DESIBEL

Asroruddin Zoechni
Chapter #22

DISABILITY SUPPORT

Alia sudah siap berangkat lebih pagi ke kampus, karena sudah memiliki janji bertemu dengan Dr Thomson di ruang kerjanya. Sebelum kuliah perdana dimulai, oleh Dr Matthew, tentang Key Themes in International Public Health, Alia akan bertatap muka pertama kali dengan dosen pembimbing akademiknya itu, personal tutor. Alia merasa cukup deg-degan, karena belum tahu tipikal dosen yang akan dia temui itu, walaupun sudah menghubunginya melalui email, dan konfirmasi ulang melalui pesan singkat. Alia belum tahu persis karakter Dr Thomson, apakah galak, baik hati, helpful, atau malah killer? Yang menuntut Alia sebagai tutee dengan target-target akademik yang ketat. Tapi, Alia percaya bahwa dosen pembimbing akademik, selayaknya memang sosok yang baik dan selalu hadir untuk membantunya menyelesaikan masalah yang akan muncul selama kuliah, baik akademik atau kesulitan personal.

           Sebuah Whatsapp voice call menyapa Alia sebelum berangkat, setelah dia menyelesaikan sarapan dan meminum segelas susu segar.

“Assalamu’alaikum, Alia.”

           “Wa’alaikumsalam, Mas Haidar. Apa kabar, nih?” Alia tersenyum sempurna, menyambut telepon itu.

           “Baik, alhamdulillah, Alia. Kamu gimana kabarnya? Vertigo udah ilang?”

           “Udah, Mas. Alhamdulillah.”

           “Aku minta maaf ya, jarang hubungin kamu akhir-akhir ini. Pasti kamu excited kan pas masuk Liverpool dan lihat kampus baru.

           “Iya, nggak apa-apa, Mas. Nyantai aja. Loh, kok tahu sih, aku excited?”

           “Alah, Al. Kayak aku ini bukan siapa-siapa kamu. Aku udah paham lah tingkah dan sikapmu, pas ketemu hal-hal baru.”

           “Di sini juga ada Nurul, kok, Mas. Flatmate baru.”

           “Wah, enak dong ada teman. Aku lagi sibuk ngurusin sidang tesis. Pembimbing minta dimajuin lebih cepat, karena beliau mau libur tahunan, annual leave. Jadi, bikin kepalaku puyeng. Begadang terus benerin paper yang banyak coretan-coretan merahnya,” jelas Haidar, dan diakhiri dengan tawa ringan.

           “Jaga kesehatan, Mas. Jangan begadang terus.”

           Haidar tertawa. “Iya, Al. Tapi, kalau nggak bergadang yang nggak bakal selesai.

           “By the way, kapan sidangnya, Mas?”

           “Kamis, depan. Doain yaaa…”

           “Pasti, Mas. Aku selalu doain kamu, dan kita pastinya.”

           Haidar terdiam sejenak.

           “Mas, kok diam?” tanya Alia heran.

           “Ohh, nggak apa-apa, kok, Al. Dan, kabar baiknya, pembimbing yang ini bersedia membimbing aku lanjut ke PhDddddd…!”

           “Waaaahhh, keren, Mas! Selamaaaat!”

           “Belum sih, Al. Katanya lulus sidang dulu di hadapan para professor yang menyeramkan itu. Kalau lulus mulus, beliau janji akan segera memproses aplikasi PhD-ku.”

           “Wahhh, senangnyaaa, Mas. Tapi, aku aja ini baru mau mulai kuliah perdana. Pengen cepat-cepat lulus juga kayak Mas Haidar.”

           Haidar kembali tertawa, tanda senang. “Sabar, Alia. Nikmati dulu prosesnya, yang kurasa tak mudah, dan juga tak sesulit yang dibayangkan. Insya Allah, kalau kita serius dan siap menghadapi challenge-challenge nanti selama kuliah, aku yakin kamu bisa,” ucap Haidar tegas.

           “Insya Allah, Mas. Tapi kamu janji bantuin ya kalau aku ada kesulitan.”

           “Pasti, Alia. Apa sih yang nggak buat kamu.” Haidar terbahak.

           “Asyeeek.”

           “Gimana Liverpool?”

           “Seruu, Mas. Ntar aku ceritain, ya. Aku ada janji dulu ni dengan dosen PA. Setelah itu ada kuliah perdana kelas kami.”

           “OK, Alia. Hati-hati ya… Tapi, siap-siap bingung, ya.

           “Maksudnya, Mas?”

           “Bingung dengerin orang Inggris berbicara, apalagi kalau kuliah gitu. Aksennya kan aneh, apalagi kalau dia dari Scotland dan Inggris utara. Makin nggak ngerti nanti.”

           “Laahh, terus gimana dong, Mas?”

           “Sama kayak listening IELTS, Al. Yah, cuma mereka agak cepet juga kalau ngomong.”

           “Terus, kalau aku nggak ngerti gimana, dong?”

           “Kamu rekam aja, nanti. Minta ijin sama dosennya. Pakai voice recorder di hape, atau beli alat perekam yang bagus. Aku juga gitu dulu pas pertama kuliah.”

Lihat selengkapnya