Seorang coach membelakangi cermin yang menempel di seluruh bagian dinding. Ia berdiri di depan lima orang lelaki bertubuh tegap. Mereka berlima terlihat antusias mendengarkan pengarahan oleh coach bertubuh atletis itu, sebelum memulai workout rutin di kelas privat muay thai setiap akhir pekan. Aria sebagai peserta berdiri tegap di tengah-tengah, dengan jersey dryfit berwarna biru muda, dan celana olahraga selutut berwarna hitam. Di samping kanan Aria, ikut berdiri dokter Hasan.
“OK, guys. For the next one and half hour, as usual we will spend time to have cardio strength, double pads, and sparing. But, before starting cardio, we’ll have warming up first,” jelas sang pelatih, Mr George.
Sudah empat minggu berturut-turut, Aria absen latihan karena sibuk menangani pasien di rumah sakit dan mempersiapkan proyek penelitiannya di Utrecht. Kerinduan Aria untuk meningkatkan kembali kebugaran fisiknya sudah tak tertahankan. Jarum penunjuk pada timbangan berat badan mulai bergeser jauh ke kanan. Sejak dua tahun terakhir, setiap Sabtu, atau Minggu, Aria dan dokter Hasan rutin melatih kebugaran fisiknya dengan mengikuti kelas muay thai, di Gorgie Fight Gym di daerah Murieston Lane. Olahraga beladiri itu sudah menjadi bagian dari hidup Aria sejak kuliah kedokteran. Saat pindah ke Inggris, ia pun tak ingin beralih ke jenis olahraga lainnya.
Seorang peserta memimpin pemanasan, dan diikuti peserta lainnya. Mereka menggerakkan dan melekuk-lekukkan tubuh dengan berbagai gerakan ringan, agar tidak terjadi muscle strain pada saat latihan inti. Jersey Aria mulai sedikit basah oleh keringat. Setelah pemanasan selesai, selama setengah jam Aria mengikuti perintah pelatih untuk melakukan berbagai jenis gerakan cardio workout. Setiap gerakan dilakukan selama 20 -30 detik, dan bersambung antar gerakan dalam satu siklus. Setiap siklus terdapat masa istirahat selama satu menit.
“High knees run!” perintah George, di tengah dentuman musik remix yang memompa semangat. Terdengar tapak-tapak kaki membentur alas latihan berupa mat yang terbuat dari karet.
“Burpees!” sambung George lagi. “Squat! Mountain climber!”
Beberapa nama gerakan sambung menyambung keluar dari mulut pelatih. Di antara gerakan, pelatih meniupkan peluit sebagai tanda berganti gerakan selanjutnya. Aria mengambil napas dari mulut dan mengeluarkannya kembali dalam waktu beberapa detik. Dia mulai terengah-engah. Baru empat minggu absen latihan, kondisi fisiknya tak sebaik saat latihan rutin setiap minggu. Cepat lelah dan terasa sulit mempertahankan napas.
“Aaargghh!” teriak Aria saat mengakhiri siklus pertama cardio, lalu menepi dan duduk di dekat rangkaian samsak berwarna biru, yang tergantung. Hasan mengikutinya.
“Kenapa Aria? Are you OK?”
Aria ngos-ngosan berat. Lalu segera mengambil air minum, kemudian berbaring sebentar, lalu menyamping.
“Lama tak latihan. Begini jadinya, Encik Hasan,” jawabnya dengan nada cepat, dan masih terlihat terengah-engah. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya, sehingga bagian atas jersey basah kuyup.
“Itulah awak, Aria. Jangan sampai diulangi lagi macam hari ini.”
“Awak hebat, Encik Hasan. Tetap terlihat semangat, dan tak tampak lelah.”
“Same lah, Aria. Umur saye kan lebih daripada awak. Saye pun mulai terengah-engah juga.”
Mereka berdua tertawa terbahak. Tak lama kemudian, peluit George berbunyi, untuk memulai siklus kedua. Badan Aria terasa berat untuk diangkat dari posisi duduknya, tetapi ia paksakan. Memasuki siklus kedua, gerakan yang dilakukan tetap sama. Aria secara bergiliran dengan peserta lainnya, menggunakan berbagai peralatan untuk workout, termasuk samsak gantung, standing samsak, barbel stick, dan dumbel 3 kilogram. Sebelum mulai sparing, gerakan dasar muay thai, dilakukan sebagai pemanasan di sepanjang cardio. Aria dengan sigap dan keras, menggunakan seluruh tubuhnya untuk memutar pinggul dengan setiap tendangan, pukulan, siku, dan tangkisan yang ia lakukan.
“Jab! Elbow! Low kick! High kick!” perintah George di belakang Aria yang kini menghadap ke samsak, dan siap memuntahkan segenap tenaganya. Bertubi-tubi ia hunjamkan gerakan-gerakan itu, membuat samsak terhuyung jauh.
“Good job, Aria! Carry on! Use your maximum power!”
Keringat Aria bercucuran. Raut mukanya memerah, dan penuh semangat mengeluarkan energi dari dalam tubuhnya.
“Aarrghhh!” seru Aria, seiring bunyi peluit, mengakhiri siklus kedua.
Aria merasa plong, dan kembali terduduk.
“Are you happy, Aria?” tanya dokter Hasan.
“Yes, of course!” jawab Aria dengan terengah-engah.
“Masih kuat ke?” tanya Hasan, sambil tersenyum.
“Tentulah! Saya sudah seperti api yang baru disulut ni, Encik. Habis ini, saya siap melawan Encik!” jawab Aria penuh semangat, sambil menarik napas lalu mengeluarkannya.
“With pleasure! Kita lihat siapa yang menang nanti!” Dokter Hasan terkekeh, disambut tawa Aria.
Setelah 45 menit menjalani cardio, George melanjutkan latihan pendalaman gerakan-gerakan inti muay thai, dan gerakan kombinasi. Dengan teliti, George membetulkan kembali posisi tangan dan kepala Aria saat berdiri memasang kuda-kuda, serta membetulkan posisi tendangan yang mulai tidak sesuai aturan. Setelah sempurna, Aria kemudian memasang sepasang inner dan outer gloves, lalu secara bergantian dengan peserta lain menjatuhkan pukulan dan tendangan ke arah George yang memegang sepasang padding, sehingga menimbulkan suara ‘debuk’ bersahut-sahutan.
“Great job, Aria! Hasan!” ucap George, meski tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah.
Setengah jam terakhir latihan, tiba saatnya memasuki bagian sparing. Aria sudah siap dengan kondisi tubuhnya, yang meski terasa lelah sekali, tetap semangat melawan pasangan yang ada di hadapannya.
Satu setengah jam setelah latihan, Aria dan Hasan kembali terduduk di samping samsak, dan melepas sarung tangan mereka, menyisakan inner gloves yang melilit seluruh punggung dan telapak tangan. Mereka berdua duduk bersantai, mengatur kembali pola napas, mendesah panjang, dan minum secukupnya untuk mengganti cairan yang telah keluar dan menghindari dehidrasi.
“Seru banget, Encik Hasan! Walau badan saya ini rasanya mau copot.”
“Good job, Aria. Dan saye dan awak pasti enjoy dan relax kan selepas ini.”
Aria mengangguk. “Thanks, Encik. Yuk, kita ke locker room dan bersiap pulang. Encik mau ke mana selepas ini?”
Hasan mengiyakan, dan berjalan menuju ruang loker, sekaligus ruang ganti pria.
“Saye nak bermesraan lah dengan istri dan anak-anak.” Hasan tertawa. “Kami nak ke Edinburgh Castle. Anak-anak saye nak ke War Museum kat sane, lah. Habis itu, kami mahu menyeberang ke Queensferry.”
“Wah, pasti seru, ya!”
“Awak nak ke mane selepas ini?”
“Hhmmm, saya istirahat saja di kamar, Encik. Ingin nyantai sendirian. Sekalian saya ingin menyiapkan keberangkatan ke Utrecht bulan depan.”