Aria kini berada di Utrecht, setelah menerima perintah dari Prof Garrett. Perjalanannya ke London dan Edinburgh terpaksa terputus, meski mulai menikmati percakapan di pesawat dengan Alia, perempuan muda yang baru dikenalnya. Ia pun belum bisa melupakan beberapa kejadian yang menyertai.
Setelah membereskan urusan di bagian imigrasi dan maskapai, Aria segera menuju ruang kedatangan dengan memegang gagang kopernya yang berwarna biru tua dengan tangan kanannya. Koper berjenis light carrier itu berukuran 24 inch, dan memiliki banyak kantong. Sementara di pundak kirinya tergantung sling bag cokelat muda. Dalam satu jam ia harus tiba di peron nomor 3 di stasiun kereta bandara Schiphol untuk melanjutkan perjalanan ke Utrecth University Medical Center, UUMC. Kereta akan berangkat pada pukul 11.40 sejauh 46 kilometer ke arah tenggara, selama 35 menit.
Sebetulnya Aria merasa berat untuk meninggalkan Schiphol. Lebih tepatnya berat melepaskan pertemuan dengan Alia yang baginya sangat singkat. Sesekali ia melihat ke belakang sepanjang perjalanan menuju peron. Seperti orang bingung, dan kadang-kadang lupa apa yang harus dia lakukan. Sementara, waktu yang terus berjalan tak mampu membuatnya berleha-leha atau membuat keputusan yang terlalu lama. Profesor Edward sudah menunggunya di Utrecht pukul dua siang.
Notifikasi dari layar ponselnya berbunyi. Sebuah pesan WhatsApp dari nomor yang tak dikenalnya masuk tanpa penghalang, dengan kode negara Indonesia.
“Jangan lupa balik ke Indonesia, ya, Mas Aria.”
Aria merasa kenal dari siapa pesan itu dikirim. Senyumnya kecut, lalu moodnya mendatar. Ia berjalan lagi menuju peron yang cukup jauh. Pesan kedua muncul dari orang yang berbeda, MAMA.
“Terus jaga kesehatan ya, Nak. Kalau sudah tiba di London, kabarin Mama. Jangan lupa shalat.” Aria tersenyum mengembang, dan dibalasnya pesan itu. Mengiyakan seluruh pesan tersebut.
"Semoga lancar project-nya ya, Pak. Hati-hati di perjalanan."
Pesan ketiga itu masuk saat gerbong kereta dibuka dan siap diberangkatkan dalam 10 menit. Aria sumringah. Senang bukan kepalang. Dia sibuk mengetik untuk membalas pesan itu sambil berjalan. Sempat hampir menabrak penumpang yang berada di depannya. Walaupun nomor itu tak dikenal dan tanpa gambar profil, tetapi nama yang tercantum di profile number pengirim membuatnya menduga-duga, siapa pengirim itu. Alianti Putri.
“Excuse me, Sir. What is your train car number and seat number?” sapa petugas gerbong saat wajah Aria terfokus ke ponsel.
“Uppss, I am sorry,” jawabnya.
“Be careful, Sir,” imbau petugas.
“Thanks. My train is number 2, and seat number 10A.”
“Okay, this is train number 5. You have to go forward over there,” tunjuk petugas ke arah depan.
Aria mengucapkan terima kasih kepada petugas tersebut dan bergegas menuju gerbong sesuai yang tercantum di tiket yang baru diambil dari saku kirinya. Meski salah masuk nomor gerbong, Aria tersenyum simpul berkepanjangan, bahkan hingga saat dia merasakan empuknya kursi kereta eksekutif itu. Maksud hati ingin segera membalas pesan itu, tetapi belum berhasil menemukan kata-kata terbaik. Jantungnya mulai berdebar-debar. Jari-jemarinya pun tremor. Menulis pesan balasan, namun dihapusnya kembali. Begitu seterusnya sampai kereta berangkat dan mencapai separuh perjalanan.
“Amiin. Terima kasih. Ini Mbak Alia, bukan?” balasnya terhadap pesan itu. Pesan tak terbaca, juga tak berbalas.
“Mungkin Mbak Alia sudah boarding,” gumamnya. Aria dalam hati menyalahkan dirinya yang terlalu lama membalas pesan singkat itu.
“Semoga selamat sampai di London. Kabarin kalau perlu bantuan,” lanjutnya melalui pesan tersebut meski belum berstatus dibaca.
Separuh perjalanan Aria di dalam kereta selanjutnya dia manfaatkan untuk melihat-lihat pemandangan pagi hari daerah Schiphol ke arah Venlo dan Utrecht. Dia menyaksikan keindahan kanal-kanal di sepanjang perjalanan, mirip seperti parit atau kali di Indonesia, dengan tumbuhan kehijauan di sekitarnya. Kereta berhenti di setiap daerah yang dilewati sejauh lebih dari 45 km. Berhenti sebentar di stasiun Amsterdam Zuid, kemudian di Amsterdam Biljmer Arena, dan berakhir di stasiun Utrecht Centraal.
Aria masih menjinjing kopernya yang cukup berat, keluar dari Utrecht Centraal tepat pukul 12.15. Ia melanjutkan perjalanan ke UMC menaiki taksi daring agar bisa lebih cepat tiba di sana, satu jam sebelum waktu yang telah dijadwalkan. Pesan dari Profesor Garrett selalu dia ingat, agar tepat waktu atau beberapa saat lebih awal bila ingin bertemu kolega beliau, termasuk Prof Edward yang dikenal sebagai orang yang tepat waktu.
Setibanya di UMC, dengan perut yang keroncongan, ia melewati satu persatu gedung megah dan futuristik untuk sampai di Utrecht University Library.
“Excuse me, Prof Edward?” sapanya lembut pada seorang lelaki berusia 60 tahun-an yang duduk di main hall perpustakaan.