Alia bergegas mengajak Nurul yang sudah menunggu cukup lama, untuk keluar dari gedung LSTM, menunggu bus di halte menuju city center.
"Cepat sedikit Nurul, nanti kita terlalu malam," pinta Alia.
"Alia, awak ada masalah ke dengan orang tadi? Wajah awak tampak tak senang lah. Ape hal, Alia?" Nurul bisa menangkap raut wajah Alia yang berubah dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang memberatkan pikiran Alia. Wajahnya cukup muram.
"Sudah, Nurul. Aku baik-baik saja. Yuk, bentar lagi bis datang."
Alia tampak panik, dengan menggenggam pergelangan tangan Nurul lalu menariknya menuju luar gedung. Ia terlihat tergesa-gesa dan ingin sekali terbebas dari lingkungan perpusatakaan.
Tak sampai dua menit, bus yang ditunggu mereka telah hadir, sesuai jadwal bus no. 14 yang tertera di information board halte. Badan bus pelan-pelan secara otomatis menurun. Menimbulkan bunyi seperti pompa angin, dan mengikuti tinggi trotoar agar sejajar. Seorang lelaki paruh baya dengan kursi roda kemudian menaiki bus menggunakan kursi rodanya. Alia dan Nurul berdiri di belakang lelaki itu. Ia pun memutar-mutar sendiri roda kursinya, hingga berhasil masuk ke dalam bus tanpa kesulitan, dan menempati priority area yang berada di bagian depan kabin bus, di dekat supir. Alia dan Nurul menuju kursi belakang bus dan duduk dengan tenang.
“Keren, ya, bus-nya, Nurul! Bisa menurun gitu body-nya, menyesuaikan dengan tinggi trotoar,” ujar Alia takjub, saat bus mulai bergerak. Alia mulai mengalihkan pembicaraan, padahal denyut nadi masih berdegub kencang, dan merasa ingin marah tapi berusaha ia tahan.
“Di Indonesia tak seperti itu kah?”
“Boro-boro ada bus seperti itu. Trotoarnya saja sempit, secukupnya. Sangat menyulitkan pejalan kaki, karena tidak ada turunannya yang memudahkan kita mendorong koper atau sejenisnya.”
“Di Malaysia sudah mulai seperti itu, lah. Dia punya pavement lebar-lebar. Enak sekali untuk berjalan-jalan, terutama di KL. Mungkin di Jakarta sudah mulai juga?”
Alia mengangkat kedua bahunya, menandakan tak mengetahui kondisi di Jakarta.
“Yang cool, bukan bus-nya, Alia. Tapi sistem yang mengatur semua ini. City council di seluruh UK, sangat concern terhadap disabled person. Education, transportation, social life, dan lainnya diatur dengan undang-undang yang berpihak. The Access. Macam mata pelajaran kite nanti, lah, The Right to Health. Termasuk di dalamnya access to healthcare.”
“Iya, keren banget, ya.” Alia terkesima mendengar penjelasan Nurul.
“Kalangan disable, macam orang buta. Yang saya tahu, macam kata teman saya yang pernah di Leicester City, mereka-mereka itu terdaftar di VISTA, semacam blind registration charity board. Jadi, orang yang sudah terdaftar buta atau mengalami gangguan penglihatan, akan mendapatkan keuntungan-keuntungan dan keringanan, atau concession untuk kehidupan sehari-hari.”
“Wow, really?”
“Iya, betul. Saya lupa ape saje yang akan mereka dapatkan. Let us find on Google,” ungkap Nurul.
“Saya cari juga, deh.”
“Lihat, di sini dikatakan mereka akan dapat blind person’s tax allowance, television licence fee reduction, Blue Badge Scheme – car parking, free postage – “Articles for the blind”, free NHS eye examination, disabled Persons Railcard, free bus travel, free directory enquiries, cinema pass for carer, protection under the Equality Act, assessment by social services. And the benefit or concession may be entitled to Personal Independence Payment, attendance allowance, carer’s allowance, employment and support allowance, tax credits, housing benefit, council tax disability reduction, universal credit, pension credit, and free ticket for a guide at theatres, galleries or tourist attractions.”
“Wonderful!” ucap Alia.