DESIBEL

Asroruddin Zoechni
Chapter #11

DESIBEL Bagian Dua

Perkembangan mendengar dan berbicara Marvel menjadi bahan pembicaraan yang tak habis-habisnya bagi Haidar dan Alia. Dengan bergabungnya Marvel di DESIBEL, seperti memberikan harapan besar bagi keluarga Marvel, sekaligus menepis stigma dan mitos di masyarakat Indonesia bahwa anak tunarungu tak bisa berbuat banyak. Banyak orang bahkan orangtua sendiri menganggap bahwa menjadi tunarungu merupakan takdir Tuhan yang harus diterima. Masa depan mereka juga akan suram karena anak tunarungu menjadi bahan olok-olokan karena tidak bisa mendengar dan berbicara atau dengan menggunakan bahasa isyarat. Secara sosial, mereka juga akan menjadi kelompok yang terpinggirkan dan sulit mendapatkan akses pendidikan yang inklusif.

Hadirnya Marvel di DESIBEL, semakin menguatkan pemikiran positif Alia bahwa anak tunarungu juga bisa berbicara dengan baik layaknya anak normal, tentunya dengan segala upaya terapi atau penanganan di bidang medis, sosiokultural, ekonomi, pendidikan, dan peranan orangtua yang bersangkutan. Tak hanya Marvel yang berhasil sejauh ini. Selama lebih dari dua puluh tahun sejak berdiri, DESIBEL telah menjadi wahana penting dan strategis dalam penanganan anak-anak berkebutuhan khusus. Alumninya, telah tersebar di seluruh Indonesia bahkan di beberapa bagian dunia, dengan segudang kesuksesan, terutama tentang kesetaraan di bidang pendidikan dan sosial. Sebagai alumni mahasiswa kesehatan masyarakat yang banyak bergelut di bidang akses pendidikan dan kesehatan, membuat Alia merasa berkepentingan besar untuk menghidupkan DESIBEL.

Pembicaraan terakhir Haidar dan Alia di London, membuat mereka teringat kembali berbagai kejadian tentang Marvel. Setahun yang lalu, Marvel yang berusia 3 tahun, duduk manis di pangkuan ibunya, Laksmi, di dalam mobil Haidar yang sejuk. Mereka tinggal di daerah Waru, di dekat Surabaya. Bersama Haidar, mereka bertiga menyambangi KB/TK DESIBEL pada Sabtu pagi pukul delapan. Laksmi yang duduk di kursi penumpang di kiri depan mengutarakan keresahannya kepada Haidar, sepanjang perjalanan menuju Wonokromo.

“Maaf ya, Haidar. Jadi ngerepotin kamu. Habisnya, Pakle-mu sibuk banget. Sabtu Sabtu gini aja masih kerja. Kadang-kadang Bule keseel banget! Udah tahu anaknya kayak gini, malah kerjaannya nggak kelar-kelar,” ungkap Laksmi.

“Ndak apa-apa, Bule. Haidar juga kan libur kerja kalau tiap Sabtu. Jadi bisa ndampingi Bule dan Marvel. Mudah-mudahan Pakle Priyo nanti diberi keluangan waktu juga.”

“Bule jadi ndak enak sama kamu, Haidar. Mengganggu weekend-mu,” sesal Laksmi dengan logat Jawanya.

“Nyantai aja, Bule. Siapa tahu dengan ikut begini, aku jadi tahu ribetnya ngurus anak kayak Marvel,” jawab Haidar, sambil tersenyum dan mengerling ke wajah Laksmi.

“Makasih, ya. Tapi Bule dengar, DESIBEL ini memang bagus buat terapi anak kayak Marvel. Banyak yang merekomendasikan. Terapis Bu Wiwik itu, katanya, yang baik dan perhatian banget sama anak-anak maupun orang tuanya,”

Haidar mengangguk-angguk pelan.

“Saya malah ndak ngerti, Bule, tentang terapi-terapi kayak gitu. Tapi kita lihat aja nanti.”

“Makanya Bule ngajak kamu. Mudah-mudahan kamu paham lah ntar yang diomongin sama terapis. Anak alumni Fisika UGM, gitu loh. Pasti ngerti bahasa-bahasa ilmiah dan ribet,” puji Laksmi, sambil tersenyum.

Marvel terbangun dari tidurnya. Lalu memandang ke arah luar mobil. Merespons semua yang ada di hadapan matanya.

“Halo, Marvel. Ada Mas Haidar, loh, ini,” sapa Haidar, sambil menyetir. Lalu mencubit lembut kedua pipi Marvel.

Spontan bayi itu tersenyum manis. Sudah menginjak usia tiga tahun, tetapi Marvel belum mengeluarkan sepatah katapun yang artikulasinya jelas, apalagi berbicara dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek. Dia hanya bisa mengeluarkan bubbling.

“Nah, bentar lagi nyampe ni, Bule. Kita-kita siap-siap ya, Marvel. Mas parkir dulu, ya, Nak,” ujar Haidar.

Laksmi dan Haidar, serta Marvel, keluar dari mobil, menuju DESIBEL, yang berupa sebuah rumah yang terletak di sebuah kompleks perumahan. Rumah berlantai dua itu, berwarna putih tulang, dan berpagar kuning. Di dinding depan rumah terpajang plang besar ‘KB – TK DESIBEL’ Surabaya. Di halaman yang cukup besar terdapat beberapa wahana permaian anak-anak usia kelompok bermain dan TK yang berwarna-warni. Melihat wahana itu, Marvel spontan ingin melepaskan diri dari dekapan Laksmi, namun tertahan.

“Sabar, Marvel! Nanti kamu jatuh, Nak,” keluh Laksmi.

Haidar pun tersenyum, sambil melihat Marvel yang berlari-lari, namun belum sempurna seperti anak seusianya. Langkah-langkahnya masih belum tegap menahan tubuh, sehingga masih rawan terjatuh.

Mereka kemudian memasuki ruang resepsionis, dan bertemu seorang petugas.

“Selamat pagi, Mbak. Ini betul DESIBEL ya?” tanya Haidar.

“Selamat pagi, Pak, Bu,” balas petugas. “Iya, bener sekali. Ada yang bisa dibantu?”

“Kami mau ketemu Bu Wiwik, ada? Minggu lalu kami sudah janjian via telepon. Atas nama Laksmi,” ujar Laksmi.

“Oooh, panjenengan Bu Laksmi, ya. Iya, beliau ada, Bu. Beliau sudah menunggu di Ruang Kepala Sekolah. Mari saya antar ke dalam,” ajak petugas.

Haidar ikut menemani Laksmi bertemu Bu Wiwik. Ruang kepala sekolah, berada di ruang tengah, berdampingan dengan ruang KB-1 dan KB-2, serta Ruang Terapi AVT. Bu Wiwik pun sudah menunggu di meja kerjanya, dan mempersilahkan Haidar dan Laksmi duduk. Marvel dibiarkan duduk-duduk di atas lantai yang beralaskan karpet hijau. Di sekitarnya banyak terdapat alat permainan edukatif.

“Silahkan duduk, Bu Laksmi, dan Mas?” tanya Wiwik.

“Haidar, Bu. Saya sepupunya Marvel,” jawab Haidar sambil mengangguk.

“Terima kasih. Bu Wiwik. Alhamdulillah ketemu Ibu juga akhirnya. Saya banyak denger nama Ibu, tapi baru kali ini bisa bertemu,” ungkap Laksmi.

“Oke, Bu. Apa yang bisa saya bantu?” Haidar khusyuk mendengarkan.

“Iya, Bu. Ini anak saya Marvel. Sudah tiga tahun umurnya tetapi bicaranya belum lancar, Bu. Saya sudah ke dokter spesialis THT di Surabaya, dan sudah diperiksa semuanya. Kata beliau Marvel ada gangguan dengar sedang-berat, setelah dilakukan pemeriksaan BERA di rumah sakit. Saya juga bawa berkas semuanya. Dokter juga menyarankan untuk melakukan terapi wicara, dan terapi-terapi lain agar dia bisa bicara lancar dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangannya,” ungkap Laksmi.

  “Baik, Bu. Setelah ini kita akan bicara lebih panjang terkait kondisi Marvel, ya. Sambil kita berbincang, Ibu bisa isi dulu formulir ini agar saya bisa mengetahui kondisi terkini anak Ibu. Apakah sudah memakai alat bantu dengar atau implan rumah siput, Bu?”

Istilah itu terasa asing bagi Haidar. Keningnya berkerut. Dua istilah yang sangat tidak akrab di telinga dan otak. Haidar duduk, sambil memantau apa yang dilakukan Marvel di lantai. Ia menghambur-hamburkan mainan, sehingga seketika ruang Bu Wiwik menjadi berantakan. Laksmi sibuk mengisi formulir yang memuat data yang harus diisi lengkap, seperti riwayat kelahiran, riwayat pertumbuhan dan perkembangan, dan riwayat penyebab gangguan dengar Marvel. Pemeriksaan BERA di RSUD Dokter Sutomo, menunjukkan bahwa Marvel tidak bisa mendengar suara berkekuatan 90 desibel pada telinga kanan, bahkan lebih dari 100 desibel pada telinga kiri.

“Biarin aja, Mas Haidar. Anak-anak memang begitu,” ujar Bu Retno, tersenyum.

“Kalau ABD sebetulnya dulu sudah pernah dipakai, Bu. Atas saran dokter THT sebelumnya. Tapi tidak kami lanjutkan, karena Marvel terus membuangnya saat dipasang.”

“Waduh, sayang sekali ya, Bu. Padahal usia seperti itu adalah masa-masa emas rangsangan suara bagi anak-anak gangguan dengar.”

“Kami nggak paham, Bu. Baru setelah baca-baca, dan dengar-dengar dari teman, ternyata ABD sangat berguna. Jadi, Bu Wiwik, apakah anak saya seorang tunarungu?” tanya Laksmi, dengan raut muka sedih. Wajah Haidar pun tampak serupa.

“Begini, Bu. Saya lihat di data ini, penyebab gangguan dengarnya karena Rubella, ya. Jadi, jujur saya akan katakan, dan saya yakin semua dokter akan mengatakan hal ini. Tetapi Ibu jangan berkecil hati dulu ya. Marvel memang tidak bisa mendengar, alias anak tunarungu. Tetapi bukan berarti Marvel tidak bisa mendengar sama sekali. Karena saat ini kita punya teknologi yang bernama ABD, dan teknologi tercanggih saat ini, implan rumah siput, atau cochlear implant.”

Laksmi dan Haidar yang awalnya sedih, perlahan terlihat sumringah.

“Maksud Ibu, Marvel bisa mendengar dan bicara seperti orang normal?” tanya Haidar.

“Insya Allah, Mas. Tetapi untuk mencapai kesempurnaan seperti orang normal tentu tidak bisa seratus persen, karena secara anatomi, organ telinga yaitu sel rumah siputnya sudah rusak karena virus. Dan hal ini berjalan seiring dengan capaian desibel suara yang bisa ditangkap Marvel nantinya. Tetapi mendekati kondisi normal, lah, sebisa mungkin.”

Bu Wiwik, alumni jurusan Pendidikan Sekolah Luar Biasa dari IKIP Malang itu, menjelaskan dengan detil kondisi terkini Marvel, berbekal berkas-berkas yang dibawa Laksmi. Ia juga sudah berpengalaman selama dua puluh tahun terakhir menangani anak-anak seperti Marvel, dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya.

“Jadi, apa yang harus kami lakukan, Bu Wiwik?” tanya Laksmi antusias.

Haidar berpikir panjang. Berusaha mencerna apa yang disampaikan Bu Retno. Keningnya berkerut. Sedih melihat kondisi Marvel, tetapi seiring itu pula optimisnya muncul setelah mendengar penjelasan awal Bu Wiwik.

“Sebentar lagi kita kan urai satu per satu, ya, Bu Laksmi. Dan sebetulnya tidak cukup hanya dengan pertemuan ini diskusi kita nantinya. Dan tergantung kesiapan dan komitmen orang tua dan orang-orang terdekat Marvel.”

“Siap, Bu,” tukas Laskmi, penuh optimisme.

Lihat selengkapnya