hadir di salah satu kota terbesar dan terpadat di Inggris, serta bisa masuk ke kampus idaman mahasiswa dari seluruh dunia, LSTM.

Alia tiba di depan flat dalam lima belas menit. Flat yang akan ditempatinya berada di ujung timur Hatherley Street, yang berlanjut ke Mulgrave Street, di kawasan Toxteth. Flat berseberangan dengan sisi kanan salah satu masjid terbesar di Liverpool, Al Rahma Mosque. Mesjid tiga lantai, yang tersusun atas batu bata berwarna oranye, dengan gaya arsitektur Timur Tengah, dan memiliki kubah emas. Alia senang, melihat ramai anak-anak berparas Asia Selatan dan Arab, laki-laki dan perempuan, bermain-main di sekitar masjid. Mereka baru saja menghadiri pelajaran agama di masjid itu, yang juga berfungsi sebagai madrasah. Alia pun merasa tenang melihat masjid dan pemandangan itu.

Alhamdulillah, dekat banget dengan masjid

Alia menerima instruksi dari pemilik flat melalui email. Karena pemilik tidak bisa menemuinya langsung pada hari yang ditentukan, maka kamar di flat, yang terdiri dari dua unit kamar bisa dibuka dengan instruksi tersebut. Setelah menerima instruksi itu, yang disertai passcode untuk mengambil kunci kamarnya di sebuah kotak menyerupai kotak surat di halaman flat di lantai dasar, Alia pun bergegas membuka flat. Alia mendapat unit kamar no. 2 di flat lantai dasar. Alia pun masih bertanya-tanya, siapa mitranya, flatmate, di unit no. 1 itu. Flat dua lantai itu, masing-masing memiliki shared common rooms, shared kitchen, shared laundry and dryer room, dan shared bathrooms. Common room biasa digunakan untuk ruang tamu atau ruang berinteraksi dengan penghuni unit lainnya, juga berfungsi sebagai ruang baca. Di ruang itu juga tersedia TV, dan alat setrika pakaian.

Alia memegang kunci kamar, sambil meletakkan kopernya di depan pintu kamar, lalu membukanya pelan-pelan. Ruang kamar berukuran 3x4 meter, dengan 1 bed di atas dipan kecil, 1 buah lemari pakaian yang cukup tinggi, dan 1 buah meja belajar, dengan rak buku kecil menempel di dinding. Stop kontak LAN juga tersedia, berdampingan dengan stop kontak listrik bermodel UK.

Alhamdulillah.

Alia menarik napas panjang, lalu mengeluarkan dengan pelan-pelan. Senyumnya merekah, kemudian mulai merasakan kasur yang cukup empuk, dan sudah rapi dengan seprei dan sarung bantal berwarna putih bersih, serta selimut. Setelah merapikan kamar dan barang-barang bawaan, Alia menengok ke dapur.

Alia pelan-pelan mendorong pintu dapur, lalu menilik ke dalam.

Excuse me.” Alia khawatir ada orang di dalam dapur itu. Kosong, tidak ada seorang pun di dapur.

Alia memperhatikan dengan seksama ruangan dapur itu dan seisinya. Dapur flat sangat modern, dan sangat terang. Terdapat sebuah jendela kaca, yang terbuka. Terasa semilir angin memasuki ruang dapur, dan membelai lembut kulitnya. Dari arah jendela, bisa melihat ke luar flat, dan terlihat kubah masjid dan jalanan di sekitarnya. Kitchen set terdiri dari kompor listrik tanam, tempat mencuci piring, laci tempat menaruh perkakas untuk makan-minum dan keperluan memasak, kulkas dua pintu, serta satu set meja makan minimalis.

Hi! Excuse me,” sapa seorang perempuan dari arah belakang Alia.

Alia cukup terperanjat.

Perempuan itu berkulit kuning langsat, saat Alia segera menoleh ke arah suara. Perempuan berhijab berparas Asia itu tersenyum ramah. Dia berdiri, memegang secangkir MILO hangat.

Hi. Halo. I am Alia, from Indonesia.” Alia tersenyum.

Halo, I am Nurul Haznah, from Malaysia.”

Alia langsung senang sekali karena mendapatkan rekan satu flat dari negara serumpun. Mereka berjabatan, kemudian duduk di kursi meja makan dan saling berhadapan.

“Wow. Alhamdulillah. Bisa Bahasa Melayu?”

“Bise, Alia. Cakap Indonesia pun saya boleh. Tapi tak lah pandai-pandai sangat.”

Great. Jodoh sekali kita berdua. Postgraduate?” Nurul mengangguk. “At University of Liverpool?”

LSTM, new student this academic year.

Alia ternganga, masih merasa tak percaya, bertemu calon sahabatnya. Sosok berpostur cukup gemuk, dengan lebih tinggi sekitar setengah jengkal dari Alia yang memiliki tinggi 155 cm.

“Wow! Really? New student? Are you a doctor?”

Nurul mengangguk, menyunggingkan senyum terbaiknya. Perempuan berparas Melayu itu pun menjelaskan asalnya dari daerah Kuching, Sarawak dan diutus oleh pimpinan di UNIMAS, Universiti Malaysia Sarawak, tempatnya bekerja sebagai dosen. Dia baru datang dua hari sebelumnya.

Yes, I am a medical doctor, graduated from UKM, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Wow, great! How do I call you? Doctor?

“Panggil name saje lah. Kita kan satu umur, lah. Sebaya.”

How about you? Are you a doctor?”

No. I hold a bachelor degree in Public Health, from Universitas Gadjah Mada.

“Saya cukup senang lah, kite bise ketemu di sini. Betul-betul berjodoh. Alhamdulillah.”

“Alhamdulillah, saya juga sangat senang. By the way, bagaimana keadaan di sini?”

“Maksud awak flat ini kah?”

“Iya, flat ini dan kota Liverpool. Atau keadaan kampus kita? Sudah ke sana?”

“Saya baru datang kat sini semenjak dua hari lalu. Anyway, flatnya nyaman dan lengkap, lah. Untuk kota Liverpool, saya belum explore banyak, lah. Masih saya pelajari lebih lanjut. Tapi yang penting, saya sudah menemukan groceries terdekat, terutama untuk mencari makanan halal, lah.”

“Wah, seru ya. Alhamdulillah kalau begitu.”

“Untuk ke kampus, saya belum ke sana, lah. Saye masih jetlag sikit. Mungkin besok ye? Bagaimane kalau pergi same-same kat sane? Are you ready, Alia?”

Of course. Saya sudah nggak sabar mau ke sana. Apalagi Induction Week kabarnya sudah mulai minggu depan kan?”

Alia dan Nurul melanjutkan perbincangan lebih lanjut tentang asal mereka masing-masing, tentang Malaysia dan Indonesia. Dan juga tentunya tentang rencana akademik mereka.

Oh ya, Alia. Welcome to Liverpool.” Nurul tersenyum lagi, penuh keramahan, tapi dengan gaya bicara Melayu yang cukup cepat. “Awak sudah makan siang, ke?”

Yes, welcome for you, too. Saya sudah makan tadi di London, sebelum naik kereta api.”

“OK. Kalau awak masih nak makan, saya ada makanan di kulkas. Saye dah belanja bahan makanan kat LIDL, Poundland, muslim store, and muslim butcher. Tinggal awak masak saja, lah. Goreng ke, atau mau direbus ke, atau buat baked potato ke. Roti dengan selai juga ade. Susu segar juga ade. Kalau mau nasi, tinggal ambil di rice cooker. Ini rumah kite bersama, lah.”

“Alhamdulillah. Tenang saja. Senang sekali saya hari ini dapat teman Nurul. Dan isi kulkas kita pastinya aman kan, semuanya halal.”

“Betol sekali. Tadi pun saye sempat bepikir, mudah-mudahan dapat teman macam awak, lah. Alhamdulillah, first impression, enjoy pula orangnye.” Senyum Nurul merekah sempurna, sambil menyeruput minuman.

“Alhamdulillah. Oh ya, Nurul. Nanti bise lah bantu-bantu saya belajar bahasa Inggris. Biasa orang Malaysia kan English-nya excellent.”

Nurul tertawa ringan. “Ohh, tak juga, lah. Alia. Awak kan sudah eligible masuk ke Liverpool ini. Pastilah English awak juga bagus kan.”

“Iya, sih. Tapi, pas-pasan juga nilainya, IELTS saya 6.5.” Alia terkekeh.

Lihat selengkapnya