Aria melirik ke jam tangan CASIO sporty yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang kekar. Pukul tiga sore yang sejuk, satu jam lebih cepat dari waktu London, tetapi masih menyisakan sinar matahari yang terpantul indah dan berkilauan di permukaan Sungai Zaanse Schans, di daerah Zaandam, sebelah utara Amsterdam. Aria terngiang kejadian tadi malam. Sudah sejak pukul delapan pagi, Aria menguatkan diri untuk menjelajahi Utrecht, dan Amsterdam. Menguatkan diri untuk keluar kamar tidurnya, mengenyahkan mimpi buruk yang sempat dialaminya setelah lewat tengah malam.
Sepulang dari menyaksikan keindahan dan kemegahan Mesjid Besar Utrecht, HDV Utrecht Ulu Camii Moskee, di waktu malam, dan melihat banyaknya jamaah yang berbondong-bondong masuk ke masjid itu, Aria sekejap merasa nyaman. Seiring itu pula, hatinya gundah. Merasa berdosa karena salat lima waktunya masih belum sempurna terlaksana, masih sesuka hatinya. Pukul satu malam, Aria terbangun dari mimpi. Badannya terasa basah, walau suhu di Utrecht waktu itu 15ºC. Setelah membaca doa perlindungan, barulah dia bisa tidur nyenyak. Dan kebablasan hingga jam tujuh pagi. Walau matahari sudah menembus jendela kamarnya, dengan malu-malu Aria menunaikan dua rakaat Salat Subuh.
“Astaghfirullahal adziim,” gumamnya, sambil berdiri beberapa menit di tepi jembatan modern, Julianabrug, yang membelah Sungai Zaanse Schans menjadi sisi barat dan timur.
Pukul delapan pagi, Aria keluar dari penginapannya untuk menikmati pemandangan kota Utrecht. Dengan riang dia mengayuh sepeda hasil penyewaan dari tempat dia menginap, menyusuri sudut-sudut Utrecht yang modern, namun juga unik dengan kanal-kanal dan bendungan yang membelah kota. Bersama para warga yang juga ramai menggunakan sepeda, Aria menikmati kesegaran matahari pagi, yang menyembul dengan malu-malu.
Pukul sepuluh, Aria bersiap untuk check-out. Walau harus menjinjing koper yang besar, tak membuatnya urung berangkat ke Amsterdam. Aria sempat mengirim pesan Whatsapp ke Alia,
“Apa kabar, Mbak Alia? Gimana London? Saya sekarang mau ke Amsterdam.”
Sayangnya, belum juga dibaca dan ditanggapi.
Menggunakan kereta Intercity dari Stasiun Utrecht Centraal, dalam 40 menit dia sudah tiba di Stasiun Kereta Amsterdam Centraal. A must visit place in Amsterdam sudah terekam sempurna dalam benaknya. Bergegas Aria keluar dari stasiun, lalu mencari left luggage counter untuk menitipkan kopernya. Lalu ia berjalan sekitar tiga menit untuk mencari halte trem dan bus. Dengan menaiki trem yang khas dengan bunyi rodanya bergulung di sepanjang rel, tak sampai sepuluh menit kemudian dia tiba di pemberhentian Amsterdam Muiderpoort.
Berjalan ke arah barat selama 5 menit, di hadapannya berdiri megah stadion sepakbola termasyhur, Ajax Amsterdam. Tempat yang dia idam-idamkan untuk dikunjungi sejak remaja, akhirnya terlampiaskan. Berswafoto, lalu dia unggah di akun Instagram dan Facebook miliknya. Pengunjung juga tampak ramai karena masa akhir pekan. Ia juga berkesempatan mengunjungi distro di komplek stadion, dan membeli baju kaos olahraga kebanggaan berlabel tim Ajax. Juga mengintip stadion yang luar biasa luas dan modern.
Sesekali dia melihat notifikasi dari pesan WA, namun Alia belum juga membaca pesannya. Dilihatnya sampai enam kali sambil menikmati kemegahan stadion dengan berkeliling, tetap saja centang abu-abu belum berubah menjadi biru.
Mungkin Alia lagi sibuk. Atau lagi jetlag?
Setelah puas mengitari stadion, Aria kembali menaiki trem selama 20 menit menuju Rijksmuseum, sebuah museum tertua di Belanda. Tujuan utamanya bukan ke museum, tetapi menginjakkan kaki dan berdiri di samping huruf-huruf raksasa yang viral, I-AM-STERDAM, tak jauh dari halaman depan museum. Sesampainya di lokasi itu, Aria kembali melirik gawainya. Ada balasan dari Alia, diiringi senyuman.
“Halo, Dokter Aria. Alhamdulillah saya sudah di Liverpool, Dok. Kemarin bersama teman-teman PPI London, nih, jalan-jalan menyusuri kota London. Seru banget, Dok.
Membaca balasan pesan dari Alia, sontak Aria sumringah.
“Alhamdulillah. Pasti crowded banget di sana, ya. Nggak jetlag, Mbak?”
“Crowded banget, Dok. Ramee! Nggak jetlag, Dok. Sedikit puyeng aja.”
“Ooo, syukurlah. Selamat menikmati Liverpool, ya. OK. Stay safe, ya. Kabar-kabari kalau butuh bantuan selama di Liverpool atau UK.”
“OK, Dok. Kapan balik ke Edinburgh?”
Aria bertambah semangat membalas pertanyaan demi pertanyaan Alia. Sampai-sampai dia hampir lupa harus mengabadikan foto di depan tulisan raksasa itu. Lalu berbicara dalam hati.
Sabaaar, Aria. Balas dulu chat-nya segera, baru berfoto atau lanjutkan jalan-jalan.
“Minggu malam besok, Mbak. Hari ini mau explore Amsterdam dulu, terus hunting minuman cocoa asli di Zaandam, sekalian nengok kincir angin raksasa 😊.”
“Waaah, pasti keren banget di sana.”
“Bener, Mbak. Kapan-kapan kalau ada waktu kita rame-rame ke sana. Nggak jauh, kok, dari UK, tinggal bikin Visa Schengen.”
Pesan terakhir belum berbalas. Aria menunggu beberapa menit. Tapi belum juga dibalas oleh Alia. Aria pun menunggu jawaban dengan berdebar-debar yang hilang timbul. Berkeliling di sekitar museum selama satu jam lebih, Aria melanjutkan perjalanan ke Zaandam.
Bunyi kring-kring sepeda yang melintasi Julianabrug, Zaandijk, memutus ingatannya beberapa waktu yang lalu. Aria kemudian menatap jauh beberapa kincir angin berwarna hijau, berdiri tegak di pesisir sungai dan desa wisata Zaanse Schans. Di sekitar pesisir sungai juga berdiri rumah-rumah penduduk setempat, khas dengan arsitektur Dutch yang berwarna-warni mencolok.
“Siap, Dok. Rame-rame memang lebih seru.” Aria membaca pesan WA yang baru masuk dari Alia.
Keren banget tempat ini. Adem, sejuk, dan memikat mata. Seandainya kamu ada di sini, Alia.
Aroma cocoa mulai menusuk hidung, saat Aria beranjak dari jembatan menuju perkampungan. Para pengunjung juga ramai bergerombol dan berjalan kaki, bersama-sama ingin menuju Zaans Museum.
Gawai Aria berdering dan bergetar saat dia meneruskan perjalanan ke museum sambil mencari kincir angin. Segera dia berhenti di depan toko kerajinan sepatu kayu, khas buatan warga setempat.
Siapa ya yang menelepon? Alia? Atau Mama?
Sebuah WA Call masuk, masih membuat gawai Aria berkelap-kelip. Dari nomor berkode wilayah Indonesia, tanpa nama.
Siapa, nih?
Walau tanpa nama, tapi Aria kenal betul nomor telepon yang tertera. Pesan dari nomor yang sama juga muncul saat dia berangkat dari Schiphol ke Utrecht. Aria tersenyum kecut, dan mood-nya mendadak memburuk.
Mau apa lagi kamu?
Gawainya terus berdering dan berkedap-kedip. Aria berat hati untuk menjawab panggilan itu. Tapi, kerinduannya kepada seseorang di Indonesia membuatnya berbesar hati untuk menjawab telepon dari sosok yang kerap muncul di dalam mimpi buruk dan lamunannya. Aria pun menjawab dengan datar dan pelan, di pinggir jalan beraspal, di depan toko sepatu itu.
“Halo, Naura?”
“Halo, Mas Aria! Akhirnya kamu menjawab juga telepon dariku, Mas.” Suara seorang perempuan terdengar, lalu diiringi cekikikan.
“Naura! Kamu ngapain hubungi aku lagi? Kamu belum puas membuat hatiku hancur?” Aria mulai emosional.
“Maaass, aku rindu kamu, Mas. Ngapain sih kamu jauh-jauh sekolah di Inggris sana? Balik ke sini aja. Banyak yang nungguin kamu di sini.”
“Naura! Jangan kamu coba-coba lagi atur-atur hidupku ya! Sudah cukup semuanya! Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi!”
“Owww, nggak ada hubungan katamu, Mas? Terus yang di Bandung gimana? Kamu nggak rindu sama dia?” Naura tertawa keras.
Aria merasakan desir amarahnya mulai naik ke ubun-ubun.
“Cukup, Naura! Cukup!”
Aria spontan menutup panggilan. Napas dan denyut jantungnya menderu. Mukanya memerah. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam lalu mengeluarkannya perlahan, sambil mendongak, melihat langit yang kebiruan tanpa awan menggantung. Lalu Aria menunduk, dan menutup wajah dengan kedua tangannya, sambil beristighfar. Aria kemudian beranjak, berjalan ke arah kursi taman yang berada di depan toko. Dia duduk bersandar, lalu memandang pelan-pelan ke kanal kecil dan asri di depan kursi itu, dan menyusuri hingga ke kejauhan, menatap deretan pohon pinus di kedua sisi kanal. Perasaannya mulai tenang. Di balik amarah yang hampir meletus hebat, tiba-tiba dia juga merasakan rindu yang teramat dalam kepada seseorang di Bandung, yang disebutkan Naura.