DESIBEL

Asroruddin Zoechni
Chapter #28

MENUJU SHEFFIELD

Mendengar kota Sheffield disebut-sebut, rasa gembira Alia menyeruak. Kalaupun jadi mengikuti acara pertemuan KIBAR, Sheffield menjadi kota pertama di luar Liverpool yang dia kunjungi setelah bergelut dengan perkuliahannya yang teramat padat. Sebetulnya bukan hanya ingin keluar sejenak dari rutinitasnya sebagai mahasiswa. Tetapi juga untuk menjalin silaturahim dengan warga Indonesia lainnya se-Inggris. Dan tak sabar pula untuk menemui Aria, dan bertemu muka untuk kedua kalinya.

           “Wow, Sheffield, Dok? Pasti kotanya cantik, ya?” tanya Alia dengan bersemangat.

           “Iya, Mbak. Kabarnya begitu karena saya belum pernah ke sana. 😊”

           “Siap, Dok. Mudah-mudahan jadwal kuliah nggak padat ya, Dok. Maklum lah baru semester awal ini.”

           “Semoga ya, Mbak. Oh ya, gimana kuliahnya? Public Health pasti menyenangkan ya?”

           “Sejauh ini saya sangat menikmatinya, Dok. Tetapi ya pasti beda banget dengan kuliah di Indonesia. Fasilitas dan support dari kampus dan pembimbing sangat overwhelmed. Teman-teman sekelas juga sangat mendukung.”

           “Ada kesulitan?”

           “Kesulitan di bahasa verbal, dan sedikit shock culture, Dok.”

           “Untuk bahasa mungkin nanti saya bantu dikit-dikit. Kalau memang terasa sulit sekali bisa menggunakan note-taker atau audio recorder untuk merekam pembicaraan,” jelas Aria penuh semangat. “Wow, shock culture kenapa?”

           “Hihihi, nggak kok, Dok. Sedikit shock melihat budaya literasi dan budaya akademik di kampus ini. Mahasiswa juga pro-aktif bertanya dan mengemukakan pendapat. Kadang-kadang saya sampai malu kalau nggak tunjuk tangan bertanya, atau mengemukakan pendapat.”

           Aria tertawa ringan lewat emoticon yang terkirim. “Itulah bedanya di sini, Mbak Alia. Tapi jangan patah semangat. Insya Allah kita orang Indonesia dan orang Asia pasti bisa melewatinya, ya. Jangan mau kalah 😊.”

           Sebuah perbincangan yang sudah beberapa lama tak dilakoni Aria dan Alia.

           “Siap, Dok. Oh iya, Dok. Ada kesulitan lain, yaitu membuat essay yang baik. Gimana caranya, Dok? Tapi tugas pertama sudah saya submit nih. Tinggal menunggu tanggapan dari reviewer. Pasti hancur banget menurut saya, hahaha.”

           “Hhmmm… bikin essay in English memang susah susah gambang. Tapi bisa diperbaiki dengan terus berlatih, Mbak. Dulu saya juga begitu. Sebelum mendaftar program MTI khusus untuk tenaga dokter yang mau masuk ke Inggris, IELTS saya untuk writing band cuma 6.0, padahal syaratnya minimal 7.0. Tapi saya langsung tancap gas, latihan dan latihan terus. Alhamdulillah bisa pada akhirnya.”

           Membaca pesan tersebut, Alia takjub dengan kegigihan Aria. Dia berharap bisa mengikuti jejak Aria dalam belajar menulis dalam bahasa Inggris.

           “Waaah, mantap banget, Dok. Saya boleh dong belajar nanti?” pinta Alia dengan antusias?”

           “Diajarin tips and tricknya kan? Dengan senang hati, Mbak Alia. Anytime 😊.”

           Alia sumringah berat. Wajahnya yang mulai merah merona, tampak samar terlihat dengan lampu kamarnya yang tidak terlalu terang. Sebelum menutup layar pesan dari Aria, ia pun mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan Aria.

           Aria pun membalas dengan rasa gembira. Sebuah perbincangan—walau tanpa muka—yang mengasyikkan baginya. Ia sudah tak sabar ingin bertemu, tapi masih malu-malu untuk mengungkapkan.

           “Sampai ketemu di Sheffield, Mbak Alia.”

           Alia kembali tersenyum. “Siap, Dok. Insya Allah.”

           Alia lalu beralih ke layar percakapan dengan Haidar.

           “Berapa lama balik ke Solo, Mas?” tanya Alia dengan rasa penuh gembira.           Kepulangan Haidar menemui kedua orang tuanya sangat Alia harapkan. Sebagai seorang perempuan, ia sangat membutuhkan kejelasan tentang statusnya saat ini, diterima atau tidak di keluarga Haidar. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, yang Haidar sangat memahaminya.

Lihat selengkapnya