Surabaya sudah hampir enam bulan tidak turun hujan. Walaupun kota ini semakin panas dan menyengat menjelang akhir musim kemarau, setidaknya dapat membuat hatinya sejuk. Sudah beberapa kali ia menerima panggilan telepon dari Alia sejak Alia meninggalkan negeri. Jika pun sedang ingin tahu kondisi terakhir Alia, ia kembali menyambar gawai dan serta merta menelepon Alia. Bimo Pusponegoro, lelaki paruh baya itu tiba-tiba merasa melankolis dari biasanya. Pasti karena baru saja ditinggal jauh ke luar negeri beberapa hari saja. Padahal, Alia yang memilih berkuliah di Yogyakarta selama empat tahun pun tetap berpisah juga dari Bimo dan Dyah, dan tidak banyak hal terjadi yang mengkhawatirkan mereka. Ingin rasanya Bimo menerima telepon atau video call dari Alia tanpa harus terputus sedetik pun. Ia juga ingin sekali seperti kamera pengintai yang bisa memantau setiap gerak-gerik Alia karena tak ingin terjadi hal buruk walau hanya berupa gigitan nyamuk atau ulau berkaki seribu. Ia juga tak ingin Alia kehilangan kendali dan terjebak dalam kebingungan jika mengalami gangguan kesehatan, atau mengalami gangguan emosional. Walaupun sudah dewasa dan bisa mengatur diri sendiri, Bimo tetap menganggap Alia adalah seorang yang mesti dijaga kondisi tubuh dan perasaannya.
Namun, hal itu tak mungkin ia lakukan. Alia sudah bermetamorfosis menjadi seorang perempuan dewasa yang mandiri. Ia dan istrinya harus bisa sepenuhnya melepas Alia ke manapun ia akan pergi. Sesekali Bimo tak bisa berpikir jernih dan selalu mengkhawatirkan kondisi Alia yang jauh darinya. Ia takut ada lelaki iseng yang mengganggu, mengalami perundungan dari orang-orang yang tak dikenal, mengalami penipuan, bahkan tindakan kriminal terburuk yang dapat dialami Alia. Seringkali Dyah, yang sebetulnya punya pemikiran dan perasaan yang sama dengan Bimo, mencoba menenangkan hati Bimo.
“Biarkan Allah yang menjaga putri kita, Mas. Kalau prasangka ini terlalu dituruti, lama-lama kita bisa tertekan, Mas,” saran Dyah pada beberapa kesempatan, saat perempuan berparas Jawa itu mulai merasakan kegundahan yang dialami Bimo. “Kita coba biarkan ia memasuki fase dewasanya, Mas, meskipun dengan segala kekurangan yang ia miliki,” tambah Dyah. Bimo biasanya tersenyum tipis menanggapi nasihat Dyah.
“Memangnya, Bu, kamu sudah mulai tega membiarkan Alia tidur tanpa ada yang membangunkan, mengingatkannya untuk salat Subuh, atau melewatkan sarapan yang biasa ia lakukan?” sanggah Bimo.
“Lah, apa bedanya saat ia kuliah di Jogja, Mas? Bukannya kondisinya sama?”
“Beda, Bu. Di sana masih ada Mbak-ku yang mengawasi, kan? Dan sekarang ia di negeri orang, Bu. Eropa nan jauh di sana. Kalau terjadi apa-apa di sana, apa kita bisa langsung ke sana? Gimana kalau ia tiba-tiba menangis di tengah kerumunan, atau membanting pintu kamar karena terlalu kesal? Atau tiba-tiba kehabisan baterai tanpa persediaan? Atau basah kuyup tanpa sempat berlindung?” sanggah Bimo kembali.
Dyah menggeleng, sambil melemparkan sedikit senyuman.
“Sudahlah, Mas. Kita tidak bisa begini terus. Percayakan sepenuhnya kepada Yang Di Atas. Semuanya sudah diatur. Kita hanya bisa terus berdoa.”
Saat beristirahat siang di kantor perusahaan alat kesehatan miliknya di kawasan Margorejo itu, Bimo membuka foto profil WhatsApp Alia yang sudah diganti dengan foto terbaru. Tampak Alia tersenyum lebar, berkerudung cokelat muda, menggendong ransel hitam, tegak berdiri di sisi Westminster Bridge berlatar Big Ben yang megah di sore hari. Senyum Bimo serta merta mengembang. Suara berbisik keluar dari mulut Bimo.
“Fii Amaanillaah, Alia. Semoga Allah menjagamu selalu. Kamu begitu membanggakan.”
Bimo kemudian bergumam dalam hati sambil terus memandangi foto Alia, dan membuka-buka foto-foto lama di komputer. Ribuan foto tersimpan di cakram keras komputer, bahkan sejak Alia berumur satu tahun. Ia sengaja membuat folder-folder foto dengan nama atau keterangan angka yang menunjukkan urutan angka, mulai dari angka satu sampai dengan angka sesuai usia Alia saat ini. Bimo sangat mengingat setiap file foto dan video yang terpampang di layar.
“Mana mungkin Ayah bisa melepasmu lama-lama, Alia. Ayah sudah terlanjur cinta sejak Ayah memelukmu pertama kali dulu. Bahkan sedetik pun, Ayah tak akan kuat menahan rindu seperti saat ini. Begitu pula Ibumu. Kami betu-betul mencintai kamu sepenuh hati.”
Tanpa sadar Bimo menitikkan air mata ketika melihat sebuah foto saat mereka berada di rumah sakit di Perth, Australia ketika Alia berusia sekitar tiga tahun. Saat itu, Alia digendong oleh seorang dokter berparas Kaukasia setelah menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan. Foto lain adalah saat Bimo memotret Alia yang tertidur pulas, setelah Alia merajuk dan menangis tersedu-sedu, tak lama setelah Bimo memarahi Alia karena basah kuyup karena bermain-main dengan air hujan saat ia berusia sekitar 14 tahun.