Tiga hari setelah dirawat di ruang perawatan biasa khusus ginekologi, Aria memperbolehkan Jenny pulang. Kesehatan Jenny mendekati pulih seratus persen. Sudah bisa miring kanan dan miring kiri, serta beranjak dari tempat tidur, dan latihan berjalan dengan pelan-pelan. Meski sedikit meringis, Jenny tetap melanjutkan latihan berjalan. Dia tak ingin berlama-lama terbaring di bed rumah sakit. Ia ingin segera pulang ke rumahnya dan berkumpul kembali dengan ibundanya, lima hari setelah tindakan operasi. Jenny dianjurkan kontrol lagi ke poliklinik tiga hari kemudian.
Aria keluar ruang poliklinik, memanggil nama Jenny yang duduk di ruang tunggu. Jenny sebagai pasien kedelapan memasuki ruang poliklinik dengan wajah cerah. Ia ditemani ibunya yang menggunakan tongkat, berjalan dengan lambat dan cukup tertatih. Jenny pun berjalan biasa, seakan tidak ada nyeri pascoperasi. Hanya sesekali memegang perutnya, persis di luka operasi.
“Hi, Jenny and Mrs Sarah. Good morning,” sapa Aria dengan senyuman. “Please have a seat. How are you today, Jenny?”
“Perfectly fine, doctor Aria. I'm getting better this week.”
“Do you feel pain around the wound?”
“A little bit.”
“Okay, let us see the wound. Please you lie down on the bed.”
Aria mengambil sarung tangan putih berukuran 7.5 inch, dengan terlebih dahulu mencuci kedua tangan. Lalu memasang sarung tangan itu, dan melekat erat, mencengkeram jari-jarinya. Dia siap memeriksa Jenny yang sudah terbaring.
“I'll take off the bandage, and please let me know any time you feel pain, Jenny. I will gently remove it,” jelas Aria.
Jenny mengangguk. Sarah duduk tak jauh dari Jenny.
Aria berdiri di samping Jenny. Membuka pelan-pelan luka operasinya, yang berbentuk garis vertical memanjang dari bawah pusar ke arah os pubis. Jenny tampak sedikit menahan sakit, namun segera hilang. Jahitan luka hasil tindakan Aria sangat rapi, dengan benang yang dapat diserap tubuh, kulit tidak membengkak, dan mulai mengering.
“How is the wound, doctor Aria?” tanya Jenny.
“The wound is very good. No infection. No skin inflammation. And it will heal soon. Don’t worry. Keep using the ointment, and I will cover the wound for the last time. No need to remove the suture as the surgical thread is absorbable.”
“Oh, thanks, doctor Aria.”
“OK, I will prescribe you the drug. Thanks for your cooperation. And you are survivor now. Congratulations. You may make next appointment in about two months,” ungkap Aria penuh antusias.
“OK, doctor Aria. And I hope this is my last experience of this disease in my body. No more recurrence. It was very painful and made me unable to smile freely, and unable to take good care of my mother.”
“Sure, Jenny.” Aria mengangguk-angguk. “Keep growing that hope, and always get excited about your life. Your mother is amazing. Take care of her well.”
“Yes. And I believe that all these difficulties can be overcome because of her powerful prayers.”
“Yes… You are right. I totally agree,” ujar Aria, pelan dan lirih, dan menyunggingkan senyum terbaiknya.
Aria merasa terharu mendengar harapan Jenny. Aria juga sangat bangga dengan hasil kerjanya, sekaligus bersyukur dengan keadaan Jenny. Bersama sang ibu, Jenny lalu berpamitan.
Pasien kesembilan sekaligus pasien terakhir Aria, menjelang jam istirahat siang, masuk ke ruang poliklinik. Aria menyambutnya dan mempersilahkannya duduk, lalu dilanjutkan dengan wawancara pasien, anamnesis. Perempuan muda berparas Asia Selatan itu, berumur 27 tahun, datang dengan keluhan nyeri di bagian bawah perut. Rasa nyeri yang dirasakan perempuan itu bervariasi dari ringan hingga kadang-kadang bisa menjadi parah. Nyeri hilang timbul, disertai gangguan menstruasi.
“Sometimes, I feel full quickly even after eating a little, or my stomach feels bloated. I also starting to have difficulty in defecating and urinating. It is annoying me a lot.”