DESIBEL

Asroruddin Zoechni
Chapter #14

THE LAST CHILD

Setelah melewati beberapa hari perjalanan, akhirnya Aria tiba di Edinburgh. Daun maple yang tumbuh di pepohonan di sepanjang Gilmerton Road sebagian mulai menguning. Persis seperti cat yang ditumpahkan ke helai-helai dedaunan. Tiupan angin yang tidak terlalu kencang mampu membuat dedaunan itu terlepas dan menari-nari pelan, terjatuh ke jalanan dan trotoar yang lebar. Cuaca di sekitarnya juga cukup cerah, dengan suhu yang membuat Aria tak merasa terlalu dingin, 12ºC. Ia sudah terbiasa dengan suhu tersebut selama dua tahun terakhir, sejak tinggal di Edinburgh, tanpa menggunakan jaket tebal. Tetapi, setiap berangkat ke rumah sakit setiap hari sekitar pukul 7.45 dengan menaiki sepeda gunung, saat memasuki musim gugur ia tetap membalutkan jaket tipis. Untuk menghindari gempuran angin yang kadang-kadang bertiup kencang. Sekitar sepuluh menit, dari kediamannya di sebuah flat tiga lantai, Aria biasanya sudah tiba di depan Royal Infirmary of Edinburgh di daerah Little France, tempatnya bekerja sekaligus belajar. Cycling jersey, kacamata hitam, baju kaos oblong berbalut jaket, ransel biru tua, sepatu olahraga hitam, dan jam tangan sporty, menjadi kostumnya sehari-hari saat berangkat bekerja.

Aria adalah seorang dokter spesialis kandungan dan kebidanan, yang sudah dua tahun bekerja di Edinburgh, sekaligus memperdalam ilmunya di bidang Ginekoonkologi, ilmu tentang tumor pada organ reproduksi perempuan. Setelah lulus spesialis dari FKUI, Jakarta, dan dua tahun berpraktek di sebuah rumah sakit di Jakarta, ia memilih berkarir di Skotlandia. Aria masuk ke sistem kesehatan di Inggris karena tertantang dengan sulitnya lulusan dokter di Indonesia untuk berkarir di luar negeri. Dengan kecerdasan dan ketangguhannya, ia mampu menaklukkan tes demi tes yang dilakukan oleh Royal College of Obstetrician and Gynaecologist, bernama MRCOG Exams, melalui Medical Trainee Initatiative (MTI) Scheme for non-EEA doctors. Syarat masuk menjadi peserta exams tentu saja sangat sulit, apalagi untuk lulus dan kemudian berhak untuk praktek di seluruh Inggris. Statusnya saat ini di rumah sakit adalah sebagai seorang clinical research fellow, sekaligus bekerja untuk NHS Trust.

Namanya kemudian harum, dan menjadi perbincangan di khalayak ramai karena kecerdasan dan kemampuan terbaiknya dalam menangani pasien. Pribadi yang ramah, empatik, dan bertutur lembut tak membuatnya sulit menaklukkan hati pada pasien yang ditanganinya, dan juga menaklukkan kebesaran kolegium dokter spesialis obsgin di se-antero Inggris. Banyak universitas yang melamarnya sebagai tim baik di universitas maupun di rumah-rumah sakit pendidikan dan jejaringnya. Namun, hatinya masih tertambat di Skotlandia.

“Good morning, Aria,” sapa seorang dokter residen, Hannah.

“Hi, Hannah. Are you OK today?” tanya Aria, di gedung belakang rumah sakit, tempatnya menitipkan sepeda.

“Yes, I am fine.”

“We'll meet after this at OT, OK? I need a coffee first at our canteen. Our surgery will be started at 9 AM, right?”

Hannah mengangguk, lalu beranjak terlebih dahulu.

“Assalamualaikum, doktor Aria,” sapa seorang dokter laki-laki, berparas Melayu.

“Waalaikumsalaaam. Good morning, Encik Hasan. Apa kabar hari ini?” Aria menyambut ramah. Dokter Hasan adalah mitra Aria di Unit Ginekoonkologi yang sudah terlebih dahulu bekerja di rumah sakit itu.

“Saye baik-baik je, Aria. Alhamdulillah. Jadi ape hal dengan pasien bernama Jenny? Sudah dibuatkan conference meeting, kan? Mohon maaf, saye tak bise ikut lah tempo hari.”

“Sudah. That is fine, Encik Hasan. But, unfortunately, Jenny direkomendasikan untuk dilakukan radical hysterectomy, karena cancer-nya sudah menyebar cukup luas.”

“Oooh, I am sorry to hear that. OK. We’ll meet at OT lah siang ini, kan?” Hasan terlihat sedih.

“Betul, Encik. Pukul satu nanti sudah mulai sign-in untuk first incision, sayatan pertama.”

“Baik. So, kite mesti masuk ke OT lebih awal kan?” tanya Mr Hasan dengan logat Malaysia yang kental, bercampur dengan malay English.

“Betul, Encik. Sampai ketemu di sana, ya.”

Hari ini adalah jadwal Aria melakukan sejumlah pembedahan di instalasi bedah sentral yang dikenal dengan OT, operating theatre. Setiap Selasa dan Kamis, mulai jam delapan pagi ia sudah harus berada di kamar operasi itu. Memastikan nama pasien dan jadwal operasinya apakah sudah sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat di sistem, dan di catatat pribadinya. Sebelum memulai operasi, tim OT juga akan berkumpul di ruang khusus. Aria sebagai ahli bedah saling memperkenalkan diri dengan anggota tim kamar operasi nomor tertentu, yang terdiri dari ahli anestesi, asisten dokter, perawat bedah, scrub nurse, serta administrator. 

“Please, introduce yourself,” ucap Hardy, kepala perawat OT.

“Susan, anesthesiologist.”

“Aria, gynaecologist. I am the operator today.”

“Brenda, ODP.”

Dengan menggunakan pakaian khas kamar operasi yang berwarna biru tua, dan papan nama kecil yang tergantung di depan dada masing-masing, pukul delapan mereka berkumpul. Mereka melakukan team briefing, dan memastikan semua hal yang terkait operasi pasien. Pendekatannya pun secara multidisiplin, namun dalam satu teamwork yang bagus dan tangguh. Hal yang jarang ia temukan selama menjadi dokter di Indonesia. Jangan sampai terjadi kesalahan, yang memicu terjadinya kelalaian medis. Aria memastikan satu-satu per satu pasien yang akan ia lakukan tindakan operasi. Ia juga cukup merasakan perbedaan mencolok dengan keadaan di Indonesia. Jika di Indonesia umunya pasien ditangani dengan disiplin ilmu yang terkotak-kotak—walaupun tidak semua rumah sakit—, Ariatidak merasakan hal itu di Edinburgh, dan Inggris. Pasien ditangani secara holistik, komprehensif, dan berpusat ke pasien, alias patient-centered care. Masing-masing spesialis saling berkoordinasi dengan baik, demi kebaikan pasien.

Selesai briefing, dan memastikan semua unsur aman untuk menjalankan operasi nanti, mereka pun berehat sejenak untuk melakukan coffee morning di doctor’s lounge.

Aria terkesiap saat ada WA call masuk. Dia kemudian meletakkan gelas berisi caffe late hangat yang tadinya masih di genggaman. Alia meneleponnya, menanyakan kabar, dan meminta bantuan tentang kesehatan terakhir. Tentu saja Aria merasa gembira.

“Halo, Mbak Alia. Apa kabar?”

“Halo, Dokter Aria. Baik, Dok.”

“Sudah di Liverpool, kan?”

“Sudah, Dok. Nggak jauh, kan dari London. Cuma dua jam lebih naik kereta.”

“Ooo, syukurlah. Sudah beres semua ya urusan di KBRI dan Chevening?”

“Sudah, Dok. Jadi gini, Dok.”

“Oh ya, ada yang bisa saya bantu? Kedengarannya suara Mbak Alia lemah? Udah sarapan belum?”

Alia terkekeh. “Sudah, Dok. Iya, Dok. Dua hari lalu vertigo saya kambuh, tapi sekarang sudah hilang.

Kening Aria mengernyit, lebih serius mendengarkan penjelasan Alia. Aria bangun dari duduk, dan keluar ke arah depan pintu lounge.

“Jadi gimana? Sudah minum obat, Mbak? Bawa kan dari Indonesia?”

“Syukurnya saya bawa, Dok. Padahal sudah lama nggak kambuh. Nggak kebayang kalau tadinya saya nggak bawa obat.”

Lihat selengkapnya