DESIBEL

Asroruddin Zoechni
Chapter #26

DESIBEL Bagian Tiga


Hampir dua bulan berlalu, Bimo tak kunjung mengabulkan ajakan Ningrum untuk bertemu. Berbagai alasan ia terus kemukakan. Setelah menyanggupi ajakan Ningrum sebelumnya, Bimo merasa tidak leluasa bergerak. Ia merasa orang sekeliling selalu mengawasinya hanya untuk mengetahui siapa sebenarnya Ningrum. Bimo akhirnya mengatur pertemuannya dengan Ningrum tanpa seorang pun yang tahu, termasuk Dyah. Ia sadar sekali bahwa pertemuan rahasia ini tentu akan memberikan dampak buruk jika diketahui oleh Dyah. Mereka bertemu di sebuah kafe di kawasan Sidoarjo, yang tidak terlalu ramai dengan hiruk pikuk kendaraan dan aktivitas masyarakat. 

“Kamu ke mana aja, Ning? Setiap aku ngajak ketemu semenjak itu, kamu selalu tidak menjawab. Bukan karena aku kangen, tapi karena aku ingin memberikan kamar gembira tentang anakmu di setiap titik pertumbuhan dan perkembangannya,” tanya Bimo penuh penasaran. Matanya terbelalak memandangi Ningrum, menunjukkan keseriusan terhadap masalah besar yang akan mereka hadapi, setelah bertahun-tahun terkubur.

“Aku nggak kemana-mana, Mas. Aku ada di dekat kalian,” jawab Ningrum tegas, yang semakin membuat Bimo semakin penasaran.

“Maksud kamu, kamu ada di Surabaya sejauh ini?” tanya Bimo penasaran.

“Betul, Mas. Bukan suatu kebetulan, orangtua ku juga kan di Surabaya.”

“Kamu serius, Ningrum?” tanya Bimo tercengang, dengan sorot mata yang semakin tajam memandangi Ningrum. “Hah!” Bimo lantas berdiri, dan meluapkan emosinya dengan menghempaskan kedua lengannya ke atas meja.

“Kok bisa, Ning, kamu melakukan hal ini? Kamu nggak kangen anakmu?”

“Apa kamu keberatan mengasuh dan membesarkannya, Mas?”

“Nggak, Ning. Nggak sama sekali. Tapi aku takut apa yang akan terjadi seperti hari ini.”

“Maksud kamu, Mas?”

Bimo belum mampu menjawab. Tapi ia mulai memberanikan berterus terang tentang ketakutan dan kegelisahannya selama ini tentang Alia dan Ningrum.

"Maksudku... Aaargh!"

Bimo lantas bergumam dalam hati. "Ya Allah, ini yang aku takutkan. Semoga tidak terjadi, ya Allah. Tapi rasanya mustahil memendam semuanya."

“Jadi, siapa anak perempuan yang kamu dan istrimu bawa ke DESIBEL?” tanya Ningrum memancing.

Bimo tiba-tiba menyorotkan matanya dengan begitu tajam tepat di depan mata Ningrum. Dadanya naik turun, mulai timbul amarah. "Apa? Bahkan DESIBEL pun kamu mengetahuinya, Ning?" tanya Bimo dengan suara mulai meninggi. "Kamu memang tega, Ningrum!"

Ningrum segera merunduk. Ia mulai tak sanggup menatap Bimo yang mulai emosional. Hati Ningrun pun mulai bergejolak tak tentu.

“Hhmm, tapi aku kira kamu tahu jawabannya, Ning. Naluri seorang Ibu terhadap anaknya itu bebas rintangan apapun yang menghalangi.”

"Iya, Mas. Aku sebetulnya tahu semuanya. Tapi aku terlalu takut untuk mengusik kehidupanmu saat itu, Mas. Aku juga bisa melihat dan merasakan kebahagiaan Mbak Dyah." Ningrum mulai menangis pelan. "Aku takut membiarkan Indah nantinya hidup dalam keterbatasan. Hidup dalam kesunyian yang berkepanjangan bahkan sampai akhir hidupnya. Aku nggak sanggup membayangkannya, Mas. Maafkan aku, Maaas." Ningrum mulai meraung.

Lihat selengkapnya