Aria merasa canggung berada di antara kedua dokter itu, meskipun mereka cukup sering bertemu dan berkomunikasi. Bukan karena Profesor Garrett yang sudah sangat dekat, tetapi karena kehadiran Susan yang tak seperti biasanya. Mereka umumnya hanya bertemu di kamar bedah. Sesaat sebelum keluar rumah sakit, dengan mobil yang dikendarai Profesor Garrett sendiri, Aria melihat dokter Hasan melintas. Aria meminta ijin kepada professor agar Hasan bisa ikut serta makan siang. Profesor menyetujui walaupun wajah beliau dan Susan tampak berubah. Aria tak ingin dirinya menjadi subjek pembicaraan Prof dan Susan bila tanpa kehadiran Hasan. Aria tetap duduk di kursi depan, sedangkan Hasan mendampingi Susan di kursi belakang.
“Thanks for the ride, Aria, Prof Garrett,” sapa Hasan.
Keempat dokter ahli itu, berangkat menuju restoran Mr Basrai resto di daerah Fountain Park. Dari rumah sakit mereka menuju arah utara terlebih dulu untuk sekedar melepas penat, menikmati pemadangan kota Edinburgh. Daun maple terlihat berwarna-warni, kuning-jingga-ungu-merah-coklat-hijau, menghiasi setiap sudut kota, dengan kursi taman di setiap trotoar. Warna dedaunan seperti lukisan di canvas, yang hidup, bergelayutan diterpa angin musim gugur. Tampak bangunan klasik dan gothic nan menjulang di daerah Princess Street. Terlihat juga Scott Memorial Monument yang berujung-ujung lancip, dan Balmoral Clock Tower yang menjadi ikon kota. Suasana yang membuat Aria terkesima meskipun dia sudah melewati bangunan itu berkali-kali.
“What a beautiful and romantic scenery,” ujar Aria, di dalam mobil.
“Indeed, Aria,” sambar Susan. Semua kemudian tersenyum.
“I prefer autumn to winter or spring because the atmosphere and ambiance are so great,” tambah Hasan.
“I prefer winter, because I can rest longer at home, with my wife,” ujar Profesor Garrett tak mau kalah. Semua kemudian tertawa gelak.
Tak sampai dua puluh menit berkendara, akhirnya mereka tiba di restoran. Masing-masing memesan makanan yang disukai, dan duduk saling berhadapan.
“Ape kabar Encik Hasan?” tanya Aria.
“Saye baik-baik, dokter Aria. How are you, Prof and Susan?” sapa Hasan.
“We are all fine. Mr Hasan, we have to celebrate our department success, because Aria and Susan had worked together. Jenny, that we are very worried about, now is relieved.”
“Wooow, that’s is great idea,” jawab Hasan penuh antusias, sambil memainkan kaki kirinya menyepak-nyepak kaki Aria di bawah meja.
“Not to celebrate, I think. Just to thank God for our achievement,” kilah Aria.
“Yes, I totally agree,” timpal Hasan.
Aria tak biasanya merasa biasa-biasa saja, Tak ada yang harus dilebih-lebihkan, meskipun hanya bergembira sejenak. Makanan khas Italia segera terhidang. Mereka segera menikmati hidangan yang menimbulkan aroma unik. Sambil menikmati makanan, mereka berbincang-bincang santai.
“But, you still have a unique case, right?” tanya Profesor, sambil menikmati fettuccini.
“Yes, Prof.”
“I am still waiting for progress report of our patients, Mrs Maryam, with cervical cancer stadium IV/a. She is from suburb, in Musselburgh. Her husband is an online taxi driver.
“Yes, I remember her. You have ever presented her case in teaching session a few months ago. She is Asian, from Pakistan, right?” tanya Hasan.
Profesor Garrett mengangguk-angguk. “Yea, yea, I know that case. She is being handled by Surgical Oncology Departement, right? Because the cancer has already spread to the colon and kidney.”