Sambas, Borneo Barat, Juli 2014
Kriiiing!
Bunyi panggilan telepon memecah keheningan malam di rumah dinas. Aria yang baru saja terlelap dua jam yang lalu, sontak terjaga. Di sampingnya tertidur pulas Naura. Dhika juga akhirnya bisa terbaring pulas di antara mereka berdua. Di dahi Dhika tersandang sebuah kompres kain hangat, untuk menghilangkan demam yang mencapai 39°C. Pukul satu dini hari, seorang bidan di RSUD Sambas, tempat Aria menjalani Program Dokter PTT Spesialis, menelepon untuk mengabarkan ada pasien gawat yang baru saja memasuki UGD. Aria menyambut telepon dari gawainya itu, dengan menahan rasa kantuk yang teramat kuat.
“Halo,” jawab Aria pelan.
“Malam, dokter Aria. Maaf mengganggu, Dok. Dengan Bidan Dewi, Dok. Dokter jaga mau laporan pasien, Dok. Mohon ditunggu sebentar ya, Dok,” pinta sang bidan.
“Iya, Kak.”
“Halo, Dokter Aria. Saya Winny, dokter jaga malam ini, Dok. Bersama tim PONEK, saya ijin melaporkan dua pasien, Dok.”
“Iya, Dok. Pasien apa?”
“Ibu Yani, 24 tahun, dari Desa Sekura Kecamatan Teluk Keramat, dirujuk dari Bidan POLINDES Sekura, dengan G2A1P0. Partus tak maju curiga panggul sempit, Dok.”
Mata Aria langsung mencelang.
“OK. Hhmm, kehamilan kedua, riwayat abortus ya. Sekura itu, desa yang harus lewati sungai kan? Udah berapa lama di perjalanan? Kondisi ibu dan janin gimana, Kak?”
“Sekitar dua jam dari POLINDES, Dok. Sebentar saya siapkan catatannya ya, Dok.”
Aria menerima laporan dari bidan itu dengan sedikit meringis dan memicingkan mata.
Semoga ibu dan janin aman-aman ya!
Dokter Winny segera mengambil catatan medik dan melaporkan kasus Ibu Yani dengan tempo yang cepat, dan juga tepat. Tak ada salah sedikitpun.
“Halo, dokter Aria.”
“Iya, dokter Winny. Gimana?” Suasana kamar Aria hening.
“Baik, Dok. Ijin melaporkan Ibu Yani, 24 tahun, dengan G2A1P0. Hamil kedua, dengan riwayat abortus komplit pada kehamilan pertama satu tahun yang lalu. Dirujuk dari bidan di Sekura dengan persalinan kala 2, pembukaan 4. Setelah lebih dari satu jam dipimpin partus per vaginam, tidak ada progres pembukaan serviks, atau a rest of labour. Kondisi ibu, tampak sakit sedang, tanda vital baik, tekanan darah 120/80, nadi 80x per menit, RR 18x per menit, suhu 36,5C. His positif adekuat, di seluruh fundus uteri, air ketuban positif. Denyut jantung janin 140x per menit, teraba caput succedaneum. Saat ini ibu terpasang oksigen 2L/menit, dan infus RL. Kami sarankan puasa mulai saat ini.”
“OK! Suspek CPD itu, Dok! Saya segera ke RS! Kita siapkan partus percobaan lagi dengan vacuum atau forceps. Tapi yang lebih penting siapkan untuk SC Cito, ya!” perintah Aria, dengan nada bicara yang cepat dan tegas.
“Siap. Dok! Pasien kedua, Ibu Aisyah, 25 tahun, dengan G5A3P1. Saat ini dengan kehamilan 14 minggu, dengan perdarahan per vaginam, suspek abortus imminens.”
“OK. Untuk pasien kedua, kita siapkan kuret saja ya untuk jaga-jaga, kalau memang sudah abortus komplit.”
Aria yang awalnya masih terasa mengantuk, tiba-tiba bersemangat karena adrenalinnya meningkat. Segera ia mencuci muka, dan mengganti pakaian piyama dengan kemeja formal lengan pendek dan celana kain berwarna hitam.
“Naura! Naura!” Aria memangggil-manggil istrinya itu dengan pelan, lalu menggerak-gerakkan tungkai bawah Naura berkali-kali.
Naura terjaga, tapi matanya masih terpejam, dan tak serius menanggapi Aria. “Iya, Maaaaas. Ada apa sih?! Masih ngantuk, nih!”
“Naura! Mas pergi dulu ya ke IGD. Ada pasien gawat darurat mau melahirkan. Mungkin persiapan operasi sesar dan kuret juga! Kamu jagain Dhika, ya. Pantau terus suhu tubuhnya dua jam sekali!”
Naura mencibir kesal.
“Maass, Maass. Udah tahu anaknya sakit, masih aja terima pasien! Nggak bisa sama dokter lain apa? Operasi lagi, operasi lagi!”
“Naura! Kamu ngomong apaan, sih! Naura! Bangun! Buka matamu!”
Naura membuka mata pelan-pelan. Terasa silau dengan lampu kamar yang terang benderang. Naura masih berbicara dengan Aria seenaknya dan terlihat kesal. Lalu terduduk.
“Iyaa, Mas. Aku tahu kamu dokter satu-satunya di kota kecil ini. Lagian, ibu-ibu itu, nggak bisa apa ditunda besok pagi lahirannya!”
“Naura, jangan sembarangan kamu kalau ngomong! Ini masalah nyawa, Naura!” Suara Aria mulai meninggi, sambil merapikan kancing bajunya.
“Iya, Mas. Tapi anakmu kan juga lagi sakit. Terus gimana nanti kalau Dhika tiba-tiba nangis dan badannya panas lagi?”
“Yaa, kita bagi peran dong, Naura. Kan kamu sudah aku ajarin, penanganan awal demam. Masak kamu dari dulu selalu mempermasalahkan ini.”
“Ya nggak gitu juga, Mas. Aku dan Dhika juga berhak atas kamu. Selama ini kamu lebih perhatian ke pasien daripada kami.”
“Itu perasaan kamu saja, Naura,” ucap Aria tegas sambil mempersiapkan kepergiannya ke rumah sakit. “Sejauh ini rasanya aku sudah cukup memperhatikanmu dan Dhika di sela-sela pekerjaanku. Kamunya aja yang belum bisa paham pekerjaan dokter.”
“Udah, ah! Bising, Mas.” Naura kembali mencibir. “Udah kamu berangkat saja sana. Semoga pasien-pasienmu nggak mati!”
“Naura!” Teriakan kemarahan Aria menggema di seluruh kamar. Muka Aria memerah, tapi amarah yang mulai panas itu ia coba tahan.
“Udah pergi sana, Mas!”
Aria menutup pintu pelan-pelan, walau ia ingin menutupnya dengan keras sebagai bentuk kekesalan. Masih ada Dhika yang tertidur pulas. Aria pun menyambangi Tina, pengasuh Dhika, di depan kamarnya.
“Kak Tina,” panggil Aria sambil mengetok-ngetok pelan.
Tina membuka pintu dan siap mendengarkan perintah majikannya itu.
“Saya mau ada operasi segera di ruamh sakit. Dhika lagi demam. Dia tidur sama Ibu di kamar, ya. Kakak denger-dengar aja ya kalau tiba-tiba Dhika nangis kuat. Ijin aja sama Ibu nanti buat liatin Dhika, ya.”
Tina, perempuan paruh baya itu, mengangguk patuh.
Aria segera meninggalkan rumah dinasnya ke IGD RSUD dengan menaiki sepeda motor dinas, yang berjarak 500 meter. Aria merasa ragu untuk beranjak, tapi tugas utamanya harus ditunaikan segera. Menembus pekatnya malam, Aria berkali-kali memelankan laju sepeda motor. Dan sesekali melihat bayangan rumah dinas sederhana itu dari kaca spion. Jalan kecil beraspal terasa bergelombang. Di samping kanan dan kiri terdapat pohon ilalang yang tinggi-tinggi, dan membentuk bayangan ke badan jalan saat diterpa cahaya lampu dari rumah-rumah yang letaknya jarang di sepanjang jalan yang ia lewati.
Semoga Dhika baik-baik saja.
Di tengah jalanan menuju RS, suasana sekitarnya hening. Langit menghitam sempurna. Tak ada cahaya bintang maupun bulan. Terlihat sekumpulan awan hitam yang samar terlihat dengan kelamnya langit. Sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar, dan suara kodok bersahutan. Pertanda hujan akan turun berderai. Tak sampai 200 meter berkendara, sepeda motor Aria berhenti bergerak.
Waduuuuh, kok mogok sih! Bensinnya habis ya?
Aria mengerling ke jarum penunjuk bensin. Jarum terletak persis di garis merah sebelah kiri bertulisan E. Tengah malam buta, Aria tak mungkin menggedor toko Pak Ngah Zul, penjual bensin eceran, tak jauh dari rumah sakit.
Drrrtttt… Drrrtttt
Telepon dari rumah sakit kembali berdering.
“Maaf Dok, sudah sampai mana? Pasien sudah kesakitan, Dok.”